Di balik kuatnya
isi selop melangkah, menapaki setiap terjal bebatuan, curam tanah licin, basah,
dingin, di balik bangganya
hati pada raga yang dahulu hanya diam menikmati rasa sakit. Di balik
semuanya. Mengapa selalu ada kisah tragis dibalik semuanya. Ada apa dengan
manusia sepertiku? Apa aku berpenyakit? Apa ada dari bagian sudut jiwaku yang
tak bisa diterima? Ada apa dengan manusia sepertiku? Mengapa aku selalu menjadi
cangkang kosong untuk setiap kisah yang berbeda?
Mengapa aku selalu menjadi rumah tak berpenghuni untuk setiap
tempat yang berbeda? Mengapa aku selalu menjadi hati yang sepi untuk setiap
pelaku berbeda yang tiba? Apa aku ini manusia gila? Dan mengapa banyak sekali
aku bertanya, dan mengapa banyak pula yang tidak terjawab, dan mengapa kata
mengapa selalu hinggap di kepalaku? Terjebakkah aku pada imaji yang terlalu
dalam?
Tak mampukah aku keluar dari dunia yang kuciptakan? Mengapa aku
harus menggerakan manusia-manusia dalam
imajiku sendiri? Dan mengapa harus mereka? Mengapa harus mereka hingga aku tak
mampu membedakan mana milikku dan mana jiwa milik mereka? Dan.. mengapa tiap
kali aku lelah dengan semuanya, ketika itu pula aku sendirian..
Karena senyatanya aku sendiri. Aku ramai dalam kepalaku. Aku
bahagia dalam mimpiku. Maka ketika terbangun, aku tetap sendiri. Aku tetap
menangis. Aku tetap sibuk memulihkan luka yang bosan selalu hinggap lagi lagi
pada tubuhku.
Mengapa aku sangat begitu mengenaskan? Lebih mengenaskan dari
bangkai kucing di trotoar jalan. Mengapa aku pandai sekali menyembunyikan
kesedihan? Mengapa banyak yang ingin sepertiku, melihatku bahagia padahal
sejatinya aku tak lebih bahagia dari mereka? Mengapa
aku tak mampu menjawab pertanyaanku sendiri? Mengapa aku diam? Apa aku ini
manusia gila? Demi Tuhan, demi siapapun
dan apapun yang setiap manusia yakini, jika aku gila aku ingin kembali biasa.
Jika dengan dewasa aku hanya bisa meratapi ketidakpastian pada
diriku sendiri maka menjadi anak-anak di pinggir
jalan atau terkurung dalam kamar lebih aku sukai. Jika dengan dewasa aku takut
pada diriku sendiri maka jadi bocah cengeng yang takut pada laba-laba
lebih aku sukai. Tapi, mengapa aku
begini? Mengapa
aku tak mengenali yang mana diriku dan yang mana yang bukan?
Mana ibuku? Apa Ia mengenaliku? Mana ayahku? Apa iya mengenaliku?
Sedang aku tak mampu mengenaliku sendiri. Bagaimana aku mampu mencintai
seseorang dengan nyata jika aku terbiasa mencintai manusia manusiaku sendiri.
Bagaimana aku bisa menerima mereka sedang aku terbiasa merangkai perilaku
demi perilaku
penduduk imaji yang sudah mendarah daging dalam kepala, menyatu dalam memori
yang nyata, bercampur dengan masa lalu maupun masa yang akan datang. Apa aku
ini manusia gila? Demi Tuhan, demi siapapun dan apapun yang setiap manusia
yakini, jika aku gila aku inign kembali biasa.
Hingga pening dan berkeringat dingin, sejak remaja hingga usianya
kini yang menginjak 24 tahun, hanya mengapa dan mengapa yang memenuhi kepala
Suri, wanita berparas cantik serta tinggi semampai, berkarir cemerlang. Namun,
kini harus mendekam di sel mirip hotel prodeo bahkan lebih kejam dari itu,
rumah sakit jiwa.
Dokter mengatakan gangguan kepribadiannya-lah
yang mengakibatkan seluruh pencapaian masa mudanya harus ikut terkurung di
ruang 3x3 meter persegi dengan pintu mirip jeruji besi berwarna putih pucat
hampir karat.
Ketika angan dan cita-cita dikejar berlandaskan dendam dan
kedengkian, tak ada yang mengetahui dengan cara apa dan bagaimana ia akan
hancur.
*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta