Oleh Andikey Kristianto*
Setiap
perguruan tinggi umumnya memiliki Organissi/ Lembaga Kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau
Dewan Mahasiswa (DEMA), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) atau Senat Mahasiswa
(SEMA), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
yang berada di bawah naungan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan (untuk HMJ).
Organisasi
tersebut didirikan untuk mewadahi aspirasi, minat, bakat, dan hobi bagi
mahasiswanya. Lembaga Kemahasiswaan seperti DEMA atau SEMA merupakan lembaga
yang mengorganisir kebutuhan dan kegiatan mahasiswa secara umum. Sedangkan UKM lebih fokus pada bidang keterampilan khusus
yang diikhtiarkan untuk menambah kapasitas diri dan keterampilan hidup anggota yang
menunjang dirinya paska merampungkan studi S-1.
Seiring
perjalanannya, setiap Lembaga Kemahasiswaan berusaha melakukan kaderisasi dan
reorganisasi minimal setahun sekali. Namun, persoalan klasik seringkali
menghantui Lembaga Kemahasiswaan, antara lain kepemimpinan yang tidak muncul/tidak
membumi dari Pimpinan Lembaga, sehingga pengurus maupun anggotanya menjadi
kurang percaya diri, bahkan cenderung mengabaikan fungsi pimpinan, dana kegiatan
yang kurang memadai, kaderisasi macet, kepengurusan yang kurang maksimal, konflik
kepentingan antar pengurus yang mungkin dipicu masalah pribadi, konstalasi politik kampus dan sebagainya.
Bila
dipahami seksama, Lembaga Kemahasiswaan memiliki manfaat yang luar biasa. Hal
tersebut biasanya baru dapat dirasakan manakala kita sudah menjadi sarjana atau
berstatus mahasiswa non aktif. Bila kita jujur, maka kita akan mengakui efek
positif sebagai anggota atau pengurus Lembaga Kemahasiswaan di Kampus.
Sejak
dilahirkan, manusia sudah diperkenalkan dengan organisasi, bahkan sampai
seseorang meninggal dunia dan dimakamkan, organisasi masih berperan atas diri
seseorang. Sehingga dapat dikatakan, bahwa manusia sulit untuk –dan sepertinya
tidak mungkin- hidup sendiri tanpa keterlibatan orang lain dan tanpa adanya
peranan organisasi.
Mengapa
Berorganisasi? Pertanyaan ini, sepertinya lebih tepat jika diajukan kepada Kita
yang pernah atau masih menjadi anggota sebuah organisasi formal tertentu.
Karena Kita lebih mengerti dan memahami alasan yang mendasari Kita masuk
menjadi anggota sebuah organisasi (baik dengan alasan yang positif maupun
negatif), dan apapun alasan Kita, pastilah dilandasi oleh suatu kepentingan
atau kebutuhan tertentu yang menyangkut/berpengaruh terhadap diri Kita sendiri.
Sejahat
atau semulia apapun tujuan seseorang menjadi anggota sebuah organisasi tertentu,
kita tidak akan panjang lebar membahas mengapa seseorang memiliki tujuan jahat
atau mulia dalam berorganisasi. Akan tetapi kita akan membahas bagaimana kita
membangun sebuah organisasi yang ideal.
Apakah
sebuah organisasi itu ideal atau tidak, ukurannya sangat relatif, biasanya
tergantung pada sesuai atau tidaknya realitas di lapangan atas pelaksanaan
kegiatan dan pengejawantahan visi-misi serta tujuan utama organisasi tersebut
didirikan. Mungkin saja organisasi yang ideal bagi seseorang adalah organisasi
yang memiliki sistem kerja dan koordinasi yang baik antar pengurus dan
anggotanya dalam mewujudkan tujuan organisasi, memiliki struktur dan tim kerja
yang jelas, kuat dan solid.
Ditambah,
Kreatif dan sukses ketika mengadakan dan melaksanakan suatu program kegiatan
organisasi, diisi oleh para anggota maupun pengurus yang baik budi pekertinya,
yang loyal-bertanggung jawab serta memiliki komitmen kerja yang kuat terhadap
organisasi, dan senantiasa beritikad untuk terus mengembangkan serta memajukan organisasinya,
dan adanya sistem pengawasan dan pertahanan organisasi yang menutup kemungkinan
masuknya inflitrasi (penyusupan) maupun spionase (tindakan memata-matai) dari
pihak (di dalam dan luar organisasi) yang memiliki kepentingan yang dapat
merugikan organisasi tersebut.
Setiap
orang memiliki pandangan maupun kesan terhadap suatu organisasi tertentu, sehingga
hal tersebut dapat memengaruhi dirinya untuk menentukan organisasi apa yang
akan ia masuki atau ia geluti.
