Tetap setia dan tak akan pernah berpaling, dengan perasaan miris ku tatap sayu wajah yang berada di cermin itu. Kupandangi dalam-dalam sembari tertegun dengan lamunan yang cukup lama. Kini aku telah dewasa, di mana aku memiliki jabatan, harta, dan semuanya.
Tatapan mulai
kualihkan ke arah figura foto yang berada di meja rias kamar. “Di mana ia
sekarang?” teringat dulu di saat aku masih kecil, di waktu kami belum memiliki
kendaraan bermotor yang mampu mengantarkanku ke sekolah. Kendaraan yang juga
dibutuhkan bapak untuk mengantar sayuran segar untuk para pedagang lain.
Di atas
keranjang yang dipenuhi dengan daun singkong itu lah aku diam merangkul
pinggang bapak yang kekar. Demi apa pun bapak pasti akan melakukannya hanya
untuk mengantarku ke sekolah. Dinginnya pagi, panasnya sinar surya menjadi
sahabat keseharian bapak. Sampai pada akhirnya aku lulus Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
“Bapak, lebih
baik aku sudahi untuk meneruskan sekolah, SMA itu pasti membutuhkan biaya yang
sangat besar, dan pastinya aku harus jauh dengan bapak karena SMA hanya ada di
kota. Bapak jangan paksa Jimi, karena Jimi ingin selalu dekat dengan bapak,”
rayuku agar bapak mau menggugurkan niatnya.
“Jimi, apa
kamu tidak yakin dengan kemampuan bapak yang selama ini dapat menyekolahkanmu? Doakan saja untuk bapak, dengan izin Allah
bapak akan menyekolahkanmu lagi ke kota agar kelak kau menjadi orang berhasil,”
kata bapak dengan mata berkaca-kaca.
Niat bapak
sangatlah kokoh untuk membiayaiku melanjutkan sekolah, padahal aku tau setelah
ini bapak akan semakin terbebani dengan apa yang telah beliau tekankan. Kini
bapak telah lanjut usia, umurnya sekitar 50 tahun, kulitnya semakin hitam legam
mengeriput, sedangkan badannya semakin kurus seakan tak terisi dengan daging
kehidupan. Bapakku tersayang kini dirinya tak kekar seperti sedia kala.
Rumah kami di
desa cukup jauh dari terminal, oleh karenanya kami memakai sepeda tua bapak
untuk menuju ke sana. Pagi ini menjadi kali pertamanya aku harus meninggalkan
rumah dan bapak. Tidak tega memang, di tambah dengan usia bapak yang semakin
renta beliau harus membiayai anaknya ini. Namun, aku harus terus berjuang agar
kelak bisa mewujudkan mimpi-mimpi bapak.
Di tengah
perjalanan, embun-embun pagi berguguran membekukan tulang-tulang makhluk yang
berani menerobos kesunyiannya. Namun, bapak tak pantang menyerah, sepeda jengky
tua itu terus ia kayuh. Dengan membawa tas ranselku peluk pinggang bapak,
sesekali ia angkat tubuhnya agar mendapatkan tenaga untuk dapat mengayuh lebih
cepat lagi.
“Bapak capek?”
tanyaku sembari kencang menarik baju bapak. Namun bapak hanya menoleh dan
tersenyum tanpa memberi jawaban sepatah katapun. Namun, sangat terlihat wajah
lelah bapak di kala itu dengan nafas yang sedikit tak beraturan.
Pagi itu semua terus berlalu, embun gelap itu kini telah menghilang digantikan dengan tabir surya yang menyelorong dari timur. Hingga akhirnya kami sampai di terminal. Tak ingin waktu terbuang sia-sia bapak menitipkan sepeda jengky miliknya di tempat penitipan sepeda, lalu mencarikan bus ekonomi yang dapat menampung kami hingga sampai ke kota.
Malam pun datang,
jarak kota yang cukup jauh membuat kami harus bermalam di dalam bis. Mungkin
bapak mengira aku tengah terlelap, pada saat itu bapak mengeluarkan uang yang
berada di plastik hitam legang. Lima ribu.. sepuluh ribu.. semua dengan jumlah
nominal yang kecil. Itulah hasil jerih payah beliau untukku kelak. Ku tarik
nafas panjang, tak kuasa ku tahan haru dan berlinanglah air mataku.
