Oleh Atik Zuliati*
Langit semakin
menghitam, angin berhembus memasuki celah-celah jendela hingga menusuk tulang.
Namun, mata enggan terpejam, hati begitu berbunga tak sabar menanti hari
esok. Aku terbaring menatap tumpukan
kardus dan tas hitam berukuran besar yang bersandar di samping ranjang.
Teringat lima tahun
lalu, di saat keberanianku diuji oleh waktu. Tangisan seorang ibu menghantarkan
putrinya beradu nasib ke kota seberang untuk mencari ilmu. “Kamu tahu, ini adalah
masa tersulit dalam hidup ibu, jauh darimu.” Pelukannya semakin erat mendekap
tubuh sang putri sulungnya.
“Aku akan baik-baik
saja, Bu. Jangan terlalu memikirkanku.” Langkahku semakin cepat mengampiri
sebuah armada yang membawaku pergi jauh dari pandangannya. Aku melihat itu, air
mata yang mengalir deras dari matanya, sesekali terisak dan itu yang membuatku
merasa sesak.
“Aku pulang, untuk
kalian.” Kini, armada berwarna putih orange ini memberi kegembiraan bagiku. Seakan
menjadi sahabat yang mengerti keinginan isi hatiku. Dia yang membawaku kembali
kedalam kehangatan pelukan keluarga.
Tepat pukul tiga pagi,
sosok pria turun dari sepeda motor, matanya mengaduk-aduk penumpang yang turun
dari bus berukuran besar itu. Lambaian tanganku menghentikan pencariannya. “Kau
terlihat begitu sehat.” Pelukan itu semakin erat, aku hanya bisa mengangguk
menahan air mata yang tak sanggup terbendung lagi.
Dia masih sama seperti
lima tahun silam, tubuhnya nampak kurus
dengan rambut hitam yang mulai memutih. Dekapannya masih terasa hangat, masih
dengan jaket kebanggaannya. Lima belas menit ayah membawaku menyusuri jalan
penuh dengan pepohonan diselingi rumah-rumah yang berjajar agak jauh. “Masih
nampak sama” gumamku dalam hati.
Mesin motor yang aku
kendarai terhenti di sebuah rumah berhalaman luas dengan tiga pohon rambutan
yang memberi keteduhan. Dua ayunan bergelantung diatas ranting yang kuat. Bola
mataku berkeliling menatap setiap sudut halaman dengan daun rambutan yang jatuh
berserakan. Masih nampak sama.
Aku mengetuk pintu, lantas
seorang wanita setengah baya keluar menghampiriku lalu memelukku dengan erat. Pelukannya
semakin keras, aku merasakan dengus napasnya. Ia terisak, air matanya jatuh di bahuku
menembus mantel tebal yang aku kenakan. “Aku pulang, Ibu.” Aku mengucapkannya
tidak begitu lancar, terbata-bata dan kadang terisak. Ia hanya mengangguk tanpa
sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
*****
Pagi yang indah, aku
merasakan lagi udara segar dengan hijaunya hamparan padi setelah lima tahun
berlalu. Pagi itu aku hanya menemukan ibu yang sedang menyiapkan sarapan pagi
dan seorang anak laki-laki yang masih tertidur pulas. Ibu hanya menatapku
dengan senyumnya. Aku bisa merasakan kerinduan yang selama ini ia pendam.
“Kamu sudah bangun?” tanyanya
begitu lembut dengan segelas teh hangat yang ia sodorkan. Bola mataku terus
berputar ke setiap sudut rumah, mencarari sosok laki-laki dengan dekapan
hangatnya. “Ayah mana, Bu?” tanyaku dengan meneguk teh dalam genggamanku. “Ayah
kerja” ia hanya menjawab singkat dengan spatula yang sibuk ia mainkan.
Dalam hati aku
tersentak, mungkin sudah hal biasa di desa, pagi buta sudah berangkat untuk
mencari rezeki. Ibu mengampiriku dan duduk di sebuah kursi kayu, lekat-lekat ia
menatapku. “Ia selalu bekerja keras untuk putrinya.” Ucap ibu dengan pancaran
mata berkaca-kaca.