Zaman
Berkembang Pembaharuan Teknologi Semakin Cepat. Kesadaran mengembangkan diri
sebagai pegiat Lembaga Kemahasiswaan perlu
diimbangi dengan wawasan, pengetahuan, dan keterampilan yang up to date.
Bila kita ingin transformasi nilai-nilai dan berbagi pengalaman organisasi
tercurahkan secara komunikatif, maka kita harus membuka serta mengembangkan
saluran informasi teknologi yang ada. Hal dimaksud dapat melalui website maupun
blog yang tersedia gratisan.
Lembaga
Kemahasiswaan yang notabene digawangi dan dikembangkan oleh mahasiswa harus
menjadi pusat transformasi sosial yang efektif. Karena bila kita kembali
mengurai fungsi sosial sebagai mahasiswa, maka tugas sebagai agent of change
adalah status utama yang ditanamkan saat kita menjalani Orientasi Mahasiswa
Baru -dan sejenisnya.
Bedanya
mahasiswa yang aktif di Lembaga Kemahasiswaan dan yang hanya kuliah belaka
adalah hubungan jangka panjangnya. Hampir setiap Lembaga
Kemahasiswaan (khususnya UKM) di manapun memiliki status keanggotaan seumur
hidup, sehingga meski sudah tua dan bertahun-tahun meninggalkan kampus, dirinya
punya keluarga di UKM. Hubungan abadi biasa terjadi di UKM.
Mungkin,
hal penting yang harus dikembangkan oleh pegiat Lembaga Kemahasiswaan di mana pun
berada adalah membangun kultur pembelajaran yang lebih aktif serta interaktif
dengan dukungan pola komunikasi yang pro aktif dari seluruh
pengurus-anggotanya.
Sebagai
contekan, setiap kali saya terlibat obrolan panjang tentang kondisi Lembaga
Kemahasiswaan di kampus saya, ujung-ujungnya masalah KOMUNIKASI yang jadi problem mendasar atas mandegnya
aktivitas kelembagaan.
Keadaaan yang mandeg karena
hambatan komunikasi menjadi pemicu macetnya kreatifitas dan antusiasme
anggota/pengurus Lembaga, hal ini patut diwaspadai oleh Pimpinan Lembaga juga
senioren-senioren yang memang masih turun ke lapangan.
Agar
dapat bergerak keluar, maka Lembaga Kemahasiswaan harus selesai dulu menangani
problem internalnya. Jika tidak, alamat semakin terpuruklah organisasi tercinta
kita.
Umur
Organisasi Kemahasiswaan yang ada mungkin berbeda-beda, boleh jadi para
pendirinya pun sudah jauh berada nun jauh dimana. Tinggal kita yang sekarang
menjadi pengurus dan anggota aktif harus terus menghidupi nyala api aktifitas Lembaga
Kemahasiswaan. Beberapa yang harus diperhatikan para Pegiat Lembaga
Kemahasiswaan, di antaranyameninjau
kembali visi-misi organisasi sehingga setiap anggota khususnya dan
civitas akademika lainnya dapat memahami dan benar-benar mendapatkan kejelasan
tentang gambaran besar alasan mendasar berdirinya organisasi. Minimal setiap
anggota paham kenapa dan bagaimana mereka seharusnya sebagai anggota organisasi.
Meninjau kembali Pedoman Organisasi: Visi,
Misi, Sistem Rekrutmen Anggota, Sistem Keanggotaan, Sistem Kepengurusan,
Kekuasaan Tertinggi organisasi, Hak dan Kewajiban Anggota, Hak dan Kewajiban
Pengurus, Sistem Pengelolaan Keuangan organisasi, Pelanggaran dan sanksinya,
dan Sebagainya. Hal tersebut tadi jadi media utama dan rujukan awal bilamana organisasi
mendapatkan kendala kelembagaan, selebihnya bila belum ada maka konsensus
menjadi cara lain mengatasi problem.
Meninjau ulang atau membuat ketetapan-ketetapan
organisasi
yang mencakup: detil proses rekrutmen anggota, kode etik anggota, ikrar
pelantikan buat anggota baru/ pengurus, Dewan Kehormatan (Pengawas) Organisasi,
sistem administrasi kesekretariatan, sistem laporan keuangan-kegiatan organisasi,
dan sebagainya.
Membuat database anggota dari angkatan
pertama hingga terkini, dan meng-update infonya setiap saat. Kalau perlu
setiap anggota punya nomor anggota yang harus dihapal oleh masing-masing
anggota.
Masih
banyak hal yang lainnya, dan menurut penulis, hal-hal yang tercantum tersebut
di atas mungkin bagian yang paling butuh perhatian. Mungkin saja tidak semua organisasi
membutuhkan peninjuan ulang. Semuanya kembali kepada realitas sesungguhnya pada
diri organisasi yang saat ini kita hidupi dan kita kembangkan.
*Tim Pembina
Lembaga Kemahasiswaan UIN Jakarta