Mayoritas
masyarakat Indonesia berasumsi, bahwa pendidikan
semata-mata untuk mendapatkan ijazah dan memperoleh pekerjaan yang nantinya memperbaiki perekonomian keluarga. Asumsi yang menjalar pun tidak hanya dari masyarakat
menengah, untuk tingkaatan mahasiswa pun masih kuat mengakar pandangan seperti itu. Meski mungkin sudah mulai lahir
pengusaha-pengusaha muda dari beberapa lulusan sarjana, tapi masih terbilang
sangat kecil dibanding jumlah lulusan yang ada di Indonesia tiap tahunnya.
Universitas
diseluruh Indonesia meluluskan ribuan mahasiswa tiap tahunnya, namun pertumbuhan lapangan kerja masih dibawah 5% setiap tahun.
Realitasnya perusahaan-perusahaan besar masih dipegang para konglemerat dari luar
negari dan masyarakat Indonesia masih berstatus sebagai pekerja atau buruh
diperusahaan mereka. Produk-produk luar semakin menguasai konsumen negeri ini, dan
keuntungan besar semkin menghujani perekonomian negeri orang. Pemilik
perusahaan dalam negeri masih dalam jumlah yang kecil. Maka tidak salah jika ada istilah bahwa Indonesia
merupakan negeri konsumen bukan produsen.
Nyatanya
jumlah pengangguran di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Mirisnya lagi, pengangguran ini menyerang mereka yang telah empat tahun atau
bahkan lebih, menempuh dan berjuang dibangku kuliah, alias “Sarjana
Pengangguran”. Peningkatan pengangguran terbukti dari Badan Pusat Statistik
(BPS) yang mengumumkan, bahwa pengangguran di Indonesia meningkat di Tahun
2015. Pada bulan agustus 2015 peningkatan pengangguran berjumlah hingga 320
ribu jiwa yang disebabkan oleh maraknya pemutuhan hubungan kerja (PHK) akibat
perlambatan ekonomi.
Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS yakni Suhariyanto mengungkapkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta jiwa. Angka tersebut naik dari jumlah TPT pada tahun 2014 yang telah mencapai angka sebesar 7,24 juta jiwa (Bataranews.com).
Deputi Neraca dan Analisis Statistik BPS yakni Suhariyanto mengungkapkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada bulan Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta jiwa. Angka tersebut naik dari jumlah TPT pada tahun 2014 yang telah mencapai angka sebesar 7,24 juta jiwa (Bataranews.com).
Dari beberapa pemberitaan, jumlah pengangguran lulusan sarjana
lebih dominan dibandingkan dengan pengangguran lulusan sekolah tingkat SD, SMP
maupun SMA. Mengapa demikian? Ada beberapa faktor yang bisa menjadi
penyebabnya. diantaranya adalah lulusan sarjana lebih banyak pertimbangan dalam
memilih peluang kerja. Karena merasa bahwa ia suda memiliki title dan memperoleh
ilmu yang cukup selama kuliah, mereka akan mencari posisi kerja yang lebih
tinggi dan jumlah kompensasi yang lebih besar.
Namun untuk mendapatkan posisi kerja yang tinggi tidaklah mudah, karena tentunya perusahaan juga sangat selektif dalam merekrut sumber daya manusia (SDM) di perusahaannya. Sangat disayangkan juga para sarjana tersebut pun sangat minim berkemampuan bahasa asing, atau minimal memiliki penguasaan berbahasa Inggris. Jika saja mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik, kemungkinan besar perusahaan akan mulai mempertimbangkan untuk menerimanya menjadi bagian dari perusahaan.
Karena bahasa asing itu sangat penting, terlebih Baahsa Inggris yang sudah jelas menjadi bahasa internasional. Kemudian, biasanya perusahaan lebih banyak mencari pekerja dan menyediakan lowongan kerja untuk ditempatkan dibagian produksi atau pabrik yang tidak banyak mempertimbangkan tingkat pendidikan seseorang, tapi minimal lulusan SMP atau SMA saja.
Namun untuk mendapatkan posisi kerja yang tinggi tidaklah mudah, karena tentunya perusahaan juga sangat selektif dalam merekrut sumber daya manusia (SDM) di perusahaannya. Sangat disayangkan juga para sarjana tersebut pun sangat minim berkemampuan bahasa asing, atau minimal memiliki penguasaan berbahasa Inggris. Jika saja mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik, kemungkinan besar perusahaan akan mulai mempertimbangkan untuk menerimanya menjadi bagian dari perusahaan.
