Oleh Ahmad Nauval*
Desember ini, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Raya (Pemira) organisasi kemahasiswaan. Pemira yang diadakan setahun
sekali ini bertujuan untuk keberlangsungan
dan kesinambungan pembinaan mahasiswa melalui organisasi. Pemira dilaksanakan secara langsung oleh mahasiswa –dalam
hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk
oleh tim independen– dengan metode yang mengacu pada
Pancasila, Tri Dharma Perguruan Tinggi, dan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Organisasi
Kemahasiswaan UIN Jakarta.
Pemira 2016 kali ini membawa angin segar bagi jalannya demokrasi
mahasiswa di UIN Jakarta. Minat dan perhatian terhadap pemerintahan mahasiswa bertumbuh
naik dalam tiga tahun terakhir. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya mahasiswa
yang berpartisipasi menggunakan hak politiknya baik sebagai pemilih ataupun
sebagai calon ketua dan anggota.
Tahun ini, posisi calon Senat Mahasiswa (Sema) menjadi sorotan. Dari hasil rekapitulasi pendaftaran, diketahui
sebanyak 74 mahasiswa yang mendaftar sebagai bakal calon anggota Sema di tingkat universitas (Sema-U). Begitu pula halnya dengan Sema di tingkat fakultas (Sema-F) yang menunjukkan peningkatan.
Terdapat semacam perubahan
arah perhatian dan kecenderungan yang patut dicatat. Posisi Sema sebagai
lembaga legislatif (rule making function) mulai disadari peran
pentingnya dalam pemerintahan mahasiswa. Sebelumnya, kebanyakan
mahasiswa lebih tertarik untuk berkecimpung dalam lembaga eksekutif (rule
application function) seperti Dewan Eksekutif Mahasiswa
(Dema) dan Himpunan Mahasiswa tingkat jurusan maupun program
studi (HMJ/HMPS). Memang benar, bila mau mencari eksistensi, lembaga eksekutif memberi
kesempatan besar. Sebab, kinerja lembaga ini terlihat dan
terasa secara langsung oleh mahasiswa sebagai pelaksana aturan. Namun bukan berarti posisi Sema menjadi tak penting dalam
keberlangsungan pemerintahan mahasiswa. Sebab, Sema mengambil peran strategis dalam
membingkai kerja pemerintahan mahasiswa agar sesuai dengan AD/ART dan ketetapan
yang berlaku. Lebih dari itu, Sema
juga mengacu kebutuhan dan
aspirasi mahasiswa pada umumnya.
Dalam menjalankan tugas
legislasi dan pengawasan, Sema memakai sistem kolektif-kolegial. Kolektif
berarti mengambil ketetapan dan keputusan yang mengatasnamakan sidang yang
melibatkan anggota-anggotanya. Kolegial adalah tidak adanya stratifikasi antar anggota,
tidak ada perbedaan hak dan kewajiban, kecuali pada tanggung jawab administrasi
yang telah disepakati. Lain halnya dengan sistem kerja Dema dan HMJ/HMPS yang bertugas menjalankan
program-program kegiatan mahasiswa. Corak kerja lembaga itu sangat dipengaruhi oleh ketuanya. Ketua dalam lembaga
eksekutif mahasiswa begitu krusial dibanding dengan anggotanya dalam menentukan
arah dan bentuk organisasi yang dipimpinnya.
Dalam perihal
keanggotaan, Sema-U sendiri
dipilih lima orang dari
perwakilan fakultas. Sedangkan anggota Sema-F terpilih tiga orang dari masing-masing jurusan/prodi.
Bila pendaftar melebihi batas kursi perwakilan, maka dilakukan pemilihan
melalui pungutan suara. Artinya,
untuk menjadi anggota Sema bukanlah hal mudah. Belum lagi setelah terpilih
menjadi anggota, para anggota yang terpilih
akan melakukan sidang pemilihan ketua Sema. Sedangkan keanggotaan Dema dan HMJ/HMPS ditunjuk dan dibentuk oleh ketua dan wakil ketua
terpilih. Ini juga menjadi perbedaan
dinamika antara lembaga legislatif dan eksekutif.
Sudah sepatutnya kita syukuri bersama bahwa
mahasiswa UIN Jakarta mulai memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya
partisipasi politik dalam pemerintahan mahasiswa. Apapun pilihan partisipasinya, baik di lembaga legislatif maupun
eksekutif, menjadi
bekal pembelajaran yang berharga. Berbagai kebutuhan dan aspirasi mahasiswa
bisa disalurkan lewat organisasi kemahaiswaan sebagai jembatan antara pihak mahasiswa dengan kampus.
Pilihan untuk meneruskan tradisi berdemokrasi menjadi pilihan tepat. Walau dalam kenyataannya, mereka harus menghadapi kepahitan. Sebab di
samping UIN Jakarta bukan lembaga politik, hadirnya pemerintahan kemahasiswaan yang
dipilih lewat pemilu berpotensi memunculkan disorientasi mahasiswa sebagai
bagian dari sivitas akademika kepada kecenderungan politis dan hegemoni
kekuasaan.
*Ketua Forum Komunikasi dan Kajian PAI (FK2I) UIN Jakarta