Oleh Imam Budiman*
/I/
Malam kian rangkak. Aroma kamboja pemakaman ujung jalan semakin
menyeruak. Keheningan mengenalkan diri dengan kebisuannya pada sawah dan
ladang. Kampung yang sunyi untuk waktu sedinihari ini. Pukul dua serta diiringi
gerimis kecil.
Perempuan itu mengerang, menahan rasa sakit dengan perut membusung,
terengah-engah. Ia berada di sebuah kamar yang tak begitu luas, cukup satu
ranjang bermuatan dua orang dan sebuah lemari lapuk ukuran sedang. Rumahnya
–kalau tak ingin disebut gubuk itu hanya terbuat dari anyaman bambu.
Masa payah mengandung selama hampir 9 bulan, kini telah berada di
puncak ubun. Nyeri di atas nyeri. Bayi dalam perutnya sudah tak sabar ingin
menantang dunia. Sedang Amat, Suaminya yang berkumis tipis, terlihat nampak
panik. Pengalaman pertama baginya menghadapi hal serupa ini.
Mengandung, melahirkan dan membesarkan adalah puncak segala letih
dan payah.
Melihat istrinya yang mengaduh hebat – ia paham jika ini bukan
serupa lenguh-desah biasa di ranjang tempo hari, ia ingin sekali membidaninya
langsung. Menyambut kelahiran anak pertama dari liang rahim istrinya. Hatinya
bergolak, ini tak logis, pikirnya. Konon, melihat kemaluan istri akan membuat
si jabang bayi berwatak tak tahu malu. Entah darimana mitos ini, yang jelas ia
ingat itu dari buku yang pernah dibacanya, Mujarabat.
Akan tetapi, apa daya. Ia nampak pasrah, Amat hanya pandai
membikin, memeluhi dengan rembesan peluh di kasur dan spray-nya. Untuk hal
seperti ini – melahirkan, lelaki terlihat gemetar lututnya, lemah.
“Sabar ding, satumat1lagi bidan datang,”
ujarnya, meyakinkan.
“Duuh, Ka. Ulun2
sudah kada tahan maariti.3” Istrinya berkeluh.
Tak sampai hati rasanya Amat melihat istrinya menahan rasa sakit.
meskipun bukan ia yang melahirkan, namun setengah rasa sakit itu seolah
tertanggung pula di tubuh Amat. Sejurus kemudian, ia bangkit. Setengah
berbisik, menyembunyikan haru, “Hadangi4 untuk beberapa saat,
kaka babulik5 lagi ke sini.”
Tak ada waktu. Bidan harus segera datang. Untuk waktu semalam
begini? Hatinya membantah. Namun harus bagaimana lagi. Apapun caranya. Ya,
segera.
***
/II/
Aku adalah bayi yang terkandung dalam tubuh perempuan ini –yang
belakangan kuketahui, kelak aku akan memanggilnya Uma6. Kali
ini, aku mendengar erangannya, jelas sekali. Kesabaranku mendiami ruang gelap
ini sudah habis. Aku ingin keluar. Dan aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk
keluar, sedari tadi, sejak bukaan terakhir dan tetuban uma pecah, mengairi arah
cahaya di luar rahimnya. Aku ingin berteriak, sekencangnya. Tapi mulutku masih
tertahan dalam liang sempit ini.
Di luar, lamat-lamat kudengar pula suara seorang perempuan tua yang
berkali-kali mengatakan, sedikit lagi, Luh, sedikit lagi. Aku pikir,
mungkin ini sebabnya Uma mengerang hebat, ia mati-matian mengejan,
menangguh rasa nyeri luar biasa.
Sebenarnya, jujur, aku juga barang tentu sudah merasa bosan
berlama-lama dalam ruang sempit dalam tubuh Uma. Gelap, dingin dan
sunyi. Tanpa seorang pun yang dapat kubercandai, selain darah dan tuban. Aku
dilanda jenuh yang teramat sangat. Padahal aku ingin sekali bermain, berlari
kesana kemari, seperti di alam sebelum aku menjadi benih dan ditaruh dalam
tubuh uma bersama kawan-kawanku yang lain.
Sembilan bulan dalam kandungan. “Cih” pun bentuk durhaka.
Oleh sebab itu, untuk menunjukkan kekesalanku, aku kerap menendang-nendang
perut Uma –semoga ini bukan termasuk kedurhakaanku. Tak sekali-dua
kali. Sering. Aku ingin segera dapat bermain, Ma, pintaku. Tidak ada
respon. Uma memang tak pernah paham bahasaku. Di balik kekesalanku, di
luar sana yang kudengar justru sebaliknya. Seorang lelaki –yang belakangan juga
kuketahui akan kupanggil Abah7, nampak bersuka cita;
kegirangan.
“Cuba, Bah, dangar akan. Si halus handak dirawa pinanya,8” ujar Uma, mengelus-elusku di balik perut
busungnya. Abah yang sedang mematut diri di depan pintu, seketika
menghampiri ke tubir ranjang.
“Pintar-pintar anak Abahlah. Jadi anak yang saleh, berbakti,
membanggakan kuitan.9” Abah mendaratkan ciuman ke perut uma.
Aku merasakan hangat yang berbeda.
***
/III/
Sudah uzur usiaku untuk pekerjaan berat ini. Semua sudah pernah
kulalui, dari bayi-bayi yang terlahir sungsang hingga cacat yang dibawa
sejak lahir. Aku sudah mafhum. Aku sudah dibekali cara untuk mengatasinya, yang
kupelajari langsung dari kitab pegon turun-temurun dari nenek buyutku.