Karena bahasa asing itu sangat penting, terlebih Baahsa Inggris yang sudah jelas menjadi bahasa internasional. Kemudian, biasanya perusahaan lebih banyak mencari pekerja dan menyediakan lowongan kerja untuk ditempatkan dibagian produksi atau pabrik yang tidak banyak mempertimbangkan tingkat pendidikan seseorang, tapi minimal lulusan SMP atau SMA saja.
Dengan demikian, sudah menjadi sebuah keharusan untuk merubah
mindset (Mind Setting) masyarakat terkhusus bagi para pelajar dan
mahasiswa. Pendidikan bukan lagi sekadar melahirkan seorang pekerja, melainkan melahirkan para pengusaha sukses dengan menanamkan
nilai-nilai keberanian dan kemandirian melalui ilmu kewirausahaan. Ada beberapa
hal yang mungkin bisa menjadi pendorong tumbuhnya jiwa kewirausahaan di dalam
diri seseorang.
Pertama, Membangun
jiwa wirausaha dalam diri dalam jiwa anak muda yang ditanamkan dari kecil. Ini dapat menjadi cara menanamkan
nilai-nilai kemandirian dan keinginan besar guna melahirkan seorang pembisnis.
Di tingkat sekolah menengah, Ilmu dan nilai kewirausahaan bisa terselipkan di
dalam setiap mata pelajaran ketika proses pembelajran berlangsung. Peran guru
dalam hal ini dituntut untuk lebih kreatif dan cerdas dalam membangun proses
pembelajaran sehingga mampu menumbuhkan keberanian, keterampilan, dan
minat dalam berwirausahaan di dalam diri
siswa. Menentukan satu mata pelajaran kewirausahaan mendasar di sekolah
menengah pertama juga dapat diberlakukan, untuk memberikan pengetahuan awal. Selain
daripada itu, penekanan nilai-nilai kewirausahaan juga bisa lebih ditanamkan
kepada siswa sekolah menengah kejuruan (SMK)
yang telah memilih jurusan kewirausahaan.
Kedua,
menindaklanjuti penemuan-penemuan baru yang diciptakan oleh anak bangsa. Sangat
disayangkan, pernah beberapa dari anak-anak bangsa yang telah berhasil menciptakan
temuan barunya. Namun hal tersebut hanya sampai pada tahap pengenalan kepada
masyarakat melalui media masa, seperti melalui berita, reality show, koran dan
lain sebagainya. Tidak ada tindak lanjut yang dilakukan dalam mengembangkan
temuan tersebut, baik dari pihak sekolah terlebih lagi dari pihak pemerintah.
Jika saja perhatian pemerintah lebih besar terhadap temuan-temuan baru yang
diciptakan oleh anak-anak bangsa dengan dukungan berupa pengembangan, mungkin
akan mejadi salah satu produk yang akan membawa perekonomian di Indonesia lebih
meningkat.
Ketiga, Pembinaan khusus dan berkesinambungan bagi para pembisnis muda yang benar-benar memiliki keingina besar untuk membuka sebuah usaha/bisnis. Pembinaan ini bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidang wirausaha di beberapa lembaga. Sebagai contoh, salah satu dosen di UIN jakarta telah membuka sebuah usaha simpan pinjam, dan beliau membuka program pembinaan untuk mahasiswa yang mempunyai mimpi besar untuk mendirikan sebuah usaha. Diawali dengan mengikuti workshop kewirausahaan, dan kemudian menyerahkan proposal bisnis jika usaha yang sedang dilakukan ingin mendapat bantuan dana. Kemudian, pembinaan akan terus berlanjut sesuai dengan perkembangannya. Hal ini tentunya sangat membantu bagi para mahasiswa yang benar-benar menginginkan usahanya berkembang. Oleh karena itu, hal serupa juga bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya, untuk membantu lahirnya para pembisnis.
Pendidikan
bukan lagi sebagai penyalur para pekerja ke perusahan-perusahaan konglemerat
asing, melainkan tempat memupuk nilai-nilai keberanian dan kemandirian bagi para penerus bangsa untuk melahirkan
pembisnis-pembisnis muda. Ada banyak potensi yang bisa dikembangkan, salah satu
diantaranya adalah wirausahawan. Melalui ketiga solusi diatas, diharapkan akan
bermunculan calon-calon pembisnis sukses yang akan banyak memberikan peluang kerja
untuk masyarakat.
*Mahasiswi Manajemen Pendidikan, FITK, UIN Jakarta