![]() |
sumber foto: Berita uin |
“Apa
yang dicari oleh orang saat ini ketika mereka bangun tidur?,” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Direktur Jenderal
(Dirjen) Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Niken Niken Widyastuti dalam Seminar Nasional Hoax di Media Massa dan Media Sosial : Pergulatan antara Fitnah dan
Tanggung Jawab Sosial di Auditorium Harun Nasution, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidyatullah Jakarta, Selasa (7/4). Seolah sepakat, sembari diiringi tertawa riuh, para peserta seminar mengatakan telepon genggam merupakan benda yang pertama
kali dicari ketika bangun tidur.
Pesatnya
perkembangan Teknologi seperti bermunculnya telepon genggam mode smartphone mendorong masyarakat menjadi
pengguna internet. Menurut Niken dari 259.000.000 penduduk Indonesia lebih dari
50% adalah pengguna internet. Ia menambahkan dari pengguna 50% tadi, sekitar 30% masyarakat
Indonesia adalah pengguna media sosial. Sebenarnya tak mengapa dengan pesatnya
pertumbuhan pengguna internet ini. Hanya saja penggunaan media sosial punya
dampak negatifnya sendiri.
Menurut
Laporan Trust Positif
bahwa Kemenkominfo telah
menutup 200.000 situs-situs negatif, tidak hanya berbau pornografi, propaganda
tapi juga berita tidak benar atau lebih dikenal saat ini sebagai berita hoax. Media sosial memang rentan sebagai
sarana penyebar berita hoax.
Beberapa
berita hoax bahkan menyebabkan
konflik dan
revolusi pada suatu negara. Parahnya, menurut Niken penyebaran berita hoax didukung oleh pola komunikasi
masyarakat saat ini yaitu 10 to 90.
“Maksudnya adalah 10% pembuatan berita hoax. Sedangkan
90% sisanya disebarkan secara sukarela oleh orang-orang (nitizen)
tentang berita
hoax tersebut,” ungkapnya.
Hadir
sebagai narasumber anggota Dewan Pers Imam Wahyudi, menambahkan tempo dulu pemberitaan
bersumber pada realitas sosial. Sedangkan
pada sekarang topik
yang viral di media sosial yang dijadikan rujukan utama. Peralihan masyarakat yang lebih condong terhadap viral media sosial
tak menjadi masalah, asalkan
memiliki
data dan tidak melanggar kaidah-kaidah jurnalisik.
Lebih
lanjut ia mengatakan, seringkali informasi yang belum diverifikasi kebenarannya
langsung dikonsumsi mentah-mentah oleh publik. Tak jarang, masyarakat bahkan langsung
melakukan aksi share tanpa mengetahui konten bacaan dan
kebenaran dalam isi berita. Tak hanya media sosial, media meanstream terkadang bertindak serupa dengan menayangkan berita tanpa
melakukan verifikasi sebelumnya.
“Dalam
survei Masthel tentang Wabah Hoax Nasional menyatakan bahwa media cetak telah
menjadi sarana berita hoax mencapai
5%. Tak tanggung-tanggung televisi pun mencapai sekitar 8,5%,” katanya, Selasa
(7/4). Sayang, media meanstream yang
seharusnya bisa menjadi kiblat dengan menyajikan berita yang valid dan akurat
pun ikut tak bisa terlepas dari pemberitaan hoax.
Imam
Wahyudi mengambil contoh kasus bom di Sarinah yang terjadi tahun lalu. Beberapa
media meanstream bahkan berani
menyebarkan pemberitaan yang informasinya diambil dari viral media sosial. Padahal
menurut pria dengan pakaian kemeja
putih ini, belum
dapat dipastikan kebenarannya. “ Dan benar, pada akhirnya media tersebut telah
menyampaikan informasi yang salah,”
ujarnya.
Meningkatkan literasi informasi media dan
media sosial digadang para
narasumber untuk mengatasi tersebarnya berita hoax. Dengan dua hal itu masyarakat
bisa membedakan informasi antara
yang benar dan salah. Di sisi lain,
pemerintah pun telah mengupayakan meminimalisir bermunculannya berita hoax dengan menciptakan situs pelaporan hoax yaitu aduancontenct.kominfo.go.id.
Aisyah Nursyamsi