Oleh : Izzudin Abdul Hakim*
Di awal
kemunculannya, ide Islam Nusantara memang tampak asing di telinga publik. Namun
belakangan, ‘bayi yang baru lahir’ ini mulai berkembang menjadi mainsteam hingga mengundang riak
kontroversi.
Pernah umat
Islam seantero negeri ini dibikin heboh oleh pembacaan ayat Al-Quran dengan langgam
Jawa pada saat peringatan Isra’ Miraj di Istana Negara. Ditimpa hujan kritik
dari banyak kalangan Islam, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, akhirnya
menyampaikan permohonan maafnya terkait kontroversi qiraah tersebut.
Sebelumnya,
Kementerian Agama mengeluarkan surat tertanggal 19 Agustus 2015 dengan perihal “Pemberitahuan
Bantuan Penulisan Islam Nusantara”. Dalam surat tersebut tertulis, “dalam rangka memperteguh Islam Nusantara
dan mempromosikan Islam Moderat yang mempertegas semangat keislamana dan
kebangsaan, Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
memberikan program Bantuan Islam Nusantara Tahun Anggaran 2015 bagi 10
(sepuluh) dosen, peminat kajian, peneliti, dan penulis sebesar maksimum Rp
50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) untuk setiap usulan, yang digunakan untuk
mendukung penulisan Islam Nusantara tersebut”.
Dua macam
kebijakan di atas secara kasat mata menjelaskan satu hal, yakni, bahwa ide
Islam Nusantara tak lahir dari ketidaksengajaan. Dengan jelas pemerintah
mensponsori kampanye ide Islam Nusantara ini. Negara yang sejatinya mengambil
posisi netral terkait keberagamaan individu-individu warganegara, khususnya
muslim, kini turut melakukan intervensi mengkreasi perwajahan Islam di
Indonesia. Lantas yang menjadi misteri, apa yang dimaui dari ide Islam
Nusantara tersebut?
Argumentasi Islam Nusantara
Kehadiran Islam
Nusantara dianggap sebagai jawaban alternatif bagi Indonesia agar umat Islam di
negeri ini terhindar dari persoalan dan konflik sebagaimana yang terus melanda
muslim di Timur Tengah. Dengan perwajahan yang diklaim lebih “toleran”, Islam
Nusantara diproyeksikan akan menjadi kiblat keberislaman kaum muslim. Wakil
Presiden, Jusuf Kalla, dengan optimis menyampaikan pesan tersebut dalam
sambutannya pada acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta. Beliau
menyerukan agar Islam di Indonesia mampu menjadi teladan dan rujukan bagi
peradaban dunia.
Jadi, alasan
mengapa Islam Nusantara ini lahir sesungguhnya diinisiasi oleh kemauan untuk mewujudkan
nilai toleransi, keharmonisan, dan kerukunan antarumat beragama. Hal ini mahapenting
mengingat kondisi penduduk di Indonesia pada faktanya memang beraneka ragam
suku, bahasa, dan agama. Ada Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, pun banyak
agama kepercayaan yang lain.
Sebagai sebuah iktikad
baik, tentu semangat di balik kemunculan ide tersebut tak salah jika
diapresiasi. Namun demikian, tak cukup iktikad baik semata. Ikhtiar yang
ditempuh pun harus makruf. Jika tidak begitu, apa yang muncul nantinya justru sesuatu
yang kontraproduktif.
Rahmat Islam
Kita amat yakin
bahwa Islam adalah agama rahmatan lil
‘alamin. Sebagai agama penebar rahmat, maka dengan sendirinya, toleransi,
kerukunan antarumat dan nilai adiluhung lainnya adalah sesuatu yang integral
dalam Islam. Rahmat merupakan natijah (konsekuensi)
dari pelaksanaan ajaran-ajaran Islam. Rahmat Islam baru akan terwujud sebagai
konsekuensi logis dari implementasi ajaran-ajaran Islam (An-Nabhani, 2005: 365).
