“Bisu!
Tuli! Hahahaha,” disertai gelak tawa mereka. Entah berapa kali aku mendengar
umpatan itu. Tak terhitung. Sayatan pada dinding hati terlalu memenuhi ruang
dadaku. Umpatan itu selalu menyambut setiap aku memasuki ruang kelas, dan
menjadi pengantar kepulanganku.
Pada
tingkat pertama aku sekolah, aku masih bisa menahannya. Meskipun sesak yang aku
rasakan seakan memberontak ingin segera diungkapkan. Aku duduk di bangku SMP. Hingga
aku memasuki tahun kedua. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.
Pagi
itu, seperti biasa, ayah mengantar aku ke sekolah. Seperti biasa pula,
teman-teman juga bersiap menyambutku dengan olokan sampah. Tanpa dikomando, setelah
melihatku mereka akan tertawa. Tiba-tiba hatiku memanas. Jeritan dalam hati
yang selama ini aku tahan, akhirnya meluap tak terbendung.
Aku
benar-benar kesetanan. Kuluapkan kemarahanku ke ayah. Mulutku mencaci seakan
tak ada habisnya. Aku membanting setiap apapun yang aku pegang. Berteriak tak
terkendali hingga membuat semua orang yang ada disana terpaku melihatku. Begitu
juga teman-teman yang sedari tadi mengejekku, seakan mulut mereka tercekat tak
satupun dari mereka bersuara lagi.
Ayah
hanya terdiam dan tersenyum. Sekeras apapun aku memarahinya. Sekeras itu pula
ayah berusaha memberikan senyum terbaiknya. Lagipula ayah tak akan bisa
mendengar umpatan-umpatanku. Pun tak akan bisa membalas dengan rayuan-rayuan
seperti umumnya seorang ayah yang ingin menenangkan putrinya ketika merengek.
Ayah tak sama dengan ayah-ayah yang lain.
“Semua
ini karena ayah! Aku menyesal mempunyai ayah sepertimu! Dasar bisu! Tuli!”
kata-kata terakhir yang aku luapkan. Sebelum aku meninggalkan ayah seorang
diri. Ia hanya terdiam menatapku dari luar gerbang sekolah, namun tanpa sedikitpun
meninggalkan senyumnya.
Puas
sekali aku rasakan. Rasa lega setelah meluapkan apa yang selama ini aku pendam.
Tanpa ada sedikitpun penyesalan. Namun hatiku tetap berkecamuk. Aku langsung
menuju ke kelas. Tak kudapati tawa sinis atau umpatan sampah yang aku terima
setiap hari. Malahan, aku melihat dalam mata teman-teman rasa takut terhadapku.
Seakan tak menyangka aku bisa murka seperti itu. Mereka membangunkan singa
tertidur.
Di kelas aku seakan sendirian. Aku dalam
keheningan meskipun di tengah keramaian. Aku kalut. Hatiku ribut. Bel
pergantian jam membuyarkan kesunyianku. Tak berpikir lama aku keluar kelas
membawa ransel. Aku menuju ke kamar mandi sekolah.
Entah
setan apa lagi yang merasukiku. Aku membongkar ransel mencari silet yang selalu
aku bawa untuk meruncingkan pensil. Setelah menemukannya. Sejenak aku menatap
silet tersebut seolah aku membisikinya, “tolong bawa aku keluar dari semua
penderitaan ini."
Darah
segar membasahi pergelangan tanganku. Perlahan tak kurasakan sebelah tanganku
dan menjalar ke anggota tubuh lainnya. Bayang-bayang gelap mulai menyelimutiku.
Semakin redup. Hingga gelap menutup pandanganku. Tiba-tiba terselip sedikit
penyesalan. Aku teringat ayah. Aku teringat senyumnya. Namun aku terlanjur
hilang. Aku melayang. Tak tahu apa yang terjadi setelah itu. Yang aku ingat
hanya jika terakhir aku menyebut “ayah..”
*Penulis
adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Jakarta