Oleh : Moh. Hisyam Rafsanjani*
Pemilihan Umum yang disingkat menjadi
pemilu merupakan suatu sarana atau proses untuk memilih dalam sistem demokrasi
dalam suatu wilayah. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh berhak memilih
pemimpinnya sebagai suatu konsensus penanda legitimasi pemimpin berhak
memerintah rakyatnya. Oleh karenanya, pemilu dalam setiap periode merupakan
suatu keniscayaan bagi terciptanya sistem yang demokratis.
Partai politik menjadi suatu wadah
penting dalam sistem demokrasi, karena partai politik menjadi pilar-pilar
demokrasi. Selain itu, partai politik merupakan representasi kelompok-kelompok
yang ada dalam suatu masyarakat. Sehingga dengan demikian, partai politik
menjadi wadah aspirasi dalam menyuarakan pendapat-pendapatnya. Partai politik
juga sebagai wadah filterisasi kader-kader terbaiknya untuk memimpin di berbagai
pemerintahan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta secara
historis sangat identik dengan Student Government (SG) dalam setiap Pemilihan Umum Raya (Pemira) setiap tahunnya. Oleh karena itu, secara historis menjadikan UIN
Jakarta layaknya miniatur Indonesia yang terdapat sistem eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Sehingga, suatu konsekuensi logis terciptanya partai-partai
politik untuk berpartisipasi mencari kekuasaan. Pada waktu itu dikenal berbagai
partai politik yang ada di UIN Jakarta, seperti hal nya PPM, PARMA, Partai
Bunga, dan lainnya.
Impilkasi dalam setiap pemira, apabila
seseorang ingin berpartisipasi dalam setiap pemilihan Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) (nomenklatur pada waktu itu) baik di
tingkat universitas, fakultas, maupun jurusan. Orang tersebut harus masuk
dan mendapatkan rekomendasi dari partai-partai politik yang ada kampus.
Sehingga, partai politik menjadi suatu corong kadernya dalam setiap golongan
kelompok mahasiwa.
Kini, di UIN Jakarta memiliki perbedaan
nomenklatur. BEM diganti dengan Dewan Mahasiswa (DEMA) untuk eksekutifnya,
sedangkan DPM diganti dengan Senat Mahasiswa (SEMA) untuk legislatifnya. Selain
itu, sistem partai politik sudah dihapuskan. Sehingga, implikasinya setiap
calon mahasiswa yang ingin berpartisipasi di dalam setiap pemira tidak perlu
lagi harus mendapatkan rekomendasi dari setiap partai politik kampus yang ada.
Partai politik kampus merupakan bentukan
dari organisasi ekstra yang berbasiskan ideologi untuk memberdayakan kadernya
berproses di ajang Pemira. Sangat terasa memang ketika dalam regulasi sekarang
tidak mengharuskan seorang mahasiswa mendapatkan rekomendasi partai politik.
Sementara itu, untuk menggantikannya memerlukan beberapa Kartu Tanda Mahasiswa
(KTM) sebagai representasi awal legitimasi seorang kandidat. Akan tetapi,
terdapat pengaruh yang besar dari organisasi ekstra tersebut yang bercorak
‘hijau’, ‘biru’, ‘merah’, ‘putih’.
Organisasi ekstra yang berbasiskan ideologi
tersebut tak ada bedanya seperti partai politik kampus. Namun, sebenarnya
penulis berkeyakinan ada perbedaan yang sangat prinsipil organisasi dengan
partai politik. Organisasi dibentuk, awalnya bukan untuk mencari kekuasaan
berbeda halnya dengan partai politik memang pada awal di desain untuk mencari
kekuasaan secara konstitusional yang sesuai dengan regulasi yang ada.
Alasan tersebut yang membuat penulis
menggambarkan ada nya sebuah ‘partai politik kampus bayangan’ dalam setiap Pemira.
Padahal, regulasi sebenarnya tidak mengharuskan lagi ada rekomendasi dari
partai politik kampus. Karena, organisasi ektra tersebut mempunyai kader yang
masif sehingga alur suara mudah di mobilisasi dalam setiap pemilihan.
*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Hukum