Oleh A. Humaeni Rizqi*
”Pendidikan
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan dan kecenderungan serta potensi yang dimilikinya”
(Ibnu Sina).
Sekolah atau
ruang kelas, mendengarkannya saja membuat kita mengingat kembali ke ruangan
yang memiliki buku tebal, bangku, papan tulis dan lembar tugas serta tidak lupa
tuturan dari guru. Terkadang ingatan dalam ruang kelas diwarnai dengan hal yang
menakutkan dan membuat gemetar. Sebab, sepahaman kita ruang kelas seakan wujud
nyata dari pendidikan.
Pendidikan hanya
sebatas dimaknai dengan sebuah ruangan tempat anak-anak diberi pengetahuan agar
menjadi insan yang bermanfaat dalam kehidupan. Sayangnya, ada beberapa hal
membuat ruangan kelas menjadi cacat fungsinya. Dikarenakan, proses yang
dijalani sebatas penyampaian ilmu saja, seolah murid hanya tempat
untuk menerima tanpa mengembangkan pelajaran yang telah disampaikan. Ini
mengakibatkan ruangan kelas seakan menjadi pembatas seseorang dalam mendapatkan
ilmu pengetahuan.
Miris memang
melihat kenyataan dalam pendidikan yang selama ini kita jalani. Tidak bisa
dipungkiri, sampai hari ini kita masih merasakan adanya pemasungan dalam
pembelajaran di ruang kelas. Kita tidak akan puas dengan ilmu yang didapatkan
secara luas. Bahkan, kerap kali kita menelan kekecewaan dengan proses
pembelajaran yang terjadi.
Untuk melepaskan
segala kekesalan, kekecewaan dan membunuh rasa bosan berbagi aktivitas pun
dilakukan seperti, mencoret-coret buku, mengobrol di kelas, atau bahkan sampai
ke kantin. Terkadang kita pun hanya diam dalam mengikuti proses pembelajaran,
seakan sudah mengerti. Padahal, kita hanya malas dan bebal ketika otak ini dihinggapi
dengan pengetahuan yang disampaikan. Belajar dengan model pembelajaran active
learning seakan semua, pendidik hanya sebatas menyampaikan pelajaran
melalui metode ceramah, bahkan sampai ada yang meninggalkan kelas dengan
memberi tugas-tugas yang membuat murid gaduh.
Seakan
mengiyakan, Russel Crowe dalam film Beautiful Mind menggugat mengenai
pemikiran yang terjadi dalam kelas. Ia menyatakan bahwa kelas bukanlah tempat
yang penting. Karena ruang kelas tidak membuatnya memiliki pemikiran yang
otentik. Kita hanya dapat mengikuti setiap tuturan dari pemberi ilmu.
Pemasungan ruang
kelas berhubungan pula dengan kurikulum. Kurikulum hanya ajeg yang dijadikan
acuan. Tanpa memperdulikan setiap karakteristik, budaya dan keanekaragaman yang
ada di Indonesia, ruang kelas tidak memiliki tempat untuk menampungnya.
Pada akhirnya
ruang kelas hanya dijadikan alat untuk memperoleh nilai. Ruang kelas
menginginkan kita untuk terus berburu nilai, bukan berburu pengetahuan untuk
diaplikasikan pada kehidupan. Pada akhirnya kita mengabaikan cara-cara untuk
meraih nilai tersebut. Tak ayal untuk mendapatkan hasil yang tinggi, mencontek
menjadi cara jitu dan tradisi dalam meraih hasil.
Ruang kelas yang
selayaknya tempat berproses meraih pengetahuan, hanya menjadi tempat
mendapatkan nilai. Hafalan menjadi kunci dasar supaya kita dapat memperoleh
nilai yang tinggi. Tidak mengherankan, kalau kita menjadi generasi yang hanya
mengetahui. Lantaran kita pun belum benar-benar paham dengan hal yang telah
dipelajari.
Saat
berlangsungnya ujian, kita segera berpacu dengan waktu untuk menghafal cepat.
Namun, saat ujian telah selesai semua hal itu menjadi tidak berarti dan
terlupakan. Semudah itu arti pengetahuan yang selama ini dijalankan. Kerap kali
kita terjebak pada hasil yang menjadi patokan utama keberhasilan pendidikan.
Tak hanya itu, Ujian Nasional (UN) hanya menjadi hal yang menakutkan,
menegangkan dan membuat stress para murid, mereka merasa seperti
narapidana dengan dihadiri oleh polisi, guru luar sekolah, dan bahkan sampai
anggota DPRD. Sungguh miris sekali, bagaimana murid dapat mengerjakan
dengan santai? Bahkan sesekali mereka berani mengeluarkan rupiah hanya demi
kunci jawaban semata.
Mungkin ini
tuntutan zaman pula yang menganggap semua hal yang cepat menjadi baik merasuk
sampai ke ruang kelas. Sehingga, kita tidak menikmati setiap proses yang
dilalui. Kita lebih memerhatikan hasil yang telah dicapai. Tanpa sadar kita
menjadi buta dalam mengukur pengetahuan yang telah didapatkan. Seakan dengan
nilai yang bagus menjadikan kita berpuas diri dalam mereguk ilmu pengetahuan.
Segala hal yang
mudah dan praktis ini membuat kita tidak mendalami makna pendidikan. Padahal
makna yang diharapkan dapat membuat kesejahteraan. Akan tetapi, makna
pendidikan yang selama ini dijalani masih jauh dari harapan. Tercermin dari
setiap masalah, pemerintah hanya menyelesaikan masalah secara cepat. Ini imbas
dari pendidikan yang membuat mental masyarakat menyelesaikan permasalahan
secara praktis.
Kita dapat
melihat fenomena seseorang yang hanya ingin kaya, kemudian ia melakukan
korupsi. Ketika masyarakat kelaparan, pemerintah memberikan sembako gratis. Fenomena
itu adalah akibat dari solusi yang diajarkan di kelas, dalam memperoleh solusi
yang praktis. Ini adalah petaka bagi pendidikan di Indonesia. Bila pendidikan
yang telah dijalani hanya bersifat penyelesaian yang kurang memiliki solusi
yang baik.
Pendidikan dalam
ruang kelas membuat kita makin menghayati kebermaknaan kelas sebagai ruang
belajar. Menciptakan diri untuk berproses menikmati pengetahuan. Untuk itu,
selayaknya kita dapat mengubah orientasi (arah) dalam memaknai
pendidikan. Kelas bukan satu-satunya tempat kita memperoleh ilmu pengetahuan.
Kita tidak dapat mengartikan kelas sebagai ruang peraih nilai semata.
*Penulis adalah Mahasiswa UIN Jakarta