Oleh: Alfarisi Maulana*
“Seekor burung elang, seekor kancil, seekor ular, dan
seekor singa.”
Arthur terdiam melihat semuanya. Seakan-akan dirinya masuk dalam list yang
dipahat indah di batang mahoni. Entahlah, pandangannya kabur atau ia salah
melihat.
Kilauan cahaya putih tiba-tiba hadir di hadapannya. Hadir
menjadi sosok berjubah putih. Makhluk itu menyerahkan tadah cangkir tanpa
sesuatu apapun di atasnya. Arthur menerima tadah itu, ia merasa asing dengan
makhluk itu.
“Siapa namamu?” tanya Arthur dengan terus memerhatikan
makhluk itu.
“Siapa namamu” jawabnya.
Arthur berdiam diri, ia berlangkah mundur. Sosok yang
dilihatnya bergeming. Arthur memutarinya dengan penuh tanya. Siapa gerangan
yang hadir begitu saja, Bertanya balik ketika ditanya, bagaikan cermin memantulkan
objek yang sama.
Otak menggerakkan lakunya meninggalkan sosok itu.
Arthur melangkah ke sisi kiri yang terbentang lorong panjang. Hitam pekat,
kontras dari keadaan sebelumnya. Ia menjauh dan terus berjalan, sambil membawa
tadah cangkir.
Semakin ia melangkah, tadah cangkir melayang dari
tangannya mengeluarkan cahaya putih. Warna yang sama ketika ia melihat sosok
makhluk berjubah. Cahaya itu terus mencerahkan dinding lorong hitam itu menjadi
cahaya berbentuk hologram putih.
Hologram itu menampilkan keadaan hidupnya di masa lalu,
layaknya kaleidoskop, ia menjadi aktor utama. Ia tersenyum, terkadang tertawa
hingga raut wajah sedih ia tampakkan ketika menyaksikan layar itu.
Ia menikmati layar tersebut, hingga tertidur. Arthur
terlelap di tengah lorong hologram itu. Cukup lama, ia terlelap hingga ia
terbangun oleh angin yang menampar wajahnya, Arthur bergidik. Angin itu semakin
kencang, seketika hologram itu gugur berhamburan menjadi daun kering.
***
Sayup-sayup namanya dipanggil, penglihatannya tertuju
ke makhluk berjubah. Seekor singa berbulu lebat sedang menerkamnya. Arthur
berlari untuk menghentikan tindakan binatang buas itu.
Pekik suara
burung berdesingan di telinga Arthur. Ia pun mendongakkan kepalanya ke langit.
Ia menyaksikan seekor burung elang. Ukuran elang yang dilihatnya sangatlah tak
lazim. Sangat besar, melebihi ukuran dirinya. Arthur takut bukan main, elang
itu menuju dirinya. Ia berlari semakin cepat, tak lama elang mencengkram tubuh
Arthur.
Ia merasakan sakit yang teramat dalam, punggungnya seperti
ditusuk tembus hingga ke hulu hati. Arthur merasakan kejanggalan di
punggungnya, ternyata elang menyisakan sayapnya yang besar tepat di punggungnya.
Ia tak bermimpi, Arthur memiliki sayap besi. Ia mengepakkan sayap itu dan
terbang. Ya, Arthur terbang.
Sementara itu, sosok berjubah putih terus melawan
terkaman singa. Arthur terbang menuju sosok itu. Hingga ia mendaratkan
tangannya di tubuh singa. Sosok itu berdarah, kondisinya melemah. Arthur pun
menghiraukan keadaannya, ia fokus ke singa dan membantai habis singa itu.
Singa itu mati di tangan Arthur. Ia pun langsung
mendekati sosok berjubah putih itu. Cahaya dari jubahnya menghilang. Sayang, kondisinya melemah, makhluk itu
terluka. Ia bersuara sangat lirih hingga tak dapat didengar Arthur.
