Pemahaman
sekularisme yang telah berkembang di Eropa secara tidak langsung telah
menyentuh masyarakat di Indonesia. Pemahaman yang memisahkan antara negara dan agama
ini telah mempengaruhi sebagian besar namun dengan cara yang tak sama antara
lapisan satu dengan yang lainnya.
Sebagai
pengaruh meningkatnya dunia teknologi, secara tidak langsung perilaku
masyarakat beragama pun dipengaruhi paham sekuler. Dalam dunia nyata paham
sekuler ini terlihat saat praktik masyarakat dalam politik, semisal dalam
pemilihan umum. Bahkan sebagian besar media ikut terbawa paham sekuler ini
dengan banyak menampilkan isu agama yang dipisah dengan politik dan
pemerintahan.
Paham
sekuler yang semakin merasuk dalam masyarakat ini pun mempengaruhi perilaku
masyarakat dalam beragama. Islam sebagai kekuatan sejarah serta pembentuk
tatanan sosial di tanah air, hanya dijadikan formalitas semata. Jika dalam
sikap beragama masyarakat hanya menganggapnya sebagai formalitas, maka akan
semakin sulit memahami nilai spiritual serta pesan moral dalam agama tersebut.
Dalam
arah ini, ide-ide keagamaan sering kali dipandang hilangperannya dalam mengatur
tindakan individu dan institusi kemasyarakatan. Pudarnya pengaruh agama sebagai
fungsi pengatur masyarakat dan politik inilah yang dipandang sebagai
konsekuensi dari proses modernisasi dan sekularisasi.Tujuan dari buku ini
adalah menjawab pertanyaan penulis Yudi Latif, apakah proses sekularisasi bisa
berjalan beriringan dengan proses islamisasi.
Maka
untuk menjawab pertanyaan tersebut, Yudi Latif membagikannya ke dalam tiga cara
yaitu dengan mensekulerkan masyarakat Indonesia, misalnya dalam hal pendidikan,
madrasah-madrasah lebih berkembang secara modern. Seperti mulai berkurangnya
mata pelajaran keagamaan dan diganti oleh mata pelajaran umum.
Kemudian,
cara yang kedua yaitu dengan memasukan muatan agama dalam segala sendi
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini merujuk pada keberadaan
komunitas-komunitas keagamaan, atau kelompok tertentu yang terikat karena
kesamaan simbol keagamaan. Contohnya, politik berlandaskan kesamaan agama,
aktivis-aktivis yang menjunjung moralitas dan spiritualitas keagamaan dan lain
sebagainya.
Cara
ketiga dalam pandangan Yudi Latif, merupakan bagian penyelesaian atau
kesimpulan dari dua cara sebelumnya. Yaitu sekularisme religius, kesimpulan ini
sekaligus menjawab hipotesanya yang berupa pertanyaan apakah proses paham
sekuler bisa berjalan beriringan dengan beragam agama yang ada di masyarakat.
Dalam
hal ini, kita bisa bercermin dari modernisasi dan demokrasi negara di Barat, di
mana adanya kompromi antara otoritas sekuler dan otoritas keagamaan.Ia juga
menyimpulkan bahwa teori yang dilakukan secara penuh justru berbahaya bagi
sebuah negara. Dengan adanya keberagaman suatu sejarah dan sosial sebuah
negara,maka pandangan mengenai paham-paham tertentu pun akan beragam.
Buku
ini mengajak kita untuk berpikir secara terbuka dan luas terkait bagaimana
seharusnya kita bersikap pada paham-paham yang cenderung modern. Dengan tidak
selalu berpikir kaku mengenai agama dan bisa berkompromi dengan modernitas.
Serta berjalan beriringan dalam menjalani aktivitas keagaaman dan tidak lupa
juga pada kewajiban sebagai warga negara.
NPR