Semangat
perjuangan nelayan melawan reklamasi tak pernah surut. Sayangnya perjuangan
yang dilakukan oleh nelayan tak kunjung berbuah manis.
Di atas
perahu Pinisi Hati Buana Setia yang berada di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jokowi
berikrar dalam pidato kemenangannya sebagai presiden
pada Juli 2014. Di hadapan awak media, Jokowi mengajak rakyat Indonesia untuk
tetap bersatu dan berjanji lebih memerhatikan laut Indonesia.
Sayangnya,
janji yang terucapkan bertolak belakang dengan kenyataan saat ini. Pemerintah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta kembali menggadangkan
rencana reklamasi meski tahu bahwa hal
tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi nelayan. Selain itu, limbah dari
reklamasi telah mencemari dan merusak biota laut seperti ikan, sehingga
pendapatan nelayan menurun.
Salah satu
nelayan yang merasakan dampak buruk reklamasi adalah Ilyas, 40 tahun sudah ia
menetap dan menjadi nelayan di Muara Angke. Jika sebelum terlaksananya reklamasi,
lelaki berusia 60 ini dapat menangkap 20 kilogram ikan dalam semalam, namun
setelah reklamasi mereka hanya menbawa hasil tangkapan kurang dari satu
kilogram.
Sama
halnya Ilyas, Saepudin juga merasakan dampak negatif dari reklamasi meskipun ia
bukan seorang nelayan. Selain menjadi pengolah ikan asin, sekarang ia juga sesekali turun ke jalanan
menjadi seorang aktivis. Ia tak mau
berhenti begitu saja membiarkan hak-haknya terampas. Menurutnya, pasrah serta
membiarkan pemerintah tetap menjalankan reklamasi bukanlah sebuah pilihan.
Bersama dengan nelayan lainnya, laki-laki berusia 35 tahun ini kerap kali
melakukan aksi melawan reklamasi.
Tak
hanya para nelayan saja, tokoh masyarakat pun turun ke jalan dengan tuntutan agar reklamasi dibatalkan.
Selain itu beberapa ibu rumah tangga turut menyuarakan tuntutan pembatalan
reklamasi. Alasannya sederhana saja, mereka tak ingin anak-anak mereka bernasib
sama seperti mereka, menjadi nelayan tanpa pendidikan. ”Kami nelayan pak, tidak
ingin anak-anak bodoh seperti kami Pak!” tutur salah satu ibu rumah tangga yang
ikut melakukan aksi penolakan reklamasi.
Aksi yang
dilakukan guna membatalkan reklamasi
tak berjalan dengan mulus. Banyak strategi yang dilakukan untuk meneruskan reklamasi. Pemerintah juga
memberikan sejumlah uang kepada masyarakat agar mau menyetujui reklamasi.
Beberapa warga diajak berunding namun ternyata rundingan hanyalah kedok belaka, warga dikumpulkan untuk melakukan aksi
mendukung proyek reklamasi. Para
nelayan juga membawa kasus reklamasi
tersebut sampai ke meja hijau untuk medapatkan keadilan dengan mempertimbangkan
kembali tuntutan nelayan.
Puncaknya,
seluruh nelayan di Muara Angke turun ke pulau G tempat reklamasi dijalankan guna melakukan
penyegelan. Puluhan perahu nelayan menepi di pesisir pantai buatan dan
bergemalah lagu Indonesia Raya. Banyak strategi yang dilakukan pemerintah untuk
tetap menjalankan reklamasi, namun semua usaha tersebut tidak langsung
mematahkan semangat warga untuk terus menolak reklamasi. Sayangnya proyek ini
tetap dijalankan dan tak hanya
sepantaran pulau Jawa dan Bali saja tapi juga Mamuju,
Manado, Lombok, dan Teluk Makassar.
Film yang
dirilis pada 27 April 2016 merupakan film dokumenter berdurasi 59 menit dua
detik ini diproduksi oleh Wacthdoc dan disustradarai oleh Randi Hernando. Film
ini juga pernah diputar di luar Indonesia seperti Melbourne, Inggris dan
terakhir di Belanda. Rayuan Pulau Palsu menggambarkan pergejolakan reklamasi
yang menimbulkan banyak dampak buruk bagi nelayan.
Baca: Rayuan Pulau Palsu, Perjuangan Menolak Reklamasi
Film Rayuan Pulau Palsu juga salah satu bentuk sentilan pada Jokowi yang pernah berjanji untuk memberikan perhatian lebih terhadap laut Indonesia. Kenyataannya kebijakan reklamasi tetap diberlakukan dan memberikan dampak buruk tidak hanya pada nelayan tapi juga lautan. Dalam film ini juga menampilkan cuplikan Sanusi DPRD DKI Mohamad Sanusi dan bos Agung Podomoro Land sebagai tersangka dugaan suap peraturan reklamasi.
Simak review-nya di sini:
Film Rayuan Pulau Palsu juga salah satu bentuk sentilan pada Jokowi yang pernah berjanji untuk memberikan perhatian lebih terhadap laut Indonesia. Kenyataannya kebijakan reklamasi tetap diberlakukan dan memberikan dampak buruk tidak hanya pada nelayan tapi juga lautan. Dalam film ini juga menampilkan cuplikan Sanusi DPRD DKI Mohamad Sanusi dan bos Agung Podomoro Land sebagai tersangka dugaan suap peraturan reklamasi.
Simak review-nya di sini:
Aisyah Nursyamsi