Oleh Thohirin*
Masyarakat kita
selalu dihadapkan dengan pilihan sulit dalam setiap momentum elektoral di
negeri ini: pilpres, pilgub, maupun pileg. Bukan, saya tidak sedang membahasa
pilgub DKI yang sedang riuh sedan belakangan ini. Saya tak punya kepentingan
dengan itu, lagipula saya juga bukan warga Jakarta. Namun justru di saat seperti
inilah kadang akal sehat kita kerap kali ‘kedororan’ tanpa sadar, sehingga
melihat semuanya tak jernih.
Situasi itu
berkebalikan dengan jargon berpikir adil (yang kerap mengutip dari Pram) yang
nyatanya sudah seperti manunggal dengan urat nadi kalangan intelektual kita,
tak terkecuali bagi mahasiswa.
Ingatkah
bagaimana isu yang berhembus menjelang pilpres 2014 silam? Perbincangan SARA
yang ditujukan untuk kedua calon presiden kala itu, mungkin sudah melebihi
kadar makan kita dalam sehari atau durasi jam belajar kita sebagai mahasiswa di
dalam dan di luar kelas.
Momentum
elektoral pilgub DKI sedang berada pada tensi tinggi. Sebagai pengguna aktif
media sosial, keadaan belakangan ini tak jauh beda dengan dua tahun lalu saat
pilpres 2014. Melihat kasta DKI, kondisi yang terjadi barangkali tak aneh.
Level DKI mungkin hanya berada satu tingkat di bawah momentum pilpres.
Wajar saja,
momentum ini bukan hanya menarik warga Jakarta, bahkan mungkin menjadi magnet
bagi seluruh masyarakat di seluruh Indonesia. Kadarnya mungkin telah
mengalihkan perhatian kita pada sidang Sisca di isu kopi Mirna yang sama
menyebalkannya itu.
Namun, itulah
masyarakat kita. Gumunan. Ikut-ikutan. Mudah terbawa isu. Perbedaan politik itu
sudah menjadi kepastian. Namun, membawa perbincangan SARA dalam politik, tentu
di luar hal lumrah, meski nyatanya itu kerap dianggap wajar.
Berapa jam kah
kita berselancar di internet atau media sosial dalam sehari? Sepanjang itu
pulalah kita dicekoki tanpa sadar oleh berbagai kabar politik yang kita lihat,
baca, dan dengar. Sialnya, tak banyak masyarakat kita yang dapat memfilter
deras arus informasi itu. Menimbangnya dengan bijak. Walhasil, itulah yang kita
yakini dan juga perbincangkan dengan teman, sanak saudara, maupun keluarga di
dunia nyata.
Kementerian
Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada 2014 mencatat Indonesia berada
di posisi delapan sebagai pengguna internet terbanyak di dunia dengan angka 82
juta pengguna. Pada 2015, We Are Social,
sebuah lembaga agensi marketing sosial, angka itu naik menjadi 88,1 juta. Dari
jumlah itu, Jawa menempat posisi terbanyak sebagai pengguna internet terbanyak
di Indonesia dengan angka 52 juta. Disusul Sumatera (18,6 juta), Sulawesi (7,3
juta), Papua, Nusa Tenggara, dan Maluku (5,9 juta), dan Kalimantan (4,2 juta).
Dari total angka
itu, sebanyak 79 juta di antaranya adalah pengguna aktif media sosial. Dan
Indonesia berada di posisi empat sebagai pengguna media sosial Facebook terbanyak di dunia dengan angka
65 juta pengguna aktif. Posisi itu berada di bawah USA, Brazil, dan India.
Itu baru
internet dan media sosial. Belum lagi, dengan sebagian mayarakat yang belum
lepas dari televisi atau radio. Persoalannya, sebagian besar televisi swasta
kita hari ini adalah televisi jakartasentris. Saya pernah mendengar keluhan
salah seorang pemateri dalam sebuah diskusi. Betapa tidak pentingnya informasi
yang disajikan televisi swasta kita terhadap masyarakat di luar Jakarta. Dengan
tensi politik Jakarta yang tengah memanas belakangan, sudah barang tentu
perhatian masyarakat kita hari ini sedang terambil alih.
Kembali ke
bahasan awal. Sialnya, kondisi gumunan itu tak hanya menimpa terhadap isu
politik, bahkan terhadap semua isu yang menjadi tren di internet dan lini media
sosial. Ingat bagaimana perhatian kita teralih di berita bom Sarinah? Kabar
kematian Suyono, warga Yogyakarta tertuduh teroris oleh militer dan diamini
media kita? Atau isu-isu terorisme lain yang termonopoli oleh instansi militer
kita.
Berita-berita
yang bahkan kita tak tahu validasinya itu, kita percayai dan kemudian kita
sebarkan begitu saja hingga membentuk opini publik.
Soal terorisme,
imaji kita pun dibentuk dengan orang-orang bercelana cingkrang, berjanggut,
atau berjidat hitam. Setiap bertemu dengan orang-orang seperti itu di jalan
atau bahkan mereka adalah keluarga dekat kita sendiri, kita walhasil mengambil
jarak, mewaspadai, lebih-lebih membentuk sekat dengan mereka. Kita bahkan tak
berpikir lebih jauh. Seolah-olah media atau semua informasi yang kita peroleh
di internet dan media sosial sama kastanya dengan kitab suci.
Betapa
sesungguhnya imaji-imaji perspektif kita telah dibentuk dengan simbol-simbol:
politik, agama, maupun sosial. Bahkan kita hanya bisa menertawai orang-orang
dengan berbeda pandangan dan keyakinan yang berbeda dengan kita. Mengambil
jarak, kemudian memusuhinya.
Yang paling
sederhana, di dunia akademis atau di luar, sebagian masyarakat kita juga masih
teraimaji, bahwa laki-laki bertato, bercelana sobek, atau berambut gondrong
adalah kelompok manusia dengan status sosial yang rendah. Bahkan mungkin, tak
selayaknya berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang beradab.
Mereka membentuk
standar-standar berdasarkan ukuran yang mereka buat sendiri. Seolah-olah mereka
yang mayoritas sudah pasti kebenarannya. Dan mereka yang minoritas sudah pasti
salah. Dan berhak untuk ditindas. Simbol memang melenakkan. Melupakan. Namun
juga menghancurkan.
“Ojo Gumunan,
Ojo Getunan, Ojo Kagetan, Ojo Aleman (Jangan mudah terheran-heran, jangan
mudah menyesal, jangan mudah terkejut, jangan mudah manja),” begitu pesan
Kanjeng Sunan Kalijaga.