Oleh Diana Astari*
Sesak terasa di dadaku.
Jutaan butiran air, menggumpal di sudut kedua mataku, seakan sesaat lagi akan
tumpah dan membentuk aliran sungai air mata di permukaan pipi.
“Maa jangan
pergi hari ini..... “ gumamku dalam hati tak mampu terucap.
Sepeda motor
telah siap siaga di halaman rumah nenek yang sangat sederhana ini. Semua sanak
saudara berkumpul. Memeluk dan mengucapkan doa. Semua membuat dadaku semakin sesak.
Ingin rasanya aku berteriak dan menjerit untuk mencegah kepergian mereka. Tapi
aku tak bisa. Aku hanya diam di ambang pintu, menatap sepeda motor yang akan
menjauhkan aku dengan mereka.
“Mama pergi yaa.
Kamu jangan nangis.” Mama memeluk dan menciumku. Seketika, tumpahlah genangan
air dimataku memecah keheningan. Hanya sesak dan
tangisan yang kudengar. Ingin rasanya aku mencegah kepergian mama,
atau aku meminta untuk mereka membawaku bersama ketempat perantauannya. Tapi
tidak, sudah satu tahun mereka meninggalkanku bersama nenek.
Karena tidak cukup uang untuk bapak dan mama
menyekolahkanku di kota tempat mereka mengais rezeki, hingga pada akhirnya
memutuskan agar aku sekolah di kampung halaman tinggal bersama nenek,
SDN Cikadongdong 1. Sekolah yang sangat sederhana dan
tentunya dengan biaya yang amat rendah.
Kini
aku duduk di bangku kelas 2 SD. Sudah berulang
kali aku merasakan kebahagiaan yang besar saat mendengar mereka akan pulang,
merasakan kerinduan yang mendalam kala mereka tak kunjung datang menjengukku,
dan merasakan sesak ketika akan tiba waktu kepergian mereka. Tidak ada telpon
untuk sekedar mendengar suara mereka kala rindu itu datang. Hanya bersabar
dengan menyibukkan diri bermain bersama teman.
Setiap langkahnya,
membuat hatiku semakin teriris. Sesaknya semakin membuat aku tak mampu
mengeluarkan sepatah katapun. Mama kini telah duduk di jok sepeda motor yang
sejak tadi aku pandangi. Ia mulai berbunyi. Pengendara mulai memasukan gigi
motor itu, dan berjalan perlahan membawa Mama ku semakin jauh. Begitu pun
dengan Bapak ku. Ku pandangi lajunya, hingga mengecil, dan sampai tak terlihat
lagi.
Sebulan
berlalu...
“Caa.. !” suara
Nenek terdengan memanggil dari dapur.
“Emm.. hoaamzz..
iya Nek?.”
“Bangun.
Bukankah hari ini kamu sekolah?.” Ucap nenek ku dengan suaranya yang lembut dan
agak sedikit bergetar karena faktor usia.
“Emm.. iya Nek.”
Aku berusaha membuka mata yang masih sangat terasa berat. Berdiri dan menuju
dapur. Menghampiri Nenek yang sedang asyik dengan sirihnya. Diam sejenak,
memandangi luapan api di tungku. Pikiranku melayang, memikirkan sesuatu yang
selalu terasa sulit. Sumur yang jaraknya sangat jauh.
“Pasti tidak
ada air. Pagi-pagi begini malas sekali rasanya ke sumur. Yasudah tidak usah
mandi deh.” Gumam ku dalam hati.
“Kenapa ko
bengong begitu?.” Heran nenek ku.
Aku hanya
memandangnya dengan wajah yang sedikit memelas.
“Tidak usah
mandi. Cuci muka saja sana.” Seakan nenek bisa membaca pikiranku.
Aku beranjak
dari kenyamanan dudukku dan menuju gelodog (kamar mandi).
Kendala terbesar
dan tersulit di kampung halaman ku ini adalah air. Sulit sekali mendapatkan air
yang dekat dengan rumah. Jarak letak satu-satunya sumur kami, lumayan cukup
jauh dan kondisi jalan yang menurun. Saat kembali dari sumur, tubuh terasa sangat
lelah akibat menelusuri jalan yang menanjak.
Aku telah
selesai mempersiapkan diri. Kembali ke dapur dan ku dapati dua gorengan bakwan
telah tersaji di atas permukaan piring dengan didampingi sambal saus yang
menggiurkan. Seakan ia memanggil agar segera kulahap. Segera saja aku
duduk dan kunikmati kedua dorengan itu.
Eemm...
“Nek Ica
berangkat, assalamu’alaikum.” Ku cium tangan Nenek yang sangat keriput.
“Walaikumsalam.
Ini uang jajannya.” Nenek menyodorkan selembar uang seharga seribu rupiah.
Dengan semangat
pagi yang masih menyertaiku, aku berjalan penuh gairah menuju sekolah yang
jaraknya tidak jauh dari rumah. Beberapa
menit aku telah sampai dikelas. Bertemu dengan teman-teman, lalu berbunyi suara
bel yang berasal dari besi yang di pukul dengan palu dan mengeluarkan bunyi
yang amat keras.
“TENG TENG TENG
TENG TENG TENG.....” Ibu guru ku
memukulnya berkai-kali. Semua siswa berhamburan memasuki kelasnya
masing-masing. Dan kini aku telah duduk rapih menyiapkan diri untuk mengikuti
pelajaran pertama.
Guruku masuk, dan segera memberikan materi
pelajarannya. Matematika, adalah pelajaran kesukaanku. Aku mulai menulis dan
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru ku. tiba-tiba sesuatu yang selalu
mengganggu perutku muncul kembali. Sakit sekali.
“Aaaww..”
keluhku perlahan. Tapi semakin lama, sakitnya semakit terasa. Aku remas-remas
perutku, dengan harapan akan sedikit berkurang rasa sakitnya. Tapi tidak.
Perutku semakin sakit, seakan ada yang menusuk-nusuk dari dalam. Aku tidak kuat
lagi menahannya. Tangis ku pecah. Teman sebangku ku terus bertanya kenapa. Tapi
aku terus menangis. Dan Guru ku akhirnya menghampiri.
“Ica kamu
kenapa?, hah?. Kenapa menangis?.” Tanya guru ku keheranan.
“Sepertinya
perutnya sakit lagi Bu.” Jawab Sumi teman sebangku ku.
“Ohh. Yasudah.
Ica apa kamu mau pulang?. Tidak apa-apa kamu pulang saja ya. obati perut mu.”
Ucap Bu Guru.
Aku hanya
mengangguk dengan masih menahan rasa sakit di perutku. Sumi membantu ku
membereskan buku dan memasukannya ke dalam ranselku.
“Kamu mau diantar?.”
Tanya Bu Guru lagi.
“Tidak Bu.”
Jawabku.
“Yasudah,
hati-hati ya. Jangan lupa minum obat ya.”
Aku hanya
mengangguk dan meraih tangan Bu Guru lalu dengan perlahan aku berjalan menuju
rumah.
Sesampainya
di rumah, segera aku baringkan tubuhku dan menangis terus menerus. Tidak tahu
obat apa yang harus aku minum untuk meredakan sakitnya. Beruntunglah, Nenek ku
belum berangkat ke ladang. Nenek mulai mengurut-urut perutku. Sedikit demi
sedikit sakitnya reda. Aku mulai merasakan ingin membuang air besar. Tidak ada
Toilet apalagi Kloset. aku biasa buang air besar di belakang rumah di bawah
sebuah pohon yang sangat besar.
“Aduhh..
perutku kenapa selalu sakit kaya gini ya. sebenarnya aku sakit apa?.” keluh
ku saat buang air besar. Bukan kotoran yang aku keluarkan, tapi gumpalan darah.
sudah hampir dua minggu ini, aku selalu merasakan sakit yang luar biasa di
perutku. Tidak bisa menahan saat ingin buang air besar, dan telah beberapa kali
aku mengeluarkan gumpalan darah saat buang air besar. Entah pnyakit apa yang
ada diperutku ini. Disini tidak ada puskesmas apalagi Rumah Sakit. Aku hanya
menunggu keajaiban dari Allah.
“Maa.. Ica
sakit apa yah?..” gumamku dalam kerinduan.
*****
Aku hanyut
mengenang masa lalu. masa kecil yang penuh dengan kerinduan. Masa kecil yang
memaksa ku untuk mandiri. Masa kecil yang mengajarkan ku banyak kesabaran. Penyakit
radang usus itu, membuatku lemah dan takut. Tapi kini, aku berada di sini bersama kedua orang yang dulu selalu aku rindukan. Berjuang memperbaiki derajat
keluarga, menggapai cita dan harapan kedua orang tua. Memperjuangkan hidup agar
lebih bermanfaat untuk orang banyak dan mendapat penilaian yang jauh lebih baik
di mata Allah SWT.
*Mahasiswi Manajemen Pendidikan, FITK, UIN Jakarta