Tak banyak
cahaya mengisi ruangan Auditorium Harun Nasution. Hanya delapan bola lampu biru
yang menerangi panggung. Seketika cahaya putih menyoroti ke tengah-tengah
panggung tepat pada para pemain musik perkusi dan piano berada. Mereka pun
memainkan alunan musik beriramakan melayu, mengalihkan perhatian penonton dari
aktivitas mereka sebelumnya. Tak lama alunan musik itu berbaur dengan jaz menandakan
drama musikal dimulai.
Sudah sepuluh
menit irama musik melayu dan jaz mengalun. Tiba-tiba muncul sosok pria
mengenakan teluk belanga, pakaian khas laki-laki melayu lengkap dengan kopiah
hitam. Ia berjalan sembari menyanyikan lagu yang diiringi musik bernadakan Fatwa
Pujangga. Pria itu menyusuri sudut panggung ke kiri dan berputar arah kanan dan
kemudian kembali ke tengah panggung.
Ialah sang Tuan,
Raja yang dirundung duka karena istri merenggang nyawa usai melahirkan si bungsu,
Kemuning. Bersamaan dengan itu, muncul seorang wanita menari dengan gemulai
disoroti cahaya putih membentuk refleksi bayangannya, seakan menggambarkan sang
permaisuri di lain alam.
Dalam sekejap
wanita itu pun menghilang. Setelah itu para inang dan dan tetampan bermunculan
ke panggung. Kedatangan mereka merubah suasana yang awalnya berduka menjadi
ceria. Tetampan yang menjadi rebutan para inang menjadi daya tarik penonton. Pasalnya,
mereka bertingkah kocak dan berceloteh membuat tawa penonton pecah.
Suatu hari, Tuan
hendak pergi ke pelosok negeri untuk melihat kondisi rakyatnya. Di depan
putri-putrinya, Tuan bertanya, “Kalian ingin Ayah belikan apa, putri-putriku?,”
tanyanya kepada Jambon, Jingga, Nila, Hijau, Kelabu, Oranye, Biru, Ungu, dan Merah
Merona. Mereka segera menjawab pertanyaan itu dengan meminta barang yang mahal
dan mewah.
Lain halnya
dengan Kemuning, ia hanya meminta kembalinya sang ayah dengan selamat. “Aku
hanya ingin ayahanda pulang dengan selamat,” ungkap Kemuning kepada Tuan yang
duduk di sampingnya.
Kepergian sang
Tuan, menjadi kisah yang memilukan bagi Kemuning. Ia diperlakukan tak adil oleh
saudara kandungnya. Para inang dan penjaga istana pun menaruh iba atas
kenyataan yang harus dijalani oleh Kemuning. Gadis yang pintar menyulam itu
hanya bisa pasrah dan tak bisa berbuat
banyak.
Cahaya di
panggung pun meredup, diringi oleh para inang yang membawakan tari kontemporer.
Seketika latar panggung berubah menjadi tempat jamuan istana. Instrumentalis
turut memusiki kedatangan raja. Sesaat kemudian, datang tetampan dan berteriak,
“Tuan pulang!” Sembari menyila sang Tuan duduk di singgasana.
Tetampan
menyerahkan oleh-oleh yang diminta semua puteri sang Tuan. Semua hadiah yang
diberikan sesuai dengan permintaan puteri-puterinya terkecuali dengan Kemuning.
Tuan memberinya kalung hijau dengan tempaan yang istimewa. Kemuning pun
menerimanya dengan semringah. “Terima kasih Ayahanda, aku akan menjaganya” ucap
Kemuning bahagia.
Tak lama
setelahnya Tuan pun kembali melakukan perjalanan mengunjungi rakyatnya. Di
tengah kepergian Tuan, para puteri yang lain iri dengan hadiah yang Kemuning
miliki. Kemuning seharusnya memakai kalung berwarna kuning bukan berwarna
hijau. Para puteri pun diminta menyerahkan kalung yang dimilikinya. Namun,
Kemuning enggan memberikan kalung itu karena sudah berjanji dengan Tuan untuk
menjaganya.
Salah satu
saudaranya, Hijau, merasa hanya ia yang berhak memiliki kalung tersebut.
Seketika, ia pun merampas kalung itu dari Kemuning. Sebagai putri bungsu, Jambon
dengan berani memukul kepala hingga menendang Kemuning. Para puteri yang lain
pun pergi meninggalkan Jambon. Mereka takut karena telah melakukan hal yang tidak
baik kepada adik kandung mereka sendiri.
Tuan pun merasa
kehilangan Kemuning, karena tak pernah terlihat lagi di istana. Ia
memerintahkan seluruh tetampan dan penghuni istana mencari Kemuning. Namun
sayang, Kemuning tak kunjung ditemukan.
Tuan pun kembali
bersedih. Tiba-tiba muncul wanita menari dengan gemulai disoroti cahaya putih
membentuk refleksi bayangannya. Kali ini, ada dua wanita, seakan menggambarkan
sang permaisuri dan Kemuning yang sudah berada di alam lain.
Demikianlah
sepenggal cerita dari Pentas Tunggal Pojok Seni Tarbiyah (Postar) 2016 yang
bertajuk Dongeng Tuan, Jumat (4/11). Seni drama karya Ajeng Restiyani ini
diadaptasi dari dongeng asal provinsi Riau “Hikayat Bunga Kemuning”. Ketua Postar, Rizal Hanif Masyhur mengatakan,
pentas seni kali ini sengaja bertemakan dongeng dengan tujuan membumikan lagi
dongeng-dongeng di tengah masyarakat. “Kita ingin dongeng kembali diingat
masyarakat,” ujarnya.
AM