Profesor
Harun Nasution adalah tokoh intelektual muslim dan pembaru Islam di Indonesia. Ia meyakini Islam
adalah agama rasional. Menurutnya, tak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal. Gagasan tentang
ajaran Islam rasional itu ia tuangkan dalam berbagai macam karya tulis. Selain itu,
paham rasional juga ia ajarkan kepada mahasiswanya di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) — sekarang UIN —Jakarta ketika ia pulang ke Indonesia
tahun 1970-an dari McGill University, Montreal, Kanada.
Bagi
pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara ini wahyu dan akal adalah media untuk memperoleh
pengetahuan. Penggunaan akal secara maksimal untuk mengkaji agama dan ilmu
pengetahuan terus ia kembangkan. Metode
ini diyakini mampu membawa kebenaran sejati. Tak jarang ia mengkritik paham
yang hanya berpijak pada wahyu, tanpa mempertimbangkan akal.
Dalam
pandangan pria kelahiran 23 september 1919 ini wacana Islam modern berfungsi
untuk terwujudnya Islam sebagai agama
yang sesuai pada segala ruang dan waktu (al-Islam
Shalihun li kulli zaman wa makan). Guna mewujudkan cita-citanya itu, ia
mencari beasiswa. Lalu, 20 September 1962 ia mendapat beasiswa dari Institut of
Islamic studies untuk belajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada. “Di sana
aku mendapatkan Islam yang luas. Aku tertarik membaca karya orientalis tetapi
aku tidak dipengaruhi oleh mereka,” ucapnya. (Hal.195, buku Pengembang Islam
dan Budaya Masyarakat Moderat).
Selama
di McGill ia mengambil studi konsentrasi kajian tentang modernisme dalam Islam.
Ketertarikan Harun terhadap modernisme dan rasionalisme disebabkan fenomena
keterbelakangan umat Islam. Menurut Harun kemunduran umat Islam disebabkan
paham jumud dan taklid buta yang dianut kaum muslimin di Indonesia.
Untuk
menyebarkan pemikiran modernnya,
sepulang dari universitas McGill ia memilih menjadi dosen teologi dan
filsafat di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tujuan utamanya ialah
memperbaiki mutu pendidikan yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah. “Sejak di
luar negeri saya telah mendengar kondisi IAIN. Pemikiran yang dikembangkan
sangat sempit,” ungkapnya. (Hal. 197. Buku Pengembang Islam dan Masyarakat
Moderat).
Tepat
1973 Harun Nasution diangkat oleh Menteri agama, Mukti Ali sebagai Rektor IAIN.
Selama menjabat, ia bertekad membawa kampus yang berada di pinggir Jakarta ini
untuk mengubah pola pemikiran keagamaan
sivitas akademikanya yang tergolong fatalistik saat itu. Ia mengubah metode
belajar di IAIN dari fiqih oriented menjadi
lebih membuka diri terhadap ilmu filsafat, tasawuf, teologi.
Tak
hanya itu, Selama menjabat rektor, Harun
tergolong sebagai ilmuwan yang produktif menulis karya ilmiah. Setiap
buku yang ia terbitkan selalu berisi tentang filsafat, tasawuf dan
teologi. Kedua bukunya yang
berjudul Islam di Tinjau dari berbagai aspek dan Pembaruan Pemikiran dalam Islam menjadi buku rujukan wajib di seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI). Tak jarang, kedua buku tersebut
mendapatkan kritikan tajam dari tokoh
intelektual Islam lainnya.
Ketika
tak menjabat lagi sebagai rektor, Harun Nasution memiliki gagasan untuk membuka
program pascasarjana di IAIN Jakarta. Keinginan itu muncul karena saat itu PTAI
dipandang sebelah mata dan belum memiliki program pascasarjana. Setelah
berusaha selama satu tahun, akhirnya pada 1982 untuk pertama kali pascasarjana
di IAIN dibuka berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama
RI No. KEP/E/422/81.
Sosok Lain Harun Nasution
Hidupnya jauh dari mewah. Ia hanya memiliki satu mobil dinas yang
reyot. Mobil butut itu menjadi kendaraan Harun Nasution ke mana pun ia pergi,
termasuk ke Istana Negara. Biasanya saat di istana mobil butut itu terpaksa
terparkir menyendiri, terpisah dari mobil mewah para pejabat lain. Dengan
demikian untuk mencapai istana ia terpaksa berjalan kaki lebih jauh.
Tak
hanya itu, beliau juga sosok pendidik dengan integritas tinggi. Harun Nasution
tak pernah telat datang ke kelas. Saban hari pukul 07.15 WIB , mobil dinas
sudah memasuki area kampus. Padahal perkuliahan dimulai pukul 08.00 WIB. Selain
itu, saat menjabat direktur pascasarjana, disela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri secara langsung untuk
membimbing tesis dan disertasi mahasiswanya.
Buku
Pengembang Islam dan Masyarakat Moderat ini mengungkap kiprah sosok Harun
Nasution sebagai intelektual Islam. Buku ini di tulis oleh 19 orang guru
besar yang merupakan murid langsung dari
Prof. Harun Nasution. Namun, dalam buku ini banyak pengulangan pembahasan dari
para penulis. Hal itu membuat buku ini cukup membuat bosan para pembaca.
Zainuddin Lubis