Judul Buku :
Tuhan dalam Secangkir Kopi
Penulis :
Denny Siregar
Penerbit :
Penerbit Noura Books
Tahun Terbit :
Januari 2017
Cetakan :
Keenam
Tebal :
199 halaman
Kehidupan sosial manusia serba kompleks dengan
pelbagai masalah dan kebutuhan. Permasalahan
itu tak terlepas dari sosial, politik, dan ekonomi. Ketiga faktor itu
era kini mampu mengubah citra agama di
tengah masyarakat. Terkadang agama bercitra positif. Tak jarang ia berubah
bercitra negatif.
Tak jarang demi kepentingan materi seseorang membajak Tuhan
dan agama-Nya. Agama berubah fungsi menjadi garang. Sikap kasih dalam ajarannya
sirna. Namun ironi, kebanyakan masyarakat pun ikut terlibat mendorong aksi
tersebut. Sikap menilai sesuatu dari luarnya menjadi musabab. Sikap ini tentu menafikan apa yang sebenarnya terjadi di
belakang layar. Motif sebenarnya menjadi kelam.
Iblis berbaju ulama. Kiranya gelar yang cocok dinisbatkan
bagi mereka yang menjual agamanya dengan semurah-murahnya. Para penjual ayat
menukar dengan harga dunia. Para ahli ibadah yang hatinya menganggap orang lain
hina dan rendah. Para pembaca Al-Quran
yang hanya menjadi hiasan kerongkongannya saja. Sehingga Tuhan dan agama
dibawa-bawa untuk menjatuhkan orang lain dan menciptakan permusuhan.
Alkisah, suatu hari saya punya pengalaman
unik. Kala itu saya bertemu seorang anak kecil penjual koran. Kemudian terjadi
dialog hangat. “Apakah adik tidak
sekolah? Bagaimana dengan mengaji dan ibadahmu tatkala terus bekerja?”. Sembari
tersenyum dengan nada halus si anak tadi
menjawab, “Tiap hari saya sekolah Bang,
saya juga ngaji. Saya tidak mau mencuri meski saya butuh uang. Saya
tidak mau berbohong, meski perut saya melilit. Saya tidak ngelem, karena
saya tahu itu bakal merusak diri saya. Kalau badan saya rusak tidak bisa bantu
ibu cari makan”. Jawaban anak kecil itu membuat saya tertegun. Dia mengkaji
hidup lewat apa yang dilaluinya dijalanan
(Hal 64).
Menarik kisah tersebut. Tersirat lautan hikmah dalamnya.
Pandangan kacamata luar, menilai anak kecil penjual koran itu terlampau hina.
Tak berpendidikan. Tak mahir ilmu agama. Begitu kiranya gambaran umumnya.
Padahal pandangan tersebut belum tentu benar. Pasalnya, kebenaran di balik
layar, kontras dari pandangan luar. Ia anak
berpendidikan dan paham agama. Kaya akan nilai spritualitas.
Orang yang mengerti ajaran agamanya dengan baik akan
sulit meninggikan dirinya di depan manusia lain. Pasalnya ia paham, bahwa
manusia lain diciptakan sebagai guru untuk memenuhi akalnya. Dan itulah cara
Tuhan berkomunikasi dengannya. Selain itu orang yang mengetahui agamanya dengan
baik dan benar akan sulit membenci orang lain. Karena dia paham bahwa kebencian
itu api, dan api itu bisa membakar jiwanya. Jika jiwanya terbakar bagaimana dia
bisa mendekati Tuhannya.
Tuhan tidak perlu diteriakkan. Dia hadir dalam bisikan-bisikan lirih di
sudut sepi ruangan. Tuhan sulit ditemui dalam gegap gembitanya cacian. Tuhan
itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang, bukan dewa perang. Rahmat Tuhan tak
terbatas oleh tempat dan waktu, bukan pula hanya tersaji dalam rumah ibadah
berkubah. Melalui berbagai media ciptaan-Nya, Tuhan berikan wahana bagi hamba
yang mendamba.
Mengenal Tuhan dan agama-Nya sama halnya
dengan filsofi secangkir kopi. Orang-orang yang mengerti agamanya dengan baik,
paham bagaimana menakar kualitas secangkir kopi. Karena kopi terbaik bukan saja
berasal dari biji kopi terbaik, tetapi juga harus melalui proses terbaik.
Pasalnya yang terbaik, harus berpasangan dengan yang terbaik, itulah yang
menjadikannya sempurna, (hal 3)
Agama yang berorientasi pada sikap humanis tampaknya
sulit didapat belakangan ini. Agama sering menjadi kambing hitam demi tujuan
tertentu. Dalih membela agama seseorang sering menjatuhkan sesama, mencaci,
bahkan saling memusuhi. Puncak klimaksnya agama kehilangan muruah dan
subtansinya. Pemeluk agama hanya pandai berkata-kata kosong dengan embel-embel
agama. Berlomba-lomba meneriakkan agama
walaupun dalam balutan kebencian dan dusta.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Denny Siregar yang
tersebar di pelbagai media sosial. Di kemas dalam judul “Tuhan dalam Secangkir
Kopi”. Buku ini menceritakan bagaimana seharusnya agama bermain dalam panggung
sosial. Dengan pembahasan sederhana, Siregar mencoba mengulas berbagai persoalan
kehidupan beragama. Agama seharusnya
memberikan rasa keamanan dan kenyamanan bagi kehidupan sosial masyarakat, bukan
sebaliknya, penyebar teror dan pelbagai kebencian dan permusuhan. Namun yang menjadi
nilai minus dalam buku tersebut adalah kurang tersajinya data-data yang mendukung
tulisan.
IM