Lebih dari satu
dasawarsa terakhir ini, dunia dihadapkan pada sebuah tragedi yang menghantui
keamanan dan pertahanan domestik maupun internasional. Tak terhitung sudah
ratusan nyawa meregang akibat dari tragedi ini. Tak kenal usia, jenis kelamin,
hingga keyakinan yang dianut pun menjadi makanan empuk para oknum yang
mengutamakan kekerasan demi terciptanya perdamaian hakiki menurut versinya
tersendiri. Ya, dunia kerap menyebutnya terorisme.
Puluhan bom bunuh diri,
ratusan butir peluru tajam sudah menembus tubuh manusia yang tak berdosa.
Sayangnya, fakta membuktikan beberapa aktor di balik tragadi keji tersebut
merupakan para penikmat ibadah dalam agamanya. Lebih lagi, imbas dari terorisme
itu, masyarakat dunia selalu saja mengaitkannya dengan Islam.
Mulai dari Peristiwa
Penyerangan World Trade Center (WTC) New York, pada 11 September 2001 silam
yang menewaskan ribuan orang, bom Bali 2002, serangan Boko Haram di Nigeria
memakan 5.000 korban jiwa, hingga pembunuhan masal oleh Taliban di Sekolah
Peshawar Pakistan.
Terjadinya kasus
terorisme itu dibarengi pula dengan munculnya beberapa kelompok Islam radikal yang
katanya ingin menyatukan umat namun
kenyataan justru sebaliknya. Dengan dalih membela agama, atau kepentingan
kelompok tertentu, mereka sering kali mengedepankan kekerasan dalam melancarkan
aksinya. Tengok saja Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Al-Qaeda.
Padahal beberapa kasus
terorisme juga sempat dilakukan oleh orang non muslim, seperti Invasi Amerika
Serikat ke wilayah Iraq pada 2004 dan serangan militer yang dilakukan Israel di
wilyah Palestina sejak 1947 hingga kini.
Perihal terorisme, menurut
Wilkinson dosen Universitas St Andrew Pusat Studi Terorisme dan Kekerasan
Politik mendefinisikan terorisme sebagai aksi teror sistematis yang dilakukan
organisasi tertentu. Hal ini sejalan dengan pandangan Konvensi PBB 1937 yakni
segala bentuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan teror terhadap
orang-orang tertentu atau masyarakat luas.
Bila dilihat dalam
kacamata keagamaan, pada dasarnya semua agama menyerukan umatnya untuk
mencintai persatuan dan perdamaian. Atas dasar itulah, maka perintah dalam
agama menjadi sesuatu yang harus dikerjakan oleh orang-orang beragama. Akan
tetapi, dalam konteks Islam—khususnya terkait pemahaman perintah Tuhan tentang
jihad itu terjadi multi tafsir di kalangan masyarakat.
Atas dasar jihad inilah
para pelaku teror dengan berani melakukan tindakan terorisme. Lebih lagi, jihad
dalam Alquran seringkali disalah artikan dan dijadikan landasan para ekstremis
untuk melegitimasi tindakan terorisme. Padahal, jihad menurut Imam Raghib Al-Ishfahani ialah menggunakan atau mengeluarkan
tenaga, daya, usaha atau kekuatan untuk melawan hawa nafsu dalam rangka
menegakkan agama Allah SWT. Mengacu pada definisi itu, maka makna jihad tidak
selalu dikaitkan dengan kekerasan, tapi perbuatan baik lainnya, seperti
menuntut ilmu dan bekerja keras pun termasuk
jihad.
Menyikapi maraknya
kasus terorisme, maka perlu adanya usaha dari berbagai pihak untuk mengurangi
potensi berkembangnya paham atau gerakan yang mengarah pada aksi terorisme. Dalam
perspektif agama, perlu adanya pemahaman kembali mengenai makna jihad
sebenarnya. Hal demikian dapat pula dimulai dari para tokoh agama yang seyogyanya
selalu memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang jihad tanpa kekerasan.
Sedangkan dalam
urusan hubungan antar negara, dalam
menyelesaikan masalah hendaknya
mengurangi tindakan kekerasan dan lebih mengutamakan pada jalur diplomasi. Pada di bidang sosial perlu ada usaha preventif
dengan cara mengajarkan kembali pemahaman tentang nasionalisme. Tindakan konkretnya
pemerintah bisa dengan memberikan kurikulum khusus kepada para pelajar tentang
pentingnya nasionalisme.
*Mahasiswa Hubungan Internasional, FISIP, UIN Jakarta