Aku mencoba menuju
alam mimpi dan terbuai dalam kesedihan malam itu. Tak terasa bus yang kami
naiki mendesitkan rem kencang di sebuah terminal. Itu pertanda kami telah
sampai di tempat tujuan, yaitu sebuah kota perantauan. Ya, inilah kota di mana
aku akan meneruskan sekolahku.
Hilir mudik
para muda-mudi terlihat jelas di pelupuk mata, pakaian mereka yang penuh
kemewahan berpadu dengan polesan tebal yang meriasi wajah anak hawa. Kehidupan
di tempat ini pastilah sangat berbeda dengan keseharianku di desa. Namun, sama
sekali tak kami hiraukan karena niatku hanya untuk menuntut ilmu mewujudkan
cita-cita bapak.
Dengan langkah
pasti, bapak menggandengku menuju sebuah sekolah yang cukup bergengsi dan
berkelas di kota ini. “Bapak, SMA 04?” tanyaku kebingungan. Ini kan sekolah
bergengsi yang selama ini menjadi impianku. Bapak tersenyum perlahan
menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan dan percaya diri.
Ketika kami
melangkah memasuki halaman depan sekolah, seolah semua orang tengah melirik
hina akan kedatangan kami. Baju yang kami kenakan memang tak layak di
pampangkan di banding dengan mereka. Aku seolah batu kecil yang sedang
dikelilingi oleh emas murni di etalase.
Sesampainya di
kantor sekolah bapak segera mengurusi semuanya, dari pembayaran, buku, dan uang
bulanan. Entah apa yang sedang bapak rundingkan dengan seseorang itu, bapak tak
mengijinkanku menyimaknya. Beberapa saat kemudian, bapak keluar beserta lelaki
asing yang mulanya duduk tenang di kantornya.
“Semua sudah
bapak urus, kamu sudah bisa sekolah di sini. Ini om Erik dan bapak percayakan
kamu dengannya. Bapak yakin suatu saat kamu akan berhasil di tempat ini. Bapak
sangat sayang padamu nak,” kata bapak dengan mengusap-usap rambut ikalku.
Tak ada
sepatah kalimat pun yang dapat ku bisikkan saking harunya perasaan yang tak
dapat ku tahan. Setelah berpamitan, bapak pergi berjalan menjauh dari ku.
“Bapak!” dengan suara lantang aku memanggilnya dan akhirnya ku peluk bapak
erat-erat. “Sudah nak, jangan pikirkan bapak! Belajarlah sungguh-sungguh di
sini, kelak kau yang akan memajukan desa kita!” kata bapak.
Kemudian bapak
pun pergi meninggalkanku dan hilang di balik pintu ruangan. Om Erik pun
menghampiriku dengan penuh kewibawaannya. Beliau mengajakku datang ke rumahnya
dan memperkenalkanku pada istrinya. Rumahnya yang megah berdirir kokoh di atas
tanah dengan di kelilingi taman bunga yang tertata rapi. Aku pun tinggal di
rumah ini.
Makanan yang
ku telan pun penuh dengan gizi yang tak seharusnya dipertanyakan lagi. Buku dan
kebutuhan sehari-hari semua telah tercukupi oleh mereka. Hingga sekarangpun aku
tak tau siapa mereka sebenarnya. Seakan seorang malaikat yang menjelma menjadi
manusia penolongku. Kehidupanku tak memiliki kendala sama sekali.
Tahun pertama,
kedua, dan menginjak tahun ketiga waktu begitu cepat bergulir. Kehidupanku di
tempat ini mungkin akan segera berakhir, kini aku sedang belajar untuk
mengikuti Ujian Nasional dan mempersiapkan diri mencari beasiswa untuk ke
pendidikan lebih tinggi. Aku memiliki cita-cita kuliah di Universitas Gajah Mada
(UGM) Jogjakarta.
Selama aku
ikut bersama om Erik, seringkali ku mengirim surat untuk bapak. Namun satupun
surat dari ku tak ada balasan. Sampai akhirnya aku mempunyai pikiran untuk
menelepon bapak yang berada di desa. Lewat Kepala Desa (Kades) ku sangat
menaruh harapan penuh.
“Assalamualaikum
pak kades, ini Jimi anaknya pak Wawan. Apakah bapak bisa menolong saya?” kataku
penuh dengan antusias. “Jimi, ini bapak nak!” jawaban yang tak lain adalah
suara bapak. Benar-benar sebuah keajaiban bisa mendengar suara bapak langsung
dari kabel telepon sepi, sunyi terasa hening di saat ku dengar suara bapak
tenang merajai perasaanku.
