Oleh Alfarisi Maulana*
Nilai-nilai sosial,
agama, dan budaya yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia masih belum
bisa menerima keberadaan kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender
(LGBT). Stigma negatif pun tak dapat dihindari dari kelompok ini, bahkan banyak
di antara mereka yang kerap mengalami perlakuan diskriminatif dalam kehidupan
masyarakat.
Stigma negatif dan
pengasingan terhadap mereka tanpa upaya memperbaiki perilakunya malah akan
mempersulit untuk mendata jumlah mereka. Akibatnya, langkah-langkah untuk mengatasi,
baik secara psikologis, sosial, maupun biologis akan semakin sulit. Perlakuan
masyarakat membuat mereka merasa dikucilkan.
Sampai saat ini, jumlah
kaum LGBT di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Berdasarkan estimasi Kementerian
Kesehatan pada 2012, terdapat 1.095.970 gay, baik yang tampak maupun
tidak. Lebih dari lima persennya (66.180 orang) mengidap penyakit menular
seksual. Sementara, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi jumlah LGBT
jauh lebih banyak, yakni tiga juta jiwa pada 2011.
Secara teoretis,
sosiolog Erving Goffman mengatakan sikap masyarakat yang tak mudah menerima
perbedaan orientasi seksual akan membuat tingkat depresi LGBT meninggi. Pola
stigma yang berkepanjangan akan membuat mereka mengalami gangguan mental.
Akibatnya, mereka akan terus melakukan perilaku yang menyimpang itu.
Teori tersebut
menunjukkan LGBT muncul karena dampak sosial masyarakat yang frontal menolak
keberadaan mereka. Lebih dari itu, hasil penelitian Paul Cameron di Family
Research Institute menjelaskan perilaku homoseksual dapat terjadi karena korban
sebelumnya pernah disodomi, pendidikan yang pro-homoseksual, serta penanaman
pemahaman perilaku homoseksual sebagai hal yang normal.
Berangkat dari hal
tersebut, penularan perilaku homoseksual dewasa ini lebih kepada motif kognitif
yang menekankan bahwa perilaku LGBT merupakan sesuatu yang sah-sah saja. Terbukti
dai terungkapnya kasus prostitusi 99 anak di kawasan Puncak, Bogor (31/8) yang
lalu cukup mengejutkan banyak khalayak.
Sang germo berinisial
AR merekrut 99 anak itu dengan cara menjelaskan secara intens bahwa menyukai
sesama jenis merupakan hal yang lazim dilakukan. Hingga akhirnya, 99 anak yang
seluruhnya di bawah 16 tahun itu terjebak dalam lingkaran prostitusi online.
Terlepas dari kasus
tersebut, menurut saya keberadaan LGBT dirisak karena adanya kelompok
masyarakat beraliran esensialisme. Kelompok ini melihat bahwa jenis kelamin
serta orientasi dan identitas seksual merupakan kodrat manusia, sehingga tidak
boleh diubah.
Keberadaan kelompok
esensialisme ini memberikan pengaruh dan dampak sosial dalam masyarakat. Sebagian
besar masyarakat Indonesia masuk dalam kelompok ini dalam menyikapi perilaku
seksual itu. Sehingga, banyak yang menganggap LGBT sebagai sebuah penyimpangan.
Dalam padangan saya,
ada pula masyarakat yang beraliran konstruktif. Masyarakat ini melihat jenis
kelamin dan orientasi seksual tercipta karena adanya konstruksi sosial yang
bersifat dinamis. Secara tidak langsung, kelompok ini memandang kehidupan
sosial bisa memengaruhi orientasi seksual seseorang.
Saya tidak pernah
mendengar kalau LGBT diterima ajaran agama dan mudah diterima nilai-nilai
sosial dan budaya masyarakat manapun. Meski demikian, bukan berarti kaum LGBT
harus mendapatkan perlakuan semena-mena. Sebagai bagian warga Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) mereka juga memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan warga lainnya sesuai dengan konstitusi kita.
Bagi saya, LGBT pun
mempunyai hak hidup yang semestinya tidak kita nistakan secara brutal. Kita
yang heteroseksual menolak tindakan mereka seharusnya dengan jalan yang baik
dan terarah. Tidak sepakat dengan keputusan para homoseksual, bukan berarti
kita harus menyakiti atau menjauhinya.
Peran keluarga dan
masyarakat sangat penting dalam upaya untuk mengurangi jumlah kaum LGBT di
Tanah Air. Dari sisi keluarga, orang tua harus terus menanamkan nilai-nilai
agama yang kuat kepada anak-anak mereka. Harmonisasi keluarga juga menjadi
penting dalam membentuk karakter anak, sehingga kasus 99 anak tersebut
diharapkan tidak terjadi lagi di masa mendatang
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris FAH UIN Jakarta