Oleh: Nindya Putri Rismayanto*
Di Indonesia, masih sering terjadi pernikahan dini yang
dilakukan saat usia di bawah 15 tahun. Undang-undang (UU) Perkawinan tahun 1974
juga agaknya belum tegas melarang pernikahan itu. Menurut UU perkawinan, anak
perempuan baru boleh menikah di atas usia 16 tahun dan anak laki-laki di atas usia 18 tahun. Tapi lagi-lagi, masih
ada pula dispensasi untuk anak perempuan yang menikah di bawah usia 16 tahun.
Pernikahan dini seringkali dipengaruhi oleh adat dan tradisi
yang sudah melekat dalam kehidupan warga lokal. Menurut laporan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2008, dari 2 juta lebih
pasangan yang melakukan pernikahan, angka pernikahan dini di bawah 16 tahun
mencapai hampir 35%.
Fenomena pernikahan dini menjadi kultur sebagian
masyarakat Indonesia yang masih memosisikan perempuan sebagai warga kelas dua,
dengan berbagai alasan ekonomi, sosial, hingga anggapan tidak pentingnya
pendidikan bagi anak perempuan. Mari sedikit kita tinjau dampak negatif dari
praktek pernikahan dini ini, mulai dari dampak pendidikan, psikis, hingga fisik
yang cukup berisiko.
Pertama psikis, seperti yang telah kita ketahui, menikah
memerlukan adanya kematangan emosional. Kematangan emosional bisa dilihat dari ego
yang stabil dan tidak mudah berubah-ubah. Selain itu, ada juga kematangan
sosial yang menunjukkan seseorang bisa berhubungan baik dengan orang lain di
sekitarnya. Lalu kematangan moral dan kognitif, ini juga sangat penting karena berhubungan
dengan bagaimana pola asuh dan pendidikan terhadap anak nantinya.
Maka ketika kematangan tersebut belum terealisasi akibat
masih terlalu dininya usia pernikahan, akan ada banyak kasus perceraian.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), Sudibyo Alimoeso, juga mengungkapkan sebagian besar perceraian di
kalangan pasangan muda disebabkan oleh pernikahan dini.
Dampak lainnya adalah secara fisik. Menurut dokter secara
medis usia yang baik untuk perempuan bereproduksi atau mengandung adalah 20-35
tahun. Maka umur di bawah tersebut masih terlalu muda dan berisiko tinggi untuk
menanggung kehamilan. Penyakit kandungan yang banyak diderita perempuan yang menikah
dini antara lain infeksi kandungan dan
kanker mulut rahim. Hal ini terjadi karena masa peralihan sel anak-anak ke sel
dewasa terlalu cepat.
Bagi saya, masa usia 11 hingga 19 tahun merupakan masa
peralihan dari masa kanak-kanak menuju remaja kemudian dewasa. Di saat perkembangan
tengah dalam masa peralihan juga akan lebih baik jika diiringi dengan kegiatan yang
sesuai dengan umur tersebut.
Masa di mana seorang anak sedang asyik dalam menjalin
pertemanan yang menjurus kepada kebutuhan afiliasi yaitu menjalin hubugan
dengan lawan jenis mereka. Bukan dengan kungkungan tradisi dan peraturan yang
kurang tegas menjadikan anak harus berada dalam lingkaran kehidupan yang tidak
sesuai dengan usianya.
Karena sebenarnya, menikah bukan hanya tentang mengikat suatu
hubungan laki-laki dan perempuan saja, tetapi lebih
kepada pemecahan masalah yang kelak akan terjadi, tentang masa depan dua
pikiran yang disatukan, tentang dua keluarga yang dipertemukan, juga tentang
kesadaran diri mengenai keputusan-keputusan yang hendak ditentukan.
Dan menjadi hal yang perlu diperhatikan juga oleh
pemerintah, bahwa peraturan selayaknya harus tegas tanpa ada lagi
dispensasi-dispensasi yang berakibat semakin banyaknya lagi kemungkinan
penurunan standar usia menikah secara tidak resmi. Tentu itu menjelma jadi
gerbang yang terbuka lebar bagi praktek pernikahan dini di Indonesia.
*Penulis adalah mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Jakarta