Oleh Aliffaiz Achmad Iman*
Pukul setengah sepuluh malam, jalanan kota
Bandung terdengar begitu sepi dari kamar kos ku yang tidak jauh dari jalanan
utama kota. Dengan kondisi kebugaranku yang tidak begitu baik dan butuh perawatan
sekadarnya, aku memaksakan pulang ke rumah ibuku di Jakarta.Motif rindu rumah
juga berangkat sebagai latar belakang keberangkatan. Biasanya dengan urgensi
seperti ini aku meminta kiriman uang dari ibuku tapi tidak bisa gara-gara hari
paling tragis yang menimpaku kemarin lusa.Berawal dari dompetku menghilang dari
saku belakang celanaku, entah itu tertinggal di kelas pagi atau mungkin
kecopetan ketika berjalan menuju kantin, yang pasti aku sudah mencoba mencari
dompetku di kelas pagi itu. Kisah tragis dihari itu bertambah dengan perangkat
telepon genggamku yang tercebur ke dalam kloset kamar kos pada sore hari ketika
sibuk scrolling timeline akun
propagandis. Betapa bodoh dan teledornya aku hari itu, seketika malam itu jadi
sosok yang berbeda ketika meratapi hari yang serasa begitu panjang.
Dengan mengandalkan uang simpananku di lemari
bukuku yang berjumlah delapan puluh ribu rupiah aku nekat berangkat malam itu
juga. Dengan persiapan yang sepertinya cukup memadai seperti sebotol penuh air
mineral dan dua bungkus mi instan tak lupa juga kubawa empat buah
kaset pita lengkap dengan earphone
dan pemutar kaset pita itu sendiri untuk menemani suntuknya perjalanan malam.
Selepas melaksanakan ibadah salat Isya dan berdoa agar dilancarkan
perjalananku, aku berangkat dengan menggunakan sepeda motor dengan transmisi
otomatis pemberian ibuku. Tujuan terdekat saat itu adalah pom bensin yang
kulewati pertama kali yang harus ada di sisi kiri jalan. Di pom bensin aku
mengisi penuh kapasitas bensinku dan sesudahnya aku membeli rokok kretek secara
eceran di warung yang cukup berdekatan dengan pom bensin tersebut.Usai membakar
batang pertama aku kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang perjalanan aku
merasa doaku dijabah, dari Bandung hingga Ciputat yang kurang lebih berjarak
sekitar lima puluh kilometer. Langit tampak selalu cerah, aku bisa melihat
lebih banyak bintang-bintang di langit tanpa terganggu polusi cahaya dan tentu
pembandingnya adalah Bandung dan Jakarta. Aspal jalanan begitu lembut hampir
tidak ada lubang, penerangan jalan juga tidak begitu seburuk empat tahun lalu
ketika aku baru pertama kali berangkat kuliah dari rumah menuju kampus sebagai
maba tulen. Atas berkah cuaca dan kondisi jalan aku merasa banyak berterima
kasih dan sedikit merasa malu kepada birokrat setempat yang memperhatikan akses
transportasi, karena sebelumnya aku agak jijik kepada mereka.
Ditemani dengan musik yang mengalir secara
analog dari walkman ke telingaku,
suasana perjalananku menjadi semakin nyaman.Setiba di daerah yang menurut papan
penunjuk jalan, sudah di Cianjur atau setidaknya dekat-dekat Cianjur, udara
mulai dingin dan angin juga mulai berhembus kencang.Setelah melewati pertigaan
akses Bandung-Sukabumi-Jakarta, gerimis mulai turun meski awan tampak tidak
begitu tebal. Mendekati Cipanas, suhu begitu terasa sangat dingin dan
gerimisnya juga menjadi semakin deras. Aku memutuskan untuk meminggirkan sepeda
motorku terlebih dahulu dan mengenakan jas hujan yang sepanjang lutut, tapi
karena aku juga menutupi tas ransel yang kukenakan dengan jas hujan yang juga
kukenakan, jas hujan tersebut hanya menutupi hingga pangkal paha. Di Puncak
sekitaran kebun teh, udara dingin kini hingga mencapai puncaknya, curah hujan
juga menyerap ke dalam sepatu, sarung tangan dan juga celana jeansku.Tidak hanya
menerima air, aku juga mengeluarkannya dari tubuhku, air keluar dari mata
karena aku mulai mengantuk, keringat dingin juga keluar dari pori-pori tengkuk
hingga leher serta bersin-bersin yang mengeluarkan lendir-lendir dari hidung
dan mulut. Aku menyesal untuk tidak berhenti ketika hujan mulai deras yang
tidak kuketahui kira-kira persisnya kapan aku harus berhenti.Karena sudah
terlanjur basah, jadi kulanjutkan saja perjalanan pulang.
