Ruangan
itu terlihat gelap, hanya lampu semu kuning yang menerangi sebagian
pernak-pernik di panggung. Tiba-tiba muncul sosok pria dengan blangkon di
kepala serta pakaian khas Jawa yang dipakainya. Pria tersebut melenggak-lenggokkan
tubuhnya sembari melantunkan lagu Stasiun Balapan dan membuat seisi ruangan bergemuruh
dengan tepuk tangan penonton.
“Alkisah,
ada tiga orang saudara yang berbeda watak, ambisius, pintar, dan selalu ingin
menang, tiba-tiba bersatu untuk membantu orang tua mereka yang sedang sakit.” Pria
yang menjadi dalang itu mulai membaca alur cerita. Sambil membaca narasi drama,
sang dalang menggoyangkan pinggulnya ketika berjalan bolak-balik di atas
panggung.
Usai
membacakan narasi, lampu seketika mati dan dalang pun menghilang dalam
kegelapan. Saat lampu mulai menyala, penonton dikagetkan dengan tepukan hadroh
yang dibawakan oleh sekelompok orang dengan pakaian serba putih.
Ketika
suara hadroh berhenti, terlihat orang tua berbaring dengan ditemani sang istri
yang terisak menangisinya. “Bapak, cepat sembuh Pak, kita sudah kehabisan
makanan, siapa lagi yang mencarikan nafkah buat keluarga ini?” ucapnya.
Tak
sengaja percakapan tersebut terdengar oleh ketiga anaknya yang kebetulan ada di
luar. Akhirnya, ketika anak tersebut berunding untuk menghilangkan kesedihan
ibu mereka karena ayah sedang sakit. Ketiga anak ini sepakat pergi ke hutan
tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Mereka berencana untuk berburu dan
mengumpulkan kayu bakar supaya orang tua mereka tidak kelaparan.
Setelah
berburu dan mengumpulkan kayu bakar, mereka berencana pulang. Namun, mereka
lupa arah mana yang telah dilaluinya. Kemudian muncul orang-orang dengan
mengenakan gamis warna putih ala Timur Tengah. Wanita berhiaskan replika bunga
melingkar di atas kepala dan pria menutup kepalanya dengan peci putih. Dengan
paduan suara dan ayunan tangan mereka melantunkan shalawat Nabi.
Tiba-tiba
tiga orang tadi bertemu dengan orang yang baru melantunkan shalawat
tersebut.“Siapa kalian?” tanya salah seorang pelantun shalawat. “Kami hendak
pulang, tapi lupa jalan,” jawab tiga bersaudara itu dengan sedikit ketakutan.
Tiba-tiba orang dengan gamis putih itu mengambil sesuatu yang dibungkus kantong
merah dan sebuah buku bertuliskan Hiqma.
“Kalau
kalian ingin pulang bawalah buku ini sebagai petunjuk jalan. Bingkisan ini
jangan dibuka sebelum sampai di rumah,” ucap pria tersebut. Kemudian tiga
pemuda itu melanjutkan perjalanannya dengan penasaran apa sebenarnya buku dan
bingkisan yang mereka terima.
Rasa
penasaran mereka terjawab ketika mereka membaca isi buku yang merupakan
petunjuk untuk pulang. Namun dalam buku tersebut terdapat teka-teki yang harus
mereka pecahkan. Hingga akhirnya mereka bertemu dengan Suku Marawis, yang
berpakaian seperti orang pedalaman.
Setelah
itu, mereka bertemu dengan Suku Qasidah yang memecahkan teka teki isi buku dan
menyerahkan sebotol air. Namun dengan syarat mereka harus menyerahkan kayu
bakar yang didapat sebagai alat tukar. Sesampainya di rumah, bingkisan merah
berisi bongkahan emas yang membuat keluarga berkecukupan.
Begitulah
penggalan cerita dalam acara Gempita Apresiasi Seni Islam 2016 (GASI) yang
diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa di
Hall Student Center, Jumat (10/9). Menurut Ketua Hiqma Kurnia Yuha Izvana, rangkaian
cerita drama tersebut menggambarkan seni islami yang ada di Hiqma saat ini.
Mulai dari seni membaca Alquran atau tilawah,
hadroh, marawis, dan qasidah. “Kolaborasi
drama islami ini bertujuan mengubah anggapan orang yang mengatakan seni Islam ketinggalan zaman,” ungkapnya.
MU