![]() |
foto : DSM/Ins |
Kasus dugaan
penistaan agama yang belum lama ini dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purnama
atau Ahok menjadi buah bibir warga Indonesia. Penyebabnya adalah pernyataan Ahok mengenai
surat Al-Maidah ayat 51 pada sambutannya di Kepulauan Seribu. Beberapa pihak melaporkan tindakan tersebut sebagai dugaan penistaan agama
tersebut ke Badan Resort Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim
Polri) dengan tuntutan pelanggaran pasal 156a KUHP.
Aksi damai serentak
pun kemudian digelar oleh beberapa organisasi berbasis Islam pada Jumat (4/11). Aksi ini menuntut
Bareskrim Polri untuk segera menindak kasus Ahok. Mereka merasa Bareskrim Polri tak kunjung memberi
kepastian dalam penyelidikan kasus
ini.
Lantas apa yang
dimaksud dari penistaan agama sendiri menurut hukum pidana dalam pasal 156a
KUHP? Berikut hasil wawancara reporter Institut dengan Alfitra, pakar hukum
pidana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jumat
(10/11).
Apakah yang dimaksud dengan penistaan agama dalam hukum
pidana?
Seseorang yang
memberikan suatu pemahaman dan sifatnya menyinggung agama, namun sang pengucap
sendiri tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Padahal, sang pengucap sendiri
bukan dari pemilik agama dan tidak mengerti ajaran agama yang disinggung.
Sehingga secara subjektif memberi kerugian perasaan bagi seseorang atau
sekelompok pemilik agama. Semua itu sudah tertulis dalam aturan UU pasal 156a
KUHP.
Pasal 156a KUHP
bukan hanya berlaku bagi umat Islam, melainkan semua agama yang membicarakan
agama lain. Walaupun Indonesia mayoritas Islam, tapi agama lain juga
dilindungi. Seperti halnya Islam ketika menyalahi ajaran agama lain, tentu
pelakunya juga akan terkena jerat pidana.
Seberapa sering penistaan agama terjadi di Indonesia?
Sudah bukan sekali
dua kali pelanggaran penistaan agama terjadi di Indonesia. Dulu sempat ada
kisah dari Lia Eden yang mengakui dirinya sebagai Tuhan, dan sekarang ia sudah
dipenjarakan dengan dijarat dalam pasal 156a KUHP. Lalu contoh lain, belum lama
ini kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Poernama atau Ahok yang
masih diproses kasusnya.
Apa hukuman bagi terdakwa pelaku penistaan agama?
Ancaman hukuman
maksimal bagi pelanggar pasal 156a KUHP adalah lima tahun penjara. Apabila
pelanggar pasal tersebut dinyatakan salah oleh pengadilan, ia akan dipenjara
dalam kurun waktu lima tahun. Namun, jika pengadilan menyatakan pelaku dihukum
kurang dari lima tahun, dalam hukum pidana ia tidak dipenjara melainkan
mendapat penahan kota atau rumah, dalam artian tidak ditahan.
Hukuman lima tahun
penjara bisa dipertimbangan dengan adanya kebijakan dari hakim. Salah satu
faktor yang dapat menjadi pertimbangan masa hukuman, yakni adanya faktor
ketidaksengajaan. Adapun faktor tersebut juga memiliki beberapa kriteria, bukan
sekadar pengakuan tidak sengaja dari pelaku.
Bagaimana cara menilai kesengajaan atau tidaknya pelaku
penistaan agama menurut hukum?
Sengaja atau tidak,
bisa dinilai ketika seseorang dalam posisi tidak waras atau tak sadarkan diri.
Akan tetapi, beda konteks ketika pelaku mengatakan ketidaksengajaannya dalam
berbicara dikarenakan ketidakpahamannya terhadap apa yang ia bicarakan.
Ketika pelaku mengatakan ucapan yang menyinggung
itu dalam keadaan sadar. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa itu bukan ketidak sengajaan, melainkan
sengaja namun
ia tak paham apa yang ia bicarakan.
Selain pasal 156a KUHP, adakah pasal lain yang membahas
mengenai penistaan agama?
Ada, yaitu pada 156
huruf b KUHP yang isinya, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu, pada
pasal 1 Penpres 1/1965, yaitu barang siapa dengan sengaja di muka umum
menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan
penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari pokok-pokok
ajaran agama itu.
DSM