Ibarat rasa kenyang sebagai natijah dari
makan, dan hilangnya dahaga sebagai konsekuensi dari minum. Begitu pula cara
kita mewujudkan rahmat Islam.
Mari kita
saksikan sejarah dakwah rasulullah di Makkah. Islam saat itu belum dapat
dikatakan memberi rahmat, baik bagi pemeluknya terlebih bagi semesta alam. Para
sahabat termasuk rasulullah SAW. sendiri justru mengalami penyiksaan, entah
berupa siksaan yang sepele hingga yang tak bisa dinalar akal sehat manusia
beradab.
Namun setelah
Islam tegak di Madinah Al-Munawwarah, di saat rasulullah memegang kekuasaan
penuh untuk menjalankan segenap hukum-hukum Islam, maka rahmat Islam dengan segera
dapat dirasakan oleh kaum muslim, termasuk juga kaum muysrik dan Yahudi ahlu dzimmah di sana. Islam berhasil
mengangkat bangsa Arab berada di atas kedigdayaan Persia dan Romawi. Islam
sukses mempersatukan kelompok-kelompok yang sebelumnya gemar berperang atas
nama suku dan golongan ke dalam satu ikatan aqidah.
Dalam sejarah panjangnya,
Islam telah memberikan gambaran kongkret atas apa yang disebut toleransi. Karen
Armstrong menggambarkan harmonisnya hubungan antara Muslim dengan Yahudi di
Spanyol dan Palestina. Menurutnya, di bawah Islam, kaum Yahudi menikmati zaman
keemasan di Andalus (baca: Karen Armstrong, A History of
Jerusalem: One City Three Faiths, hal. 326-327).
Islam memiliki
tradisi yang panjang dalam menata hubungan dengan kaum non-Muslim. Tidak ada
tradisi dan persekusi kaum kafir dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam
konsep “heretics” di abad pertengahan Eropa. Islam memang menyebut kaum non-Muslim
sebagai “kafir”, tetapi itu sama sekali bukan sebuah izin apalagi perintah
untuk mengeksekusi kaum kafir karena perbedaan agama (baca: Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on
Today’s World, hal. 44).
Tak heran bila
dengan jujur Wallace Murphy menulis, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan
pernah lunas terbayarkan.” (We in the
West owe a
debt to the Muslim world that can be never fully repaid) (Husaini, 2010: 9).
debt to the Muslim world that can be never fully repaid) (Husaini, 2010: 9).
Ikhtiar yang Keliru
Sayangnya, cara
pandang bahwa rahmat Islam sebagai natijah
semacam ini tak dimiliki oleh para pengusung ide dan pengampu kebijakan
Islam Nusantara. Akibatnya, demi sesuatu yang mereka yakini sebagai “rahmat”,
“toleransi” dan semacamnya itu, Islam menjadi objek ‘pembonsaian’. Padahal
upaya otak-atik ajaran Islam yang telah final merupakan ikhtiar yang
kontraproduktif dan justru menjauhkan kita dari tercapainya nilai-nilai luhur
tadi. Hal itu karena nilai-nilai luhur toleransi, kerukunan dan keharmonisan
antarumat beragama sekali lagi merupakan natijah
dari implementasi hukum-hukum ilahi (Islam). Ia bukanlah hasil cipta dan
karsa manusia.
Oleh karena itu,
memang logisnya rahmat Islam dengan
segala derivasinya seperti toleransi, kerukunan, dan sebagainya harus lahir
dari nilai ilahi yang Mahaadil, Mahapengasih, Maha penyayang, dan Mahabijaksana.
Melalui implementasi hukum-hukum ilahi (Islam), maka natijah tersebut (rahmat berupa toleransi dan sebagainya) dengan
sendirinya akan hadir menyertai.
*Mahasiswa FISIP UIN Jakarta