“Nak, bapak
bangga denganmu, kamu pasti kelak akan menjadi orang yang berhasil. Jangan lupa
salat dan ngaji, bapak di sini baik-baik saja dan terus mendoakanmu,” sambung
bapak. Kebahagiaan pun mereba di raut wajah ku. “Terima kasih pak!” Telepon pun
terputus. “Ah, mungkin pulsanya habis,” pikirku.
Tiga hari
kemudian hari kelulusanku tiba. Semua anak menyambut kelulusan dengan suka
cita, keluarga mereka pun hadir demi melihat kelulusan serta perpisahan sekolah
anak-anakya di SMA favorit ini. Acara pun akan segera di mulai, rasa senang
bercampur debar menggerogoti hatiku.
Semua anak
kelas tiga SMA dibariskan di aula besar gedung utama sekolah. Hampir semua anak
didampingi orangtua mereka masing-masing, kecuali aku. Om Erik selaku komite sekolah
tak dapat mendampingiku. Sedangkan bapak yang selama ini ku tunggu tidak ada
sama sekali datang untuk menemaniku. Akhirnya pengumuman pun datang, hasilnya
memuaskan tak satupun dari kami yang tidak lulus. Tepuk tangan bergemuruh pun
terdengar kencang.
Bapak?
Tiba-tiba
kulihat sosok datang menghadiri undanganku, namun pada saat itu acara telah
usai.
Sesosok lelaki
yang kulihat kini menghilang. Mungkin tadi bapak, tapi beliau tidak bisa
langsung menemuiku karena harus mengurusi urusan yang lain. Aku harus memahami
keadaan, atau hanya ilusi semata? Entahlah.
Keesokan
harinya atas ijin om Erik aku pergi ke desa untuk menemui bapak yang sangat aku
sayangi dan aku rindukan. Akhirnya sampailah aku di desa tempat aku ditempah
sejak kecil. Ku turun dari bis dan mulai menyusuri jalanan pedesaan yang telah
banyak berubah, sesekali aku tersenyum teringat masa kecilku.
Rumahku pun
telah terlihat, ku percepat langkah dan berharap segera bisa bertemu orang yang
aku rindu di dalamnya. Namun, sepi yang aku temui dan taka da satupun orang di
dalam sana. Ku kelilingi setiap penjuru ruangan namun hasilnya tetap saja
nihil.
Ku terduduk
hening di teras depan sembari menunggu dengan penuh harapan dan teramat cemas.
Lama sekali, hingga pikiranku mulai tak karuan. Ah, mungkin bapak belum pulan
dari lading. Senja pun mulai menjelang namun bapak belum juga kunjung pulang.
“Jimi… ke mana
saja kamu nak? Kenapa kamu baru pulang? Apakah kamu tidak tahu kalau…” kata Pak
Tomo tetangga seberang rumahku yang terlihat baru pulang dari ladang. “Kalau
apa..?” sahutku sambil menghampiri pak Tomo.
“Jimi, bapakmu
sudah meninggal!” kata pak Tomo. “Meninggal? Ini tidak mungkin pak, jangan
bercanda ini sungguh tidak lucu. Kemarin saja bapak menghadiri acara wisuda ku
dan aku sangat yakin itu bapak yang aku lihat,” kataku penuh dengan kecemasan.
“Tidak Jimi,
ayahmu sudah meninggal dua tahun yang lalu tepat akan diadakannya panen raya
desa. Almarhum ingin mengantarkan nasi jagung kepada para petani, dengan sepeda
tua beliau pergi ke sana. Namun di tengah perjalanan ia tertabrak mobil bak
besar,” kata pak Tomo dengan mimik penuh kesedihan.
Aku tak
sanggup membayangkan, dengan langkah gontai ku kembali ke teras rumah. Jadi
orang yang aku lihat kemarin bukanlah bapak. Bapak datang hanya ingin melihat
keberhasilanku, jadi ini hanya halusinasi, dan suara di telepon itu? Ah,
sudahlah.
Aku mulai
tersadar dari lamunan panjangku. Kembali kulihat wajah di figura foto itu
hingga ku menitikan air mata. “Ya Allah, ampunilah dosa Ayah Ibuku dan
sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sejak kecil, aamiin”.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Jakarta