Kebanyakan mereka mengeluhkan hampir mengeluhkan hal yang sama;
soal si jabang bayi yang seolah enggan untuk dilahirkan. Bayi-bayi yang seolah tasandat10di
jalan menuju keluarnya. Ini lumrah.
Bidan-bidan adalah perpanjangan mulia tangan Tuhan.
Untuk itu, aku selalu siaga dengan banyu pilungsur11,
air bertuah yang berguna untuk melancarkan proses persalinan si jabang
bayi. Air yag sudah dibaca-bacai dengan beberapa syarat yang mesti
terpenuhi. Tak sembarang, apalagi asal-asalan. Sehingga, orang-orang kampung ,bahkan
diantaranya orang-orang kota, jauh lebih mempercayakan proses persalinan
istrinya kepada dukun kampung dengan peralatan seadanya, hanya berbekal
pengalaman berpuluh tahun ketimbang dokter rumah sakit nan megah dengan biaya selangit.
Sedang aku, seorang dukun beranak tua yang hidup sebatang kara di
kampung ini. Suamiku telah lama mati, sedang anak-anakku –kesemuanya perempuan
tiga bersaudara, sibuk dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Hanya tinggal si
bungsu yang masih kerap mengunjungiku seminggu duakali. Sebab baru tahun lalu
ia juga telah dipinang oleh suaminya yang berasal dari kota.
Aku tak pernah menagih apalagi mematok tarif sekali persalinan
kepada mereka. Bagiku, ini sebuah pekerjaan mulia. Cukuplah tiga liter beras
dan sekantong plastik ikan asin beserta sekotak kecil teh dan setengah kilo
gula.
Untuk pekerjaan ini, aku tak pernah merasa terpaksa meskipun aku
kerap dibangunkan di tengah malam buta. Membelah kesunyian, melawan hawa dingin
kampung lereng gunung ini. Aku hidup untuk menyelamatkan jabang-jabang bayi.
Dan sepertinya Tuhan memang merencanakan hidupku untuk itu.
***
/IV/
Aku masih tak mangerti tentang keinginan para orang tua. Mereka
mendambakan kehadiran kami, para bayi-bayi, di setiap waktu. Tak lengkap
rasanya jika perkawinan mereka tak dianugerahi buah hati. Hampa. Ada yang
terasa kurang dalam kehidupan mereka. Tetapi anehnya, untuk urusan pendidikan,
terutama agama, mereka terlihat abai, tak peduli. Bukankah untuk mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat, kedua-duanya mesti berjalan seimbang? Ah, sok
tahu sekali aku ini.
Bayi-bayi tak pernah bersalah. Mereka adalah puisi-puisi Tuhan.
Pernah suatu kali, seorang kawanku yang ditaruh dalam tubuh seorang
perempuan, tidak sepakat untuk hidup, manakala ia, sebelum tunai masa
semayamnya, ditanya oleh Tuhan, “apa kau siap terlahir ke dunia?” sebelum menjawab,
kawanku itu meminta waktu untuk melihat apa pekerjaan orang tuanya sehari-hari.
Alangkah miris, takdir tetaplah berlaku sebagai takdir, betapa
terkejutnya ia manakala tahu bahwa ayahnya seorang bandar judi terkenal di
kampung ini dan ibunya suka ngutil makanan di warung amang Dulah.
Bahkan, kedua orang tua itu merencakanan untuk menjual si jabang bayi. Ia
menolak hidup, ia mngutuki kedua orang tuanya, menyerapahi sehabis-habisnya.
Sehingga tak lama ia dilahirkan, ia menangis untuk beberapa saat kemudian
terhenti. Ia meninggal.
“Aku tak mau ambil resiko. Daripada aku harus menanggung pedih azab
Tuhan hanya karena kelak aku dalam asuhan orang yang salah,” jawabnya ketus,
ketika kutanya perihal berpulangnya ia ke alam bermain kami. Wajahnya masam,
menenteng tali pusarnya.
Bukankah dunia adalah tempat bermain paling mengasyikkan, pikirku
saat itu. Aku merasa aneh. Tapi entah, aku pun masih harap-harap cemas menanti
giliranku untuk ditanamkan dalam benih yang dituai oleh Abah-Umaku.
Dan kini, tibalah saatnya giliranku. Aku telah membuat kesepakatan
pada Tuhan untuk menjalani hidup di dunia ini dan mempertanggungjawabkannya
kelak. Apapun yang terjadi. Setidaknya, aku kerap disebut berulang-ulang oleh
orang tuaku dalam doa-doa. Dalam tahajjud mereka.
Aku mesti keluar. Sekarang. Tak perlu berlama-lama lagi. Ini
waktunya. Namun mendadak, ada air yang saling susul menyusul menjamah tubuhku.
Meresap ke dalam pori-pori merahku. Memaksaku. Mendorongku. Terlalu banyak, air
ini terlalu banyak, bak tandon air yang pecah. Aku tersedak. Masuk ke dalam
hidung dan mulut. Memenuhi rongga dadaku. Sudah mak, jangan minum air ini!
Pahit. Sudah, aku ingin hidup!
Glosarium Banjar:
1Sebentar
2Aku
(romo inggil)
3Menahan
4Tunggu
5Kembali
6Ibu
7Bapak
8“Coba,
Pak, dengarkan. Sepertinya si kecil ingin disapa”
9Orang
tua
10Tertahan
11Air
yang diberi mantra agar kelahiran mudah dan cepat
*Pegiat Komunitas Sastra
Rusabesi UIN Jakarta