A, lelaki yang
terbit dari lelaku hujan di tengah terik dengan bara cecah yang mendadak saja,
tanpa aba-aba, dirudung jejarum air yang kian lebat memadat. Dua-tiga orang,
di suatu warung makan, bersumpah serapah. Hujan yang membasahi genting, juga membasahi
seseorang yang mendiami kamar sederhana itu –sebab atapnya bocor- di pinggiran
kota dengan gang-gang kecil dan rumah-rumah kumuh. Kamar yang hampir penuh
–selain kasur lusuhnya, diisi setumpukan buku yang saling bersitindih.
A tinggal di
sebuah negeri besar. Negeri di mana pantai-pantainya menebarkan aroma purba
serta tempat leluhur pasir berbiak halus sepanjang pesisir. Gunung-gunungnya
tempat terbaik semayam matahari yang terantuk-antuk seharian mencerahi bumi.
Elok, hasil alam meruah, negeri itu bernama: Sia.
Sia merupakan
negeri yang subur, tak berbilang sumber daya alamnya. Bukan menjadi rahasia
lagi bila Sia senantiasa diperbincangkan di tanah eropa sana. Orang-orang kulit
putih itu tergiur untuk memiliki Sia lebih dari sekadar memiliki, melainkan
menjarah, menguras, mengeksploitasi habis-habisan.
Sia adalah
negeri di mana segala yang fiksi hidup dan memiliki peradabannya sendiri. Ia
hanya bisa diperdapati di dalam kepala si tuan pengarang.
***
A adalah
mahasiswa Universitas Muktazilah. Kampus berlabel islam terbesar di negeri ini.
A yang berasal dari kampung Lokbaka, kampung yang tak pernah ditemui oleh
orang-orang waras, menemui banyak karib baru di kampus ini, yang juga sama-sama
berasal dari kampung yang terbuai dengan dana anggaran yang serba “disunat”
aparatur pusat.
Tapi ia tidak
ingin mencampuri apalagi memusingkan urusan itu. Ada banyak hal yang lebih
penting baginya, bagi hidupnya. Termasuk salah satu diantanya: Buku.
Buku, bagi A
seorang mahasiswa yang bergelar kutu buku di kampusnya, adalah aset paling
berharga yang dimilikinya. Ia tak pernah memusingkan soal kehilangan sepeda
yang dahulunya kerap digunakan untuk mencuri wi-fi di cafe-cafe elite, tentu
tidak untuk masuk apalagi membeli makanan dengan harga yang tak wajar itu. Ia
mengambil jarak yang agak jauh –dan biasanya, tempat parkir adalah pilihannya,
untuk sekadar download atau searching hal-hal penting untuk
kebutuhannya sebagai penulis lepas di negeri ini.
Ia tidak juga
menyesali soal kehilangan sepatu butut satu-satunya miliknya yang dipakai sehari-hari
untuk kuliah yang tak sengaja terambil (jika tak ingin dikatakan dicuri) oleh
pemulung –karena saking tak layaknya disebut sepasang sepatu itu disebut
sepatu. Mungkin.
Ia juga tak
pernah mengutuki soal honor menulis yang sering terlambat dikirim atau bahkan
terlupakan oleh bagian keuangan surat kabar (meski tentu saja, ia juga banyak
berharap dari uang itu). Yang terpenting, ia dapat memperbaharui judul bukunya
setiap minggu dengan membeli buku-buku layak baca di toko buku loakan, dan
menjaga buku-buku yang sudah dimilikinya. Meski lagi-lagi, ia bergantung pada
seberapa sering cerpen atau puisinya dimuat di koran, dan tentu saja untuk mendapatkan
honorarium.
Tentang
harapannya pada honorarium menulis itu, sejujurnya, ia merasa harga dirinya
begitu rendah. Ia sadar, bahwa idealismenya tengah dipertaruhkan. Menulis
untuk menghasilkan uang, begitu kira-kira satire baginya. Dan buruknya,
idealisme itu mesti ditukar untuk nominal yang tak seberapa banyak. Tapi ia masa
bodoh dengan hal itu. Saat ini, apa-apa serba sulit terjangkau, juga buku.
Penerus bangsa ini menjadi tolol karena gadget, dan lupa membaca –atau
memperbaharui bacaan, merasa cukup dengan pengetahuan yang sudah ada.
Kalaupun ada
yang suka membaca, menurut kabar terbaru di media beberapa waktu lalu, pajak
buku justru semakin naik. Kau bisa lihat, katanya suatu kali, harga-harga buku
yang dipajang di toko Gremotia kini tak lagi masuk akal. Sehingga bagi yang
kesulitan secara finansial, termasuk A, mencari alternatif lain dengan membeli
buku-buku bekas. Betapa berdosa pemerintah negeri Sia ini.
A yang suka nyinyir, A yang suka sekali menyendiri
di kala senggang dan lebih memilih membaca buku itu, kini sedang jatuh cinta
dengan seorang perempuan, anak rektor universitas islam ini, ia memanggilnya,
B.
***
A mencintai B. Sesederhana
itu. Dan A terlalu malas untuk menjawab sebuah pertanyaan, “untuk alasan apa
kau berani-berani mencintai B?”
Jawaban paling
klasik kembali diulangnya, “cinta tak butuh alasan muluk-muluk, yang justru pada
akhirnya berujung omong kosong.”
