Oleh : Rinai Riinday*
Dalam setiap kata terselip beberapa makna yang sulit untuk
diucapkan. Begitu pula tentang sebuah rasa yang tertahan dan enyah dimakan oleh
waktu, pada akhirnya rasa itu terselip dalam bangsal-bangsal penyesalan yang
dikenang selamanya. Seperti tanda koma yang dimunculkan semau-mau dan
seperlu-perlunya penulis. Begitulah kiranya kisah amatir nista yang akan aku
ceritakan.
Malam itu, di sebuah peraduan senja, tepatnya di bawah nyiur pohon
kelapa dan tepat di hadapan tangis senja, dia bertemu dengan seorang lelaki
berparas khas timur dan berbadan khas barat. Ia menatap dalam-dalam hingga
akhirnya mengalir sebuah desiran rasa yang janggal. Kiranya tak perlu seorang
jalang seperti dia mencintai yang mustahil menjadi miliknya. Namun, pekara
cinta tak ada yang bisa dielakan.
Kala
itu, ia melemparkan sipuan senyum yang jarang ia keluarkan untuk para lelaki
bejat. Saat itu senyumnya amat sangat tulus. Namun, rasaku tak ada yang
benar-benar tulus dalam sebuah putaran roda kehidupan. Nahas, pria itu berlaju
begitu saja tanpa memberi balasan. Mungkin, fikirnya gadis itu menawarkan
badannya. Tetapi, sebetulnya gadis itu menawarkan sebuah rasa yang masih belum
bisa dicari makna leksikalnya.
Wanita
bertubuh semampai yang molek itu merah padam dibuatnya malu. Realitanya, memang
bukan kali ini saja ia ditolak mentah-mentah. Bahkan, beberapa malam sebelumnya,
ia pun sering ditolak mentah dan dinistakan begitu saja kepada orang-orang laki
yang nyatanya lebih nista dari padanya, tetapi kali ini, ada sebuah tusukan
tersendiri yang tertancap pada hatinya.
Wanita
itu kembali ke tepi pantai, melonjorkan kaki mulusnya yang berlapis kain sari
tipis buah tangan pelanggannya. Ia merenung, mengangkat butiran-butiran pasir
dan menaruhnya lagi. Sekiranya, menjadi perempuan jalang memang sulit menggapai
cinta. Padahal, setiap malam ia selalu bercinta. Tapi, dalam hidup makna cinta
terbelah menjadi dua ; cinta yang hina dan cinta yang mulia.
Dahulu kala, hidup sebuah keluarga yang akur dan nyaman dipandang.
Keluarga itu adalah keluarga Syekh Ali Syahbana seorang petuah di desa
Temanggung, Jawa Tengah. Hidup sepasang laki bini yang dikaruniai
seorang putri nan jelita dan soleha. Putri tercinta itu selalu mengenakan
jilbab sebawah pusaran perut serta terseret-seret pakaian bawahnya sebagai
penutup aurat
Syahdan
kiranya, gadis itu gemar sekali akan sebuah kesenian. Bukan kesenian wayang
warisan para wali. Bukan pula syair-syair syekh pujian baginda nabi, melainkan
sebuah kesenian kata yang terus ia ukir di sebuah buku merah bersulam benang
emas itu. Namun, kata yang ia tulis bukan berbau agama melaikan berbau cinta
yang hina di mata ayahanda.
Setiap hari, selepas sore ia berjalan
kepinggiran danau yang berada di belakang halaman masjid dengan maksud untuk
menulis. Banyak orang yang sudah tau akan kebiasaannya, begitu pula dengan sang
ayah. Dengan molek ia ukirkan pena yang berisi perihal pujian-pujian cinta. Ya,
cinta yang haram menurut ajaran moyangnya.
Diam-diam
gadis itu memasuki pintu rumahnya. Mangumpat-umpat agar bukunya tak terlihat
orang-orang rumah. Karena, yang ia tahu, ayahnya tak suka dengan kesenangannya.