Sudah memasuki kabupaten Bogor, kira-kira masih
di daerah Puncak juga, hujan mulai mereda tapi aku masih merasa kedinginan
karena pakaianku yang dibasahi air yang begitu dingin. Karena sebagian besar
jalanan kedepan adalah turunan, aku memilih untuk mematikan mesin sepeda
motorku karena uang bekalku sudah kurang dari setengah. Baterai pemutar kasetku
sudah habis ketika hujan mulai mereda dan aku mulai suntuk dan benar-benar
mengantuk karena kelelahan. Kontur jalanan daerah ini begitu bergerunjal,
hampir tidak ada yang rata. Pengguna jalanan daerah ini juga begitu brengsek menurutku,
bagaimana bisa orang-orang mengendarai kendaraannya dengan begitu kebut dan
ugal-ugalan, baik itu menggunakan sepeda motor, mobil, truk dan bis yang
pembuangan emisinya luar biasa mengebul, serta kendaraan mewah yang ber
arak-arakan dengan menggunakan sirine serta bunyi-bunyi aneh yang jalannya
dibukakan oleh perangkat-perangkat keras. Karena sudah sangat gusar, mengantuk
serta demam yang semakin menjadi, aku memilih untuk beristirahat sejenak di
dalam masjid terdekat yang secara kebetulan tampak agak mewah, kebetulan karena
aku memilih dengan tidak sengaja. Di parkiran masjid aku membereskan jas hujan
yang kukenakan, serta melucuti sarung tangan dan kaus kaki yang begitu
lepek.Usai membereskan semuanya yang dirasa penting, seseorang yang sepertinya
pengurus masjid menghampiriku. "Mau apa?" Mendengar pertanyaan itu
aku agak panik jadi kontan kujawab saja "sembayang, pak" "Gak
boleh!apa-apaan kamu mau solat di sini, kamu gak pantes salat di sini, setelan
preman, mana bau lembab pula, sudah bukan waktunya salat juga".
Aku bingung dan bertanya-tanya kenapa orang dengan penampilan yang tampaknya begitu suci itu berkata seperti itu dan kurasa aku tidak sanggup untuk berdebat.Memang aku mengenakan jaket hitam lusuh, celana robek-robek yang sebenarnya robeknya juga tidak kusengaja dan melebar sendiri robekanya, serta sepatuku yang memang sudah lumayan hancur meski masih bisa kukenakan.Aku lebih merasa tampak sebagai gembel ketimbang preman."Wah, numpang istirahat aja gak boleh pak?Inikan rumah Allah untuk umatnya" dengan nada mengemis dan sok polos aku mengiba."Sok suci kamu!Mana ada dalilnya?Pergi kamu, ngotor-ngotorin ubin masjid aja nanti kamu!" Dengan kecewa aku mohon pamit dan meminta maaf karena mengganggu, tak lupa juga aku bersalim dengan mengambil bapak itu terlebih dahulu dan dia tidak menolaknya. Kunyalakan kembali motorku dan kuucapkan salam dengan manggut ke bapak tersebut, aku tidak mendengar balasannya.
Dalam melanjutkan perjalanan aku semakin merasa
konyol setelah secara fisik aku lumayan tersiksa, kini aku menggerutu dan
memaki-maki bapak tadi dalam hati, ya kini aku semakin kacau dengan merasa
dendam dan benci. Ditambah ketika berada di depan masjid agung di kota Bogor
gerbang utamanya ditutup, aku malas mencari jalan lain untuk masuk karena dari
luarpun masjidnya tampak begitu gelap, aku justru semakin kesal dan kebencianku
malam itu justru membuatku lupa aku merasa sakit meski hampir lima menit sekali
aku bersin-bersin di atas sepeda motorku.
Sudah lebih dari setengah perjalanan menuju rumah,
jalanan juga sudah tidak semenyebalkan sebelumnya, bekalku kini tinggal uang
lima ribu rupiah karena sisa kembalian uang rokok dan bensin ketika ku isi di
Bandung sudah kugunakan untuk mengisi bensin tidak jauh dari masjid yang batal
kusinggahi. Sebungkus mi rebus mentah juga sudah kulahap ketika aku memutuskan
berhenti untuk mengenakan jas hujan. Persediaan rokok juga sudah habis.Aku
semakin bersemangat ketika merasa sudah cukup dekat dengan rumah, tapi
apadayaku melawan tubuhku yang semakin melemah dan sempat tertidur sembari
mengendarai sepeda motor. Kuputuskan untuk berhenti di pelataran ruko untuk
tidur sejenak.Sekitar setengah jam tidur di lantai, aku merasa lebih buruk
ketimbang sebelumnya meski sedikit mengobati rasa kantuk. Kulanjutkan perjalanan
hingga kujumpai sebuah kubah kecil di sisi kiri jalan yang berjarak sekitar 50
meter di depanku, dengan semangat kupacu sepeda motorku menuju kubah yang
ternyata adalah bagian dari sebuah musala. Setibanya di sana aku melihat
beberapa buah sepeda motor serta beberapa buah gerobak yang bentuknya
berbeda-beda. Di dalam musholla tersebut banyak laki-laki yang terbaring di
atas karpet-karpet bergambar masjid, hanya sebagian kecil dari isi musholla
yang melakukan sholat malam dan berdzikir.Seketika aku langsung menuju tempat
wudhu untuk membasuh tangan, wajah serta kaki dan langsung masuk ke dalam
musholla untuk merebahkan badan dan langsung tertidur setelah kupastikan semua
perlengkapan dalam jangkauan aman meski aku sudah tertidur.