“Cinta ya
cinta, tak perlulah kita mesti disibukkan untuk menelusuri asal mula apalagi
berlelah-lelah mencari alasannya, ” tambahnya lagi.
Meski ia sadar,
sesadar-sadarnya, bahwa ia yang dekil dan mengarah pada kehidupan bohemi, tak
layak mencintai perempuan yang kehidupannya serba teratur dan tentu saja,
memiliki masa depan terang; penuh cahaya
kepurnaan.
Apalah daya
seorang mahasiwa yang memilih bekerja sambilan (kata “sambilan” sedikit lebih agak
mendingan daripada serabutan) sebagai penulis lepas di koran lokal, yang
membeli kretek saja masih lebih sering ketengan. Ia harus betul-betul mengatur
keuangannya untuk tidak berpuasa setiap hari.
Begitu pun untuk
menempuh jarak antar kos kecilnya ke kampus, pulang-pergi, sudah tak terhitung
berapa ratus kilo jumlahnya selama ini bila dikalkulasikan selama tiga tahun
terakhir. Tepatnya setelah sepedanya, harta termahal miliknya, dicuri.
“Aku
mencintainya, tanpa terkecuali. Titik.” Hatinya berupaya mengukuhkan. Ini sebuah
pilihan. Soal diterima atau tidak. Atau soal apakah nanti ia akan ditendang
keluar rumah oleh calon ayah mertuanya yang rektor itu karena kesemrawutan tampilannya,
sungguh tak jadi masalah. Ini lebih dari sekadar pertaruhan, ini menyangkut soal
nyali; soal keberanian seorang lelaki.
***
Suatu sore, di
deretan kursi penonton hall student center Universitas Muktazilah. Dua orang
saling bersitatap; beradu pandang. Setelah seorang lelaki menyatakan sesuatu
yang danggap amat paling sakral di muka bumi ini antar sepasang anak manusia,
kepada perempuan yang telah lama dicintainya. Keduanya terdiam beberapa saat.
“Aku juga sejak
lama menyimpan perasaan padamu, A,” ujar B, si perempuan pemilik gemintang di
dasar matanya. Memecah keheningan.
A limbung,
beberapa detik kehilangan kata. Dadanya berdegup kencang. Jantungnya hampir
meloncat dari kerangkeng rusuk-rusuk. Sungguh.
“Tapi..” B
melanjutkan ucapannya. Sedikit tertahan. Ada sesuatu yang nampak menggantung
dan sulit untuk diutarakan. “Aku tidak dapat memilihmu, A. Sebab aku lebih
mencintai kembang gandasuli yang ditanam oleh pegawai-pegawai Tuhan, yakni
Malaikat, di ladang para kaum peri di lembah kahyangan. Kembang gandasuli itu,
di waktu-waktu tertentu, mengaku akan berubah diri menjadi seorang lelaki yang
begitu amat mencintaiku.”
Ternyata anggapan A keliru. Ada orang lain yang
dicintai oleh kekasihnya.
“Kita ini nyata. Kau dan aku nyata. Mengapa kau
memercayai sebuah alur cerita seorang cerpenis ingusan yang mengada-ngada ini?”A
berusaha membantah. Wajah A memerah, suaranya meninggi, ia nampak naik pitam.
“Kita ini tak
nyata. Kita ini sama-sama tiada. Kau harus sadar dan mengakui itu. Pengarang
cerpen ini menakdirkan aku demikian. Dan tanpa sepengetahuanku, ayahku yang
seorang Rektor pun disihir pula untuk menuruti kemauannya dan memaksaku mau
menerima pinangan si lelaki kembang gandasuli.” Tanpa terasa ada yang terasa
hangat di pipinya. Bulir-bulir airmatanya menganak sungai. Ada gemuruh yang
terasa menyesaki seisi dadanya.
“Saat pintu
gerbang kampus ini ditutup dan dalam suasana yang kian hening. Tepat pukul 3
dinihari esok kami akan melangsungkan akad nikah. Kalau kau mau serta lapangnya
dadamu seluas jagat, kau boleh saja datang,” ucap B sembari menatap ke luar,
kosong. Rasa bersalah meliputi benaknya.
A berdiri. Tanpa
pamit dan berkata apa pun. Meninggalkan B seorang diri di antara sederetan
bangku yang sekarang tak ada seorang pun di sana selain B.
Kau tahu,
hatinya tengah porak poranda.
***
Belakangan, A baru menyadari bahwa selama ini
dirinya tak nyata. B tak ada. Universitas Muktazilah tak ada. Negeri Sia tak
ada. Semua dalam cerita ini tak pernah ada. Keber-ada-an selalu disandarkan
pada apa yang nampak dan mampu teraba. Semua orang mengangap bahwa selebihnya
yang tak nyata di dunia ini hanyalah
sebuah ilusi. Kosong. Tak bermakna.
Ia mengutuki
dirinya. Mengutuki kebodohannya. Ia ingin sesegera mungkin bertemu dan membuat
perhitungan kepada pengarang cerita pendek ini yang sudah semena-mena terhadapnya.
A ingin membunuh pengarang cerita ini, menguliti tubuhnya dari ujung kepala
sampai ujung kaki dan memecahkan batok kepalanya menjadi dua bagian. Terdengar
lucu dan tak masuk akal. Namun itu mungkin saja akan terjadi kelak.