Dulu, ketika ia berusia 15 tahun, tepat menginjak masa pubertas, ayahnya pernah
memergoki tulisan syairnya yang berbau cinta. Lantas, sang ayah turut merobek
kertas tersebut, ibunya hanya diam seakan menunjukan kesetujuan atas sikap
ayahnya. Sebab itulah sekarang hatinya selalu diliputi rasa was-was akan
kesenangannya.
Kala
itu kejadiannya sangat menegangkan. Aku masih ingat betul kejadiaannya. Saat
itu, ketika semua santri sedang tadarus dan sang ayah sedang asyik mendengarkan
lantunan ayat suci, tiba-tiba Laila datang kemudian disambut hangat dengan
senyum ramah ayahnya. Namun, saat kejadian itu berlangsung, Laila lupa
menyembunyikan buku sakunya, ia menentengnya dan beranjak salim dengan ayahnya
yang kemudian dilihatlah oleh ayahnya buku tersebut. pertama-tama sang ayah
bertanya dengan nada perlahan, namun Laila tak kuasa menahan cucuran keringat
dari rasa tegangnya sehingga hal tersebut membuat sang ayah curiga. Diambillah
oleh ayahnya buku tersbut dan dibacanya kemudian.
Para
santri yang ada saat itu hanya diam bak menyaksikan teater yang sedang
dipentaskan.mereka hanya melongo melihantnya. Terlebih ketika gurunya
tersebut menyobek-nyobek kertas milik putrinya sembari menyebut-nyebut
istighfar.
“Apa
yang salah dari menulis, Ayah? Bukankah segala syariat juga dituangkan melalui
tulisan, sehingga kita bisa tahu sampai saat ini? Bukankah dengan tulisan
serupa ini Sulaiman dan Bilqis bisa bersatu? Kenapa Ayah? Kenapa ayah
mengharamkan hal yang belum jelas keharamannya? Bukankah tidak semua kelangkaan
dalam budaya itu batil adanya, Ayah?”
Raungan
gadis itu disambut meriah dengan sentuhan telapak tangan sang ayah di pipinya.
Semua orang yang menyaksikan terheran-heran, begitu pun aku. Lantas, gadis itu
berlari tanpa ada yang menahannya. Ia lekas mengunci pintu kamarnya dan saya
tak tahu lagi apa yang diperbuatnya di dalam kamar itu. Namun, jelas yang saya
tahu ia hanya ingin merangkai kata sedemikian rupa. Ia hanya ingin menjadi
Kartini yang mahir akan tulisan. Tapi, mau dikata apa, yang keluarganya tahu
hanya tulisan arab dan aksara melayu yang menceritakan sebuah legenda islami.
Gadis jalang itu terhentak ketika seorang pedagang asongan
menegurnya untuk berpindah tempat. Ia menutup buku sakunya, menyudahi
tulisannya mengenai kekolotan keluarga Laila.
Sekiranya, hanya melalui tulisan inilah ia bisa menjadi raja atas
kehidupan. Berhak menciptakan tokoh apapun, berhak mematikan dan membangkitkan
tokoh, dan berhak untuk mencintai walau hanya dalam sebuah cerita. Realitanya
wanita panggilan seperti ia semakin ditekan martabatnya oleh masyarakat.
Jangankan untuk mendengar impian dan keluh kesahnya, melihat senyumnya pun
masyarakat akan jengah, terkecuali laki-laki hidung belang yang faedahnya lebih
rendah darinya. Bedanya, wanita seperti ia tak punya uang untuk memanipulasi
publik dan pria itu memanfaatkan uang untuk membungkam kenyataan. Bedanya lagi,
ia tak punya asal-usul keluarga orang penting untuk membuat orang lain sungkan
dengannya. Toh yang penting dari hidup ini ialah uang dan jabatan,
bukan?
Wanita
itu beranjak dari tempat duduknya. “Ah, mungkin perihal
pria tadi, aku akan memilikinya lewat ceritaku selanjutnya.” katanya.
*Mahasiswa PBSI UIN Jakarta