Begitu cepat waktu
bergulir, hingga mentari pun ikut beranjak. Siang itu aku menghampiri ayah yang
duduk beristirahat dengan segelas kopi menemaninya. “Ayah selalu mengabaikan
kesehatan.” Matanya meluncur melihatku, nampak lelah dengan derasnya keringat
yang mengucur di seluruh tubuh. “Bagaimana pekerjaan kamu di sana?” ia
mengalihkan topik pembicaraan kita. “Menjadi penulis tidak begitu melelahkan. Ayah
jangan terlalu memikirkan Zahwa, ayah harus jaga kesehatan,” balasku.
*****
Malam yang sunyi, hanya
ada aku, ibu dan Faza yang sedang asyik bergulat dengan mainannya. Aku dan ibu
saling bercengkrama, aku selalu merindukan pelukannya. Aku bersandar di
bahunya, membicarakan segala hal untuk sekadar berbincang dengan tawa ringan.
“Apakah setiap hari
seperti ini bu? Ayah jarang di rumah” tanyaku lemah. Ibu mengangkat kepalaku
dari bahunya, ia mengubah posisi duduknya dengan menyeruput segelas teh. “Ayahmu
selalu bekerja keras untuk putrinya, kamu.” Ibu menjawabnya lembut dengan
mengelus rambutku. “Ia mengabaikan kesehatannya, di pikirannya hanya kamu,
bahkan ia sempat lalai dengan keselamatannya.”
Aku menelan ludah
mendengar ucapan ibu, napasku tersendat dan dadaku mulai sesak. Aku ingat luka
bakar yang ada di kaki ayah. “Kaki ayah?” dengan cepat ia menyembunyikanya
ketika aku menemukan bekas luka yang cukup lebar, lumayan parah kelihatannya. “Tidak
apa hanya kecelakaan kecil,” ucapnya ringan.
“Iya, luka itu ayah
dapatkan ketika membakar batu bata, ia terperosok ke dalam panasnya bara api.”
Mata ibu berkaca-kaca ketika menceritakannya dan aku hanya terdiam menahan air
mata. “Bahkan ayah jauh mengkhawatirkanmu dibandingkan ibu.” Ibu berdiri dan
menghampiri Faza yang mulai berteriak menyerunya. “Kamu ingat, setiap ayah
menelpon kamu, dia tidak akan tidur dan mondar mandir mencemaskanmu ketika kamu
tidak bisa dihubungi,” lanjutnya.
Dentuman yang keras
menyambar dadaku, aku ingat sekali puluhan panggilan tak terjawab dari ayah
bahkan aku mengabaikannya. Ayah juga tidak berhenti menanyakan kabarku setiap
harinya lewat via sms, tapi aku tak berpikir sejauh itu. Aku tak memikirkan
betapa khawatirnya ayah ketika aku tidak memberikan kabar tentangku. Aku tak
sanggup lagi membendung air mata, air mataku berderai seiring mengingat semua
tentang ayah.
Langkah ibu mendekat,
menepuk pundakku dan menyeka air mataku. “Ayah sudah bekerja keras untukmu,
untuk kita” ucapnya dengan meraih tubuhku dalam dekapannya. Entah apa yang aku
pikirkan selama ini, aku baru menyadari betapa beratnya ia melakukan ini
untukku, hanya untuk putrinya, ia setiap hari rela terpanggang di tengah terik
matahari dan tak ingin putrinya tahu betapa sulit dan melelahkan apa yang ia
jalani.
Jam dinding menunjukkan
pukul sepuluh malam. Suara motor yang biasa ayah kendarai terdengar, aku dapat
mendengar suara sendalnya yang terseret, aku berlari menghampirinya dan memeluk
erat tubuhnya. Di dalam pelukannya aku menangis sejadi-jadinya, meluapkan
segala penyesalan dan emosi yang terpendam. “Ayah telah bekerja keras untuk
Zahwa.” ucapku tersendat dalam tangis.
“Ayah selalu percaya
sama kamu, percaya kalau kamu tidak akan mengecewakan ayah.” Ia semakin erat
memelukku. Aku merasakan kasarnya tangan ayah yang sudah bekerja keras agar aku
mendapatkan pendidikan yang tinggi. Ia berusaha keras agar aku bisa mewujudkan
cita-cita yang selama ini aku impikan.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Biologi FITK UIN Jakarta