Belakangan, beberapa fatwa Majelis
Ulama’ Indonesia (MUI) menjadi sorotan karena lahirnya fatwa baru mengenai
hukum penggunaan atribut keagamaan non muslim. Beberapa kelompok melakukan aksi
sweeping terhadap beberapa pusat perbelanjaan yang memberikan kebijakan
kepada karyawan untuk menggunakan atribut agama lain. Sontak aksi sweeping menimbulkan reaksi pro dan kontra
dari masyarakat.
Peristiwa ini cukup meresahkan masyarakat. Walhasil
Majlis Ulama Indonesia (MUI) turut bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Berikut ini beberapa petikan wawancara Reporter Institut dengan Ketua MUI bidang fatwa, Huzaemah Tahido Yanggo, mengenai proses
lahirnya sebuah fatwa, bagaimana dasar pertimbangan mengeluarkan fatwa. Apa
saja kaitannya dengan pemerintah serta polemik fatwa penggunaan keagamaan non
muslim, Kamis (12/1).
Bagaimana
proses terbentuknya sebuah fatwa?
Pertama, kami gambarkan terlebih
dahulu permasalahan yang terjadi. Kemudian kami cari dalil yang berkaitan
dengannya, baik dari Alquran, Hadits, maupun pendapat para ulama terdahulu
berdasar pada kaidah fiqih. Dari bahan tersebut kami membahas pembuatan
rancangan. Setelah rancangan tersusun, kami mengajukan ke sidang komisi fatwa
dan hasilnya diplenokan. Nah, dari kesepakatan pleno, maka
terbentuklah sebuah fatwa.
Atas
pertimbangan apa MUI merasa perlu mengeluarkan sebuah fatwa?
Ada beberapa pertimbangan. Ada kalanya
dari permintaan masyarakat atau pemerintah. Misalnya, pemerintah meminta sebuah
fatwa tentang imunisasi karena banyak pandangan dari masyarakat yang menolak
dan menganggap sepele akan imunisasi. Namun setelah adanya fatwa dari MUI,
masyarakat bisa lebih menerima karena melihat dalil yang disertakan dalam fatwa
tersebut. Pertimbangan selanjutnya adalah berdasarkan pada peristiwa yang
sedang terjadi. Misalnya pada kasus pembakaran hutan yang marak pada beberapa
tahun belakangan ini.
Jika demikian, apakah fatwa yang
dikeluarkan MUI dipengaruhui oleh pemerintah?
Tidak. Status kami independen. Tidak
ada sangkut paut dengan pemerintah. Kecuali ketika mereka meminta fatwa, kami
layani. Namun tidak ada hubungan secara langsung dengan mereka. Apalagi untuk
kordinasi fatwa seperti yang dikatakan Wiranto waktu itu. Tidak ada sama
sekali.
Bagaimana
posisi fatwa MUI sebagai salah satu sumber hukum Islam yang ada di Indonesia?
Bagi umat Islam, fatwa itu bersifat Ilzam
Syar’i, yaitu sebuah keharusan yang harus dilakukan menurut syariat.
Tapi
bukan sebagai hukum positif?
Bukan, karena untuk menjadi hukum
positif perlu ditetapkan oleh undang-undang. Sedangkan fatwa bukanlah bagian
dari undang-undang.
Jadi
apakah fatwa bersifat mengikat?
Seharusnya memang mengikat bagi umat
Islam. Begini, tidak semua yang dijelaskan secara rinci di dalam Alquran.
Begitu pun di dalam hadist. Oleh karena itu sudah menjadi tugas ulama untuk
mengurai dari penjelasan tersebut. Sudah jelas tuntutannya Al-Ulama’
Waratsatu Al-Anbiya’, ulama adalah pewaris para nabi.
Setelah ulama’ menyampaikan, maka
kewajiban umat untuk mengikutinya. Fa i’tabiru ya ulil albab, ambillah
pelajaran wahai orang yang berakal. Jadi, kembali saya tekankan, fatwa itu
bersifat Ilzam Syar’i, mengikat bagi umat Islam.
Satu fatwa terbaru MUI adalah fatwa
tentang penggunaan atribut keagamaan non muslim. Dari fatwa tersebut beberapa
kelompok melakukan aksi sweeping. Apa tanggapan anda?
Kewajiban kami adalah merumuskan dan menyampaikan
sebuah fatwa. Adapun pelaksanaan di lapangan adalah lain lagi. Bukan menjadi
urusan MUI.
Beberapa aksi sweeping
meresahkan masyarakat. Dibiarkan begitu saja?
Dari MUI sudah mengingatkan untuk
tidak melakukan aksi semacam itu. Namun di sisi lain kelompok tersebut melakukan sweeping lantaran menilai
penggunaan atribut keagamaan non muslim sudah dianggap keterlaluan. Dari tahun
ke tahun, memang ada beberapa perusahaan memaksa karyawannya untuk menggunakan
atribut agama lain, misalnya penggunaan topi natal. Sebagian orang membela,
jika atribut tersebut hanya bagian dari budaya, bukan agama. Namun perlu
diketahui jika di topi tersebut terdapat tulisan “Merry Christmas” yang
berarti ucapan selamat atas kelahiran anak Tuhan. Itu kan menyangkut keimanan,
dan dapat merusak keyakinan.
AKK