Sebangun tidur aku merasa menjadi lebih baik,
aku tidak tahu berapa lama aku tertidur, jam terakhir yang kulihat adalah jam
yang digantung di kamar kos ku. Kulihat jam di musholla menunjukkan kurang dari
pukul empat dini hari, dan kulihat lima jam mati yang salah satunya menunjukkan
waktu adzan subuh jatuh pada pukul 04.35 WIB. Kupastikan semua bawaanku tetap
pada tempatnya dan semuanya lengkap.Penghuni musholla tampaknya sudah lebih
sedikit ketimbang yang kulihat ketika aku baru tiba, meski ada beberapa yang
tadinya tidak kulihat ketika aku mulai merebahkan badan.Usai memperhatikan, aku
beranjak keluar menuju parkiran masjid untuk beranjak pulang.Tidak jauh dari
motorku kulihat ada bapak-bapak yang memegangi gerobak yang menjajakan kue
putu.Karena menyadari keberadaanku dia menegurku dan bertanya, "Dek, ada
korek, dek?""Oh iya, pak, ini ada" kusodorkan korek gas
milikku.Bapak itu menyalakan sebuah lilin di gerobaknya dan mengembalikkannya
padaku."Ini, terima kasih"."Sama-sama, pak".Kemudian bapak
itu mengangkat lilinnya dan menyambung apinya kedalam yang sepertinya sumbu di
dalam gerobaknya dan peluit khas kue putu berbunyi. Bapak tersebut membakar
rokok kreteknya dari api yang menyala di lilin lampunya dan melanjutkan
menyalakan lampu petromak kecil di sisi depan gerobaknya sebelum meniup api
dari lilin tersebut.
Sembari duduk mengumpulkan nyawa, aku
memandangi bapak penjual kue putu tersebut, inginku basa-basi tapi
bingung.Beruntung, bapak penjual kue tersebut menawarkan dagangannya terlebih
dahulu sebelum aku memberanikan diri untuk menegurnya."Berapaan,
pak?" "Terserah, seadanya si adek aja"."Lima ribu dapet,
bang? Saya tambahin deh pake mi rebus belum masak" sambil kusodorkan mi
rebus yang sudah kugapai dari dalam tas berikut uang terakhirku. "Wah,
dapet dek, alhamdulillah, saya juga laper"."Loh, pak, bapak kan
dagang makanan, masa laper, pak?""Lha, inikan dagangan, dek, ya kudu
jadi duit buat urip anak, cucu, dek". Jawabnya sambil menertawakan
pertanyaanku."Eh, saya angetin dulu ya, dek, ini kretek buat nungguin
nganget". Entah kenapa aku menerima tawarannya dan langsung menghisap
rokok yang baru saja kuterima. Aku terdiam dan bingung dengan logika yang
dianut oleh bapak tua pedagang kue putu tersebut."Dari mana, dek, nyubuh
begini masih, keluyuran?""Dari kampus, pak, ini mau pulang".
"Masak baru pulang kampus jam segini? Abis diskusi mahasiswa gitu ya,
dek?". "Oh, nggak, pak, saya dari Bandung emang mau pulang aja pak,
kangen ibu, hahaha". "Walah jauh bener, dek ya ampun, hati-hati, dek,
bahaya itu jauh, capek lho itu, dek, saya kiramah abis diskusi, soalnya anak
saya yang paling bontot pulang malem mulu, alesannya ya diskusi melulu, jadi ya
saya ngiranya si adek ini abis diskusi, gitu". "Ya saya kadang-kadang
aja sih, pak ikut-ikut diskusi, hehe".Bapak tersebut beranjak dan menyajikan
kue putunya, dan kembali melanjutkan perbincangan yang membahas seputar
perkuliahan, keluarga masing-masing dan pekerjaan si bapak.
Sekitar 20 menit berlalu, aku beranjak dan
mengucapkan salam serta terima kasih kepada bapak penjual kue putu tersebut.
Sesudah si bapak menawarkanku menetap setidaknya hingga adzan subuh untuk
sholat subuh meski aku berdalih aku memilih untuk solat di rumah dan rumahku
dapat ditempuh dalam waktu sekitar setengah jam.Karena begitu bersemangat dalam
memacu sepeda motorku, aku tiba di rumah dalam waktu kurang dari setengah jam,
di depan pagar rumah, aku masih bisa mendengarkan suara imam yang memimpin
solat berjamaah dari pengeras suara masjid dekat rumah. Aku semakin merasa lega
karena bisa datang lebih awal, meski tidak kujumpai ibuku di rumah.Karena
sangat kecewa aku memilih untuk langsung tidur.
*Pegiat Komunitas Rusa Besi