“Kau adalah seekor burung elang, seekor kancil, seekor
ular, dan seekor singa,” katanya.
“Aku tak mengerti, aku tidak mengenalmu, siapa kau?”
Arthur bertanya pelan.
“Kesatuan yang tak terpisahkan darimu, pergilah
tinggalkan aku” jawab makhluk itu.
***
Arthur tersadar, ia sedang terbaring lemah di atas
kasur cuki berbahan tepas. Santi, temannya Arthur dari Kota Tarakan turut
menjenguknya. Dia mengkhawatirkan keadaan Arthur pasca kecelakaan yang
dialaminya.
“Sudah seharian kamu terlelap, Are you okay?”
tanya Santi.
“Aku baik-baik saja” jawab Arthur, lirih namun jelas
dengan perban di bagian kepala, tangan.
“Syukurlah, aku sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku
bangga, kamu menyelamatkan anak kecil
yang terjatuh dari sepeda dari sambaran bus yang melintas” Kata Santi sambil tersenyum.
“Bagaimana anak kecil itu, dimana ia sekarang?” Tanya
Arthur.
“Dia sudah dibawa keluarganya, kamu istirahat saja
ya,” Santi pun meninggalkan Arthur.
Arthur memandangi langit-langit ruang puskesmas.
Cahaya senja keemasan masuk dari jendela ruangan itu. Tampak petugas puskesmas
menyediakan makanan untuknya. Petugas itu memandang wajahya memberikan senyum
indahnya.
Arthur pun mengecek layar ponselnya, dilihatnya ada 27
panggilan tak terjawab dan 25 pesan. Dia mengabaikan semua itu, dia mengeluhkan
rasa sakit di dadanya. Petugas puskesmas memberinya makanan ringan serta obat
pereda rasa sakit.
“Silakan di makan mas, setelah itu minum yang ini”
kata petugas itu.
“Oh ya, terima kasih bu,” Arthur semringah
menerimanaya.
Dari jauh terdengar deru mobil, Arthur sangat mengenal
suara itu. Mobil itu berhenti di depan puskesmas. Suara lari dan riuh mendekati
ruangan dimana ia berada. Suara itu kian mendekat hingga depan pintu kamarnya.
“Arthur!” seorang wanita lekas menghampirinya.
“Kamu baik-baik saja kan? Maafkan ibu, nak.” Suara
isak ibunya menggelegar di ruangannya.
“Sudah bu, anak hebatmu tidak kenapa-kenapa, lihat
betapa kuatnya ia.” Ayahnya menenangkan ibunya.
Kesenjaan tak terbendung, mentari pun terlelap.
Digantikan dengan cahaya rembulan dengan taburan bintang di angkasa. Malam itu
semuanya berkumpul, keluarga, kerabat, maupun sahabat turut menyertai Arthur.
Arthur memandang wajah ayah dan ibunya. Ia sangat
menyayangi kedua orangtuanya. Pendidikan moral yang mereka ajarkan selalu di
terapkan dalam setiap langkah hidupnya. Arthur anak semata wayang di keluarga.
Itu sebabnya, Arthur sungguh disayangi kedua orangtuanya.
Arthur berencana dibawa ke kota Tarakan untuk
pelayanan medis yang memadai. Kerusakan organ dalam yang disebabkan kecelakaan
yang dilaluinya, membuat kondisi Arthur kian melemah.
Arthur pun dibawa dengan mobil berwarna putih, Ayahnya
menyetir mobil dengan cepat. Arthur ditidurkan di pangkuan ibunya, sedangkan
Santi duduk di jok depan. Luas kota kecil itu rasanya ingin dikecilkan ayahnya
lagi agar cepat sampai di rumah sakit.
“Bu.. aku sangat menyayangimu,” ucap Arthur dengan
pendek napas.
“Aku rela raga ini untuk mereka yang membutuhkan,” Arthur
pun menghembuskan napas terakhirnya.
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris FAH UIN Jakarta