Oleh Haris Prabowo*
Diskursus
politik Ibu Kota akhir-akhir ini cukup menarik, khususnya menjelang pemilihan gubernur (Pilgub) 2017 DKI Jakarta
mendatang. Pasalnya memang terjadi beberapa gerakan aktor-aktor politik yang
cukup membuat peta Pilgub DKI Jakarta berubah secara signifikan. Mulai dari
Ahok yang akhirnya ‘melacur’ kepada partai politik dengan menggandeng Djarot
kembali, Sandiaga yang akhirnya menggandeng mantan menteri pendidikan dan kebudayaan,
hingga yang paling cukup mengejutkan publik adalah muncul wajah baru dengan
wajah lama dibelakangnya, Agus Yudhoyono dan Sylviana Murni.
Baca : Gengsi Elit Politik Bayangi PIlgub DKI
Baca : Gengsi Elit Politik Bayangi PIlgub DKI
Ditambah lagi,
beberapa portal berita menaikkan isu bahwa ketiga pasangan tersebut adalah
representasi dari tiga aktor lama kelas kakap, Mega, Prabowo, dan SBY. Mereka
ibarat ‘turun gunung’ dalam Pilgub DKI Jakarta mendatang. Mereka mengerti bahwa
Jakarta adalah pasar potensial untuk menaikkan namanya sendiri, hingga nama partai
pengusung.
Penulis tidak
akan membahas Ahok-Djarot maupun Sandiaga-Anies, tetapi Agus Harimurti
Yudhoyono terlihat patut diperbincangkan, bahkan diwaspadai. Ia adalah anak
dari mantan Presiden Republik Indonesia ke-6. Selain itu, ia dengan berani meninggalkan
karier militernya, dengan pangkat mayor, untuk terjun ke kotornya arus
perpolitikan Indonesia.
Agus adalah
orang yang unik dan patut untuk diteladani. Menurut berbagai sumber ia termasuk
kutu buku, yang pastinya bermacam literatur merupakan kudapannya. Baginya,
membaca bukanlah sebuah hobi, namun sebuah keharusan bagi seorang prajurit. Ia
sadar betul dengan membaca seorang prajurit dapat membuka wawasannya dan
mengetahui segala hal.
Hal tersebut
bukanlah sebuah citra belaka. Itu bisa dibuktikan dengan tiga gelar master yang
ia raih selama menempuh pendidikan. Ia juga pernah mengunggah foto di media
sosialnya dengan tumpukan buku dan mengaku telah membaca lebih dari 100 buku
selama setahun. Menurutnya, itu bukan hal yang biasa bagi seseorang yang bergelut
di bidang militer. Bahkan ia pernah mengutip kalimat dari Leon Trotsky, seorang
politisi Uni Soviet dan pemikir Komunis, saat mengunggah fotonya.
Dirinya yang
hadir dari kalangan TNI, jika dibandingkan dengan calon lainnya dari ranah
sipil, seperti oase di Gurun Sahara. Karena jika kita melihat ke belakang,
hubungan antara militer dengan dunia perbukuan di Indonesia tak pernah berjalan
harmonis. Terdapat semacam alergi bagi aparat militer jika berdekatan dengan
dunia literatur. Mulai dari penggusuran perpustakaan jalanan oleh Kodam
Siliwangi di Bandung, pembubaran paksa kegiatan-kegiatan bedah buku oleh
aparat, hingga yang terakhir pembubaran perpustakaan jalanan di Universitas
Muhammadyah Yogyakarta (UMY) beberapa waktu lalu menjadi ciri anti-intelektualisme.
Penggusuran dan
pembubaran akan kegiatan literasi yang terjadi begitu saja membuktikan
Pemerintah setempat gagal hadir dalam melindungi konstituennya. Walaupun belum
pernah terjadi kasus serupa di wilayah DKI Jakarta, penulis kira Agus bisa menjadi
garda terdepan dalam melindungi kebebasan mencari ilmu bagi masyakaratnya. Tentu
sosok seperti Agus bisa menjadi pencerah bagi berbagai kegiatan literasi di DKI
Jakarta untuk ke depannya. Memiliki wawasan luas dan berintelektual seharusnya
menjadi nilai lebih. Paling tidak, ia memiliki otak yang bernas, daripada
calon-calon yang lain.
Namun,
sepertinya kita juga harus berantisipasi jika segala sesuatu tidak sesuai
dengan kemauan. Penulis berharap jika Agus, sebagai individu yang gemar
membaca, tidak lupa juga membaca sejarah. Dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa, Fernando Baez menjelaskan
bahwa dalam sejarahnya sering terjadi pemberangusan atau pemusnahan buku-buku
secara lini masa. Praktik tersebut, yang biasa disebut bibliosida, lazimnya
dilakukan oleh penguasa. Ini merupakan sebuah cara homogenisasi masyarakat,
membuat seluruh masyarakat menjadi seragam sesuai dengan kemauan penguasa.
Bibliosida juga merupakan kegiatan anti-intelektualisme.
Tetapi, apakah
dengan kegiatan anti-intelektualisme itu berarti sang penguasa adalah seorang
kurang terdidik? Justru sebaliknya. Rene Descartes pernah meminta agar
pembacanya membakar buku-buku lawas, filsuf David Hume juga meminta agar buku
metafisika dibumihanguskan, belum lagi Adolf Hilter yang membakar seluruh
buku-buku Yahudi dan komunisme. Jika dilihat dari nama-nama tersebut mereka
adalah para cendikiawan, orang pintar, berwawasan luas, dan juga
berintelektual.
Maka bisa
dikatakan bahwa para pelaku bibliosida dimasa lalu sebenarnya merupakan
penikmat buku itu sendiri. Mereka paham betul bagaimana kekuatan buku. Mereka
mengerti apa yang akan terjadi dimasyarakat jika mereka hidup dengan buku.
Namun orang-orang pintar ini hanya ingin ilmu-ilmu tertentu yang menjadi bahan
rujukan pada masanya, karena itu bibliosida terjadi. Kegiatan
anti-intelektualisme berakar sejak zaman dahulu.
Jadi, bisa kita
membayangkan dua kemungkinan yang akan terjadi jika Agus berhasil menjadi orang
nomor satu di DKI Jakarta. Ia suka membaca buku, ia tahu kekuatan buku, ia tahu
apa yang harus ia lakukan untuk membentuk masyarakat sesuai dengan
keinginannya. Ditambah lagi ia adalah seorang lulusan militer. Hal seperti ini
yang sepertinya patut diwaspadai. Kita sebagai masyarakat harus bisa
berantisipasi bahwa dengan terpilihnya Agus, kegiatan anti-intelektualisme
seperti di Bandung dan Yogyakarta tidak akan terulang di Ibu Kota.
*Redaktur Pelaksana LPM Aspirasi UPN Veteran
Jakarta