Tiga tahun sudah Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menerapkan remunerasi. Dana jadi
persolan utama.
Baru saja Institut
menginjakkan kaki di lantai tiga Gedung Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk menemui Kepala Biro
Perencanaan dan Keuangan (BPK) Subarja. Sayang, saat dimintai keterangan
terkait remunerasi, bukan menjawab, ia malah bergegas ke luar ruang kerjanya. Subarja menuruni anak
tangga sambil setengah berlari dengan bundel berkas di tangannya. ”Saya sudah
ditunggu rektor, buru-buru,” kataya, Rabu (13/10).
Tak mendapat informasi terkait dana remunerasi, Institut
pun menghubungi Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada sebagai narasumber. Surat
permohonan liputan dan pesan singkat pun dilayangkan kepada Dede. Tapi saat itu
Dede tak berkenan ditemui karena padatnya jadwal.
Tepat dua hari setelah surat liputan di kirimkan, sekitar
pukul 13.00 WIB seorang pria yang tak lain adalah asisten rektor menelepon Institut. Tanpa basa-basi, dari seberang
telepon ia langsung menyuruh Institut datang
ke ruang kerja rektor. Selama proses wawancara berlangsung, rektor mengaku tak
mengetahui jumlah pasti dana remunerasi dan mengalihkan kembali ke Subarja.
Berbekal rekomendasi rektor, Institut pun akhirnya kembali menghubungi Subarja. Namun, ia
berkilah kala itu masih tahap proses pencairan dana remunerasi dosen. Meski
begitu, ia berjanji akan memberikan data dana remunerasi pada Senin (17/10)
pagi.
Pada hari yang dijanjikan, Senin (17/10), ke sekian kalinya
Institut menghubungi Subarja untuk
menanyakan data dana remunerasi dosen, tapi tak juga ada hasil. Melalui WhatsApp, ia menampik saat itu tengah
ada agenda. “Soal remunerasi, coba hubungi Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama
Murodi,” begitu isi teksnya.
Belum mendapat data yang diminta, Institut pun kembali menemui Subarja untuk menagih data dana
remunerasi yang ia janjikan. Ketika ditemui di ruangannya, Selasa (18/10),
Subarja sedang memegang hvs putih bertuliskan grafik dana remunerasi.
Dalam dokumen itu tercatat dana remunerasi pada tahun 2015
sebanyak Rp56 miliar atau 13 persen dari
pagu anggaran UIN Jakarta. Peningkatan dana remunerasi sebesar Rp63
miliar terjadi pada tahun 2016 dan Rp70 miliar disiapkan untuk tahun
berikutnya.
Esok harinya, tanpa dikira, Subarja berubah pikiran. Ia
meminta kembali data yang tempo hari diberikan dan menggantinya dengan data
baru. Menurutnya, perhitungan data sebelumnya keliru. ”Lisan itu kurang tepat,”
demikian ia tulis dalam WhatsApp,
Rabu (19/10).
Mengacu pada data kedua yang diberikan Subarja, pagu
anggaran tahun 2014 UIN Jakarta mengalokasikan dana Rp33.636.824 untuk
remunerasi. Tapi, berdasarkan data keuangan UIN Jakarta, hingga Desember 2014 hanya Rp27.436.669.657 yang digunakan. “Masih
ada sisa dana,” ungkap Subarja, Kamis
(20/10).
Sementara pada 2015, UIN Jakarta menaikkan alokasi dana
untuk remunerasi dari Rp27.436.669.657 menjadi Rp38.531.940 . Kenaikan
dana remunerasi dihitung mencapai Rp5 miliar akibat lonjakan pagu anggaran UIN
Jakarta dari Rp433.747.033 menjadi 532.630.940. Tak jauh beda dengan
sebelumnya, data akhir tahun BPK menunjukkan hanya Rp36.370.271.746 yang
digunakan atau tersisa Rp2.161.668.254 dari dana yang dialokasikan untuk
remunerasi.
Sedangkan pada 2016,
UIN Jakarta memiliki pagu anggaran Rp431.811.829, namun ketika dikonfirmasi jumlah
dana remunerasi 2016, Subarja enggan
berkomentar. “Agar objektif coba temui Satuan Pemeriksa Internal (SPI),”
katanya dalam teks WhatsApp, Jumat
(21/10).
Sesaat setelah mendapat data dana remunerasi terbaru, Institut curiga. Pasalnya selain data
yang hanya memuat anggaran dua tahun terakhir, dokumen itu juga berisi jumlah
dana remunerasi yang tak digunakan mencapai Rp5 miliar.
Akhirnya, Institut meminta
tanggapan dari Sekretaris SPI UIN Jakarta Ady Cahyadi. Menurut Ady, tahun 2014
UIN Jakarta mengalokasikan dana sejumlah Rp33.578.424 untuk remunerasi.
Sesuai catatan SPI, UIN Jakarta hanya mampu menggunakan sebesar
Rp25.251.099.938 atau 72 persen dari alokasi dana remunerasi. Tapi, data
itu berbeda dengan data yang diberikan BPK UIN Jakarta yaitu Rp27.436.669.657
ribu.
Ketidakserasian jumlah anggaran yang digunakan juga terjadi
pada 2015. Berdasarkan hasil penelitian SPI, anggaran yang terpakai tahun 2015
hanya Rp30.588.318.882. Sedangkan BPK UIN Jakarta mencatat sebesar
Rp36.370.271.746.
Menanggapi sisa dana remunerasi, Dede
Rosyada berdalih hal itu disebabkan oleh kinerja pegawai yang belum maksimal.
Buktinya, masih banyak pegawai yang lalai untuk mengisi elektronik Laporan
Kinerja Pegawai (e-LKP).
Tak hanya pegawai,
sambung Dede, dosen pun banyak yang tak mengisi e-LKP. hingga batas akhir
pelaporan e-LKP pada 5 Oktober lalu, dari
800 dosen di UIN Jakarta, hanya 450 dosen yang mengisi. Padahal mengisi
e-LKP menjadi syarat untuk mendapatkan remunerasi. ”Sisa 350 dosen yang tak
mengisi e-LKP takkan saya gaji,“ ujar Dede, Jumat (14/10).
Penerapan
remunerasi dosen baru diberlakukan September 2016. Padahal menurut Kepala Seksi
Remunerasi Kementerian Keuangan Suwignyo, setelah Keputusan Menteri Keuangan turun
remunerasi wajib diberikan. Tak seperti yang terjadi di UIN Jakarta, meski
telah memiliki dana remunerasi sejak 2014, dosen tak mendapat dana remunerasi
kala itu.
Besaran
Dana Remunerasi
Dalam Keputusan
Rektor UIN Jakarta nomor 611 tahun tentang tarif remunerasi bagi dosen
disebutkan, bayaran dosen ditentukan dengan jabatan fungsional yang ia emban.
Remunerasi tertinggi diraih guru besar dengan penghasilan Rp6.520.000. Kemudian disusul oleh lektor kepala Rp5.080 ribu, lektor Rp3.990.000 dan terakhir
asisten ahli Rp 2.920.000. ”Kalau
mereka kerja, setiap tanggal 15 kita bayar,” tutup Dede.
Sementara itu terkait
besaran tarif pendapatan remunerasi tergantung
tingkat jabatan masing-masing pegawai. Terkait dokumen acuan pedoman dan
pemberian remunerasi untuk pegawai tertuang di KMK nomor 379 tahun 2013.
Sayang, menurut Ady tak bisa di akses. Ia beralasan itu bersifat rahasia
dan belum mendapat izin Rektor UIN
Jakarta.
Zainuddin Lubis