(Sumber: Internet)
Oleh;
Dede Afrizal
Tanggal 21 Desember
lalu, bisa disebut sebagai hari yang spesial bagi kebanyakan sivitas akademik UIN
Jakarta, mengingat hari tersebut digelar “pesta demokrasi”. Perhelatan ini
sering kita sebut sebagai Pemilihan Raya (pemira). Pemira menjadi agenda
rutinan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang bagi kebanyakan mahasiswa
dinantikan. Pemira ini menjadi arena bagi para mahasiswa untuk mencalonkan atau
dicalonkan dalam “menahkodai”, baik ditingkat jurusan, fakultas maupun
universitas.
Pesta demokrasi
ini merupakan salah satu bentuk pembelajaran politik dan menjadi tempat untuk
mengaktualisasikan potensi para mahasiswa. Setiap tahunnya, perhelatan ini
selalu menarik. Mengingat para mahasiswa selalu antusias dalam momen ini. Pemira
bisa juga dikatan sebagai salah satu proses mewujudkan bentuk demokrasi kampus. Disamping itu, mahasiswa diharapkan
andil atau berpartisipasi dalam momen tersebut.
Namun fakta
dilapangan berpunggungan. Seperti data yang bersumber dari Lembaga Pers Mahasiswa
Institut, tiga tahun terakhir ini minat
mahasiswa terhadap pemira masih minim. Hal ini berbanding lurus dengan angka
golongan putih (golput) yang mencapai 5.947 atau 34,5% dari 17.254 jumlah
Daftar Pemilih Tetap (DPT) tahun 2014, aklamasi yang mencapai 52% tahun 2015
dan angka golput 6.361 atau 34% dari 18.613 jumlah DPT tahun 2016.
Alasan mereka
tidak andil dalam momen ini pun beragam, mulai dari tidak adanya calon, tidak
kenal dengan calonnya, tidak memiliki Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), dan bahkan
lebih “ekstrim” lagi ada yang mengatakan “pemira rasa organisasi ekstra”.
Sehinga mereka enggan berpartisipasi dalam proses pembelajaran demokrasi ini.
Akibatnya, sikap yang demikian ini mengarah
kepada apatis yang nyata.
Padahal jika
melihat arti kata demokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya ikut serta memerintah
dengan perantara wakilnya. Dengan kata lain, mahasiswa sebagai rakyat dalam
sebuah kampus seharusnya terlibat untuk menetukan siapa nantinya yang akan
menjadi wakil mereka.
Dalam perhelatan
ini, seharusnya mahasiswa lebih memaknai istilah demokrasi sekaligus
merealisasikannya dilapangan. Mengingat makna demokrasi, “dari rakyat, untuk
rakyat, oleh rakyat”. Artinya, mahasiswa sebagai rakyat dalam sebuah kampus, harusnya
berpartisipasi dalam hajat ini. Hal yang demikian ini merupakan perwujudan
nyata dari makna demokrasi.
Pemira; dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk
mahasiswa
Memang kita tak
bisa sepenuhnya menyalahkan sikap mahasiswa yang enggan berpartisipasi dalam
pesta demokrasi ini. Mengingat mereka juga memiliki hak dalam menentukan sikap,
baik ikut berpartisipasi maupun tidak sama sekali tanpa ada ancaman dari
manapun dan siapapun. Namun hal semacam ini menunjukkan bahwa masih banyak
mahasiswa yang acuh tak acuh (apatis) terhadap proses perkembangan demokrasi
kampus.
Meminjam istilah
seorang tokoh sosiolog Prancis, bahwa norma tertinggi demokrasi bukan jangkauan
kebebasan atau jangkauan kesamaan tetapi ukuran tertinggi partisipasi (A. D.
Benoist). Hal ini menunjukan kepada kita bahwa, salah satu nilai (ukuran,
norma) dalam proses demokrasi (dalam hal
ini kampus) diukur dari partisipasi mahasiswa terhadap pemira.
Di samping itu,
kita tidak perlu cemas siapa saja nantinya yang akan terpilih, baik dari
kelompok “hijau, biru, merah”, atau yang lainnya. Toh, kampus atau pemira ini
bukan milik pihak manapun, baik itu rektorat, dosen, maupun organ ekstra tapi
milik kita semua. Oleh karena itu, seharusnya pola berpikir kita adalah
bagaimana membuat pemira ini menjadi bagian dari wadah pembangunan karakter
mahasiswa.
Bukan berpikir
bahwa pemira hanya sebagai arena politik belaka, melainkan ada hal yang lebih
besar dan penting, bahwa pemira merupakan salah satu cara memilih pemimpin yang
mumpuni dan berkualitas. Sehingga dapat mengakomodir seluruh mahasiswa untuk
memberikan kontribusi terhadap institusi (kampus).
Terlepas adanya
ungkapan bahwa “pemira rasa organ ekstra” atau banyaknya kepentingan
kelompok-kelompok mahasiswa, yang terpenting adalah dengan adanya pemira, organisasi
intra mahasiswa akan kontinu sehingga bermuara pada proses pengembangan
almamater. Hal yang demikian merupakan makna pemira, “dari mahasiswa, untuk
mahasiswa, oleh mahasiswa”.
*Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Pegiat Forum Kajian
Piramida Circle Jakarta