Saat ini Rancangan Undang-Undang Pertembakauan (RUUP) sedang dirumuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, RUU tersebut menuai polemik. Salah
satunya datang dari Pergerakan
Anggota Muda Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (PAMI). PAMI beralasan bahwa RUUP merupakan kisruh besar yang menjadi perdebatan di
antara sektor kesehatan, pertanian, dan perdagangan di Indonesia.
Menurut Menteri Keilmuan PAMI Nasional Nur Asyifa, mengatakan RUUP ini hanya
menguntungkan industri rokok dan tidak memberikan perlindungan bagi masyarakat.
Lebih lanjut Ia mengatakan apabila RUUP ini disahkan, maka akan mengancam
kualitas kecerdasan anak-anak Indonesia lantaran menjadi pelanggan adiksi
nikotin.
Pendapat tersebut dikuatkan dengan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Pada tahun 2007, 2010, dan 2013, tren merokok meningkat pada usia remaja, yaitu pada
kelompok umur 10-14 tahun dan 15-19 tahun. Sementara data dari World Health
Organization (WHO) tahun 2010 sekitar 36% penduduk Indonesia adalah perokok. Risdesdas memprediksi apabila pengendalian
tembakau tak jua
berganti, maka jumlah perokok akan meningkat hingga 45% di tahun 2025.
Dalam paparannya di acara Ngobrol santai: RUU Pertembakauan untuk siapa. Anggota Solidaritas Advokat untuk Pengendalian Tembakau (Sapta) Julius Ibrani
menjelaskan bahwa RUUP adalah suatu kebohongan yang isinya membahas rokok.
Bahkan Julius curiga RUUP merupakan intervensi dari industri rokok. “Banyak
kejanggalan dalam RUUP. Kita tegas menolak,” jelas Julius, Rabu (15/3).
Senada dengan Julius, dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, Baequni yang juga menjadi pembicara acara tersebut
menjelaskan konsumsi tembakau memberikan beban ekonomi tinggi. Berdasarkan
Badan Litbang Kementerian Kesehatan tahun 2013 konsumsi tembakau mencapai Rp138 triliun, dan belanja rokok masyarakat mencapai Rp235,4
triliun. Tetapi biaya kesehatan –rawat jalan dan inap— yang diakibatkan tembakau mencapai Rp378,7
triliun.
Lebih lanjut Baequni mengusulkan agar pemerintah menaikkan biaya cukai rokok. Tak
hanya itu, pemerintah juga diharapkan memperluas kawasan tanpa rokok,
menggencarkan peringatan kesehatan bentuk gambar, dan larangan menyeluruh iklan
rokok. Sehingga hal tersebut dapat menekan konsumsi rokok masyarakat Indonesia.
“Kalau rokoknya mahal, masyarakat
berpikir ulang untuk membeli,” tegas
Baequni.
Salah seorang peserta, Muhammad Ridwan mengapresiasi acara Ngobrol santai
yang diadakan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta ini.
Menurutnya melalui acara tersebut masyarakat Indonesia melek tentang pentingnya kesehatan dan bahaya merokok. Dengan
begitu impian untuk mewujudkan Indonesia sehat benar terwujud. “Rakyat butuh
sembako, bukan tembakau,” tegasnya disertai dengan mengepalkan tangan.
MU