Minggu, tepat pukul
10.00 pagi suasana Taman Suropati, Jakarta terlihat berbeda. Tampak sekelompok
orang duduk setengah melingkar memegang sebuah alat musik yang diletakkan di
antara bahu dan dagu. Alat musik
dawai yang tengahnya berlekuk itu dilengkapi dengan empat senar dan terbuat
dari kayu. Biasanya mereka mengesekkan bow pada senar, hingga mengeluarkan
lengkingan suara indah nan harmonis.
Dengan dipimpin sang
dirigen, mereka begitu serasi memadukan irama hasil gesekan alat musik yang
familier disebut biola. Bahkan, alunan gesekan bow pada biola dapat
menghipnotis bagi siapapun yang mendengarnya. Pada sisi lain dari para pemain
biola, terlihat pula pria paruh baya dengan rambut dikucir sedang khusyuk
memberikan arahan terhadap pemusik yang memiliki kebutuhan khusus.
Ya, ialah pencetus
komunitas musik Taman Suropati Chambers (TSC), Agustinus Dwi Harso namanya.
Lelaki yang akrab disapa Ages ini mulai bercerita, ide pendirian TSC berawal
dari perjalanannya menghadiri seminar musik
keroncong di Belanda pada 2006 silam. Kala itu ia melihat sekumpulan orang
begitu asyik bermain musik di taman kota Deen Hag. Sejak saat itulah terlintas
dipikirannya untuk menerapkan rutinitas tersebut di Indonesia.
Walhasil, setahun
kemudian ide tersebut terealisasi. Ages bersama kedua rekannya berhasil
mendirikan TSC di taman Suropati Jakarta. Lebih lanjut, ia mengungkapkan,
pendirian TSC didorong pula dengan kegelisahannya tatkala menyadari mayoritas warga ibu kota lebih memilih
menghabiskan akhir pekan dengan mengunjungi pusat perbelanjaan daripada
bertamasya ke taman kota.
Ages pun prihatin,
kini taman kota hanya dijadikan hiasan dalam kota dan tempat berolahraga saja.
Padahal menurutnya taman kota sangat bisa dimanfaatkan sebagai wadah yang
edukatif dan rekreatif. Selain itu, perilaku masyarakat yang mulai melupakan
lagu asli Indonesia juga melatarbelakangi berdirinya komunitas ini. “Kalau sudah ada yang
mengklaim, masyarakat baru pada ngomel,
namun minim aksi,” cetusnya, Minggu (25/9).
Berangkat dari itu,
lanjut Ages, TSC pun memiliki tiga fungsi utama yakni rekreatif, konseratif,
dan edukatif. Ia menjelaskan, rekreatif artinya memberikan hiburan untuk
masyarakat. Kalau konservatif, sambung ia, bertujuan melindungi lagu daerah
Indonesia agar tidak punah. Lalu edukatif, sebagai wadah pembelajaran bagi para
pegiat musik, khususnya violinis –sebutan bagi pemain biola.
Untuk itu, demi
menarik minat masyarakat terhadap lagu daerah, dalam tiap latihannya TSC
seringkali memainkan lagu-lagu daerah di Indonesia semisal Terima Kasih Guru,
Burung Kutilang, dan Hymne Guru. Saban minggu pagi sampai sore menjadi jadwal
latihan rutin TSC di Taman Suropati.
Hanya saja, metode
pengajaran yang diterapkan berkiblat ke Barat, “Karena mereka (Barat) sudah memiliki
sistem yang jelas,” terang Ages sesaat setelah menyereput kopi hitamnya. Selain
latihan, berbagai kegiatan juga sudah dilakoni TSC. Berupa konser raya di
gedung Kesenian Jakarta dan konser hari besar nasional.
Sampai saat ini,
tercatat sudah ada 90 anggota yang berasal dari berbagai kalangan seperti
karyawan, mahasiswa, anak sekolah, serta anak jalanan. Begitu pun dengan rentan
usianya mulai dari 12 hingga 40 tahun. Bila hendak bergabung, cukup
mendaftarkan diri dan mengikuti kegiatan rutin TSC sedikitnya
3 kali dalam sebulan.
Menurut salah satu
anggota TSC, Winsa Daffa Daniswara mengaku bahagia bisa menjadi bagian dari
TSC. Baginya, dapat bermain musik bersama merupakan kebahagiaan yang tak
tergantikan. Terlebih lagi, selama di TSC ia banyak mendapat ilmu mengenai
musik, khususnya biola.
“Pertama kali masuk
enggak mengerti musik apalagi main biola. Di sini semua belajar dari nol,
terdengar satu main sumbang kita ulang dari awal,” imbuhnya, Minggu (25/9).
Siswa yang berasal dari Global Primary School ini juga berharap agar komunitas
serupa TSC dapat bermunculan di seluruh Indonesia.
MU