Oleh Dewi Sholeha Maisaroh*
Nani Agustin, gadis kecil berusia 9 tahun yang
setiap hari harus mengamen di daerah Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, disebabkan ketidakmampuan ibunya dalam menghidupi dirinya.
Setelah ditelisik ternyata ia adalah korban perceraian orangtuanya. Ayahnya
tak memberi nafkah sedangkan ibunya bukan dari wanita karir yang mapan. Oleh
karenanya, ibu dari Nani memaksanya untuk mengamen demi memenuhi
kebutuhan keluarga.
Hal ini juga mengingatkan kembali terhadap kisah
Angeline, seorang anak kecil yang harus meninggal dunia di tangan ibu tirinya.
Ia juga korban perceraian dari kedua orangtuanya, dikarenakan himpitan ekonomi,
sang ibu kandung harus memberikan hak asuh kepada ibu tirinya. Siksaan demi
siksaan diberikan oleh Ibu Tiri Angeline, sehingga ia tertekan dan akhirnya harus
meninggal dunia dengan keadaan yang mengenaskan.
Itulah beberapa kasus dampak perceraian
yang kini kian marak bahkan menjadi tren di Indonesia. Anak-anak adalah korban utama dari sebuah perceraian.
Berpisahnya ibu dan ayah akibat perceraian akan mengganggu pola asuh anak-anak.
Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung
mencatat, sepanjang Januari hingga September 2016, kasus perceraian di
Indonesia mencapai 46.920 kasus. Itu baru kasus perceraian yang tercatat di
pengadilan agama, boleh jadi di lapangan jumlah kasus perceraian bisa lebih
tinggi. Tentu saja, fenomena tren perceraian ini sangat memprihatinkan.
Ada beragam faktor yang melatarbelakangi kasus
perceraian. Penyebab utama perceraian didominasi oleh faktor tak bisa akur
mencapai 22.590 kasus atau 48,1%. Angka perceraian akibat ditinggalkan pasangan mencapai
10.412 kasus atau 22,2%. Kondisi ekonomi keluarga yang buruk juga menyumbang 15% bagi kasus perceraian pada tahun ini, yakni 7.204 kasus.
Sedangkan, perceraian akibat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) mencapai 2.240
kasus atau 4,8%.
Data dari Badilag tersebut mengatakan bahwa faktor
ketidakharmonisan dan ditinggalkan pasangan mencapai angka tertinggi. Sedangkan
faktor ekonomi pun tak kalah sensitif. Tidak menutup kemungkinan faktor ekonomi
yang buruklah pemicu konflik ketidakharmonisan
dan membuat pasangan ditinggalkan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
juga mencatat kasus terkait anak korban perceraian menduduki peringkat kedua
dari total pengaduan kasus-kasus perlindungan anak yang masuk ke komisi
tersebut. KPAI bahkan menyebut anak-anak korban perceraian rawan mengalami lima
bentuk kekerasan, yakni perebutan hak asuh, pelanggaran akses bertemu orangtua,
penelantaran hak diberi nafkah, anak hilang, serta menjadi korban penculikan
keluarga.
Ahli sosiologi mengatakan, meningkatnya angka perceraian dapat menurunkan
kualitas anak Indonesia. Sebab, generasi muda yang semestinya dapat tumbuh
maksimal, berpotensi menjadi generasi yang tidak sehat secara psikologis
ataupun fisik. Keadaan psikologi anak akan sangat
terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat
terpukul, kehilangan harapan, dan cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa
yang terjadi pada keluarganya.
Sejatinya keluarga adalah penyangga utama kekuatan
sebuah bangsa. Bila setiap tahun jumlah keluarga yang bercerai terus melonjak,
tiang-tiang penopang kekuatan bangsa ini pun bisa semakin terkikis. Betapa
tidak, kian maraknya kasus perceraian dapat membuat kualitas kehidupan anak
bangsa kian buruk.
Dalam hal ini pemerintah dan kementerian serta lembaga yang terkait, harus
segera bergerak untuk mencari solusi agar kasus perceraian ini tak terus
melonjak setiap tahunnya. Sosialisasi pra menikah pun
sangat dianjurkan agar tidak terjadi perselisihan yang mengakibatkan perceraian
setelah kedua pasangan menikah.
Selain itu,
pemerintah harus memberikan sosialisasi terhadap orang yang sudah bercerai. Orangtua
yang sudah bercerai harus memberikan pengertian secara perlahan tentang
perceraian mereka. Orangtuanya
harus menjelaskan bahwa mereka tidak dapat lagi tinggal bersama namun tetap
menyayangi sang anak. Sehingga, anak tidak merasa bersalah dengan perpisahan
orangtuanya.
Lingkungan hidup pun memengaruhi perkembangan anak. Maka dari
itu, bagi orangtua yang sudah bercerai tetaplah saling memerhatikan dan
mengarahkan anaknya pada lingkungan yang baik. Selain itu, selalu libatkan anak saat mengambil
keputusan, termasuk saat orangtua hendak menikah lagi dengan orang lain.
Mendengarkan pendapat sang anak dan diskusikanlah sehingga anak tetap merasa
dianggap ada.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab, FITK, UIN Jakarta