Oleh Fahmi Fauzi Abdillah*
Memoriku teringat kembali ketika kubuka album
kenangan angkatan 2005 Pondok Peantren Darul Ulum yang telah lusuh tak berwarna
lagi dan dipenuhi debu. Aku pun berusaha membersihkan debu itu sehingga aku
bisa membuka tiap lembar dari album itu. Kerinduanku pada pesantren lahir
kembali, ketika kubuka lembar pertama berisi pesan Pak Ali kepada angkatanku
supaya selalu menjadi mutiara di manapun berada.
Mengingat sepuluh tahun lalu ketika di pondok, aku
tergolong orang yang apatis. Aku benar-benar tak peduli dengan kegiatan
keagamaan yang menjadi program utama di pondok. Selain itu, kegiatan
non-akademik pun, seperti pramuka
dan paskibra. Tak sedikit pun menarik
perhatianku. Aku berproses menjadi seorang yang benar-benar tidak peduli pada
semua kegiatan itu.
Pesantren dikenal sebagai tempat yang penuh dengan
aturan. Para santri di daerahku memiliki nama khusus bagi sebuah pesantren yang
banyak aturan, yaitu ‘penjara
suci’. Disebut penjara suci lantaran keberadaannya dianggap berfungsi
untuk memperbaiki anak-anak nakal menjadi baik dan dalam bahasa islamnya
menjadi anak shaleh.
Di mana ada aturan maka di situ ada sanksi. Hal
yang tak pernah bisa kulupakan selama di pesantren adalah aturan-aturan yang
agak aneh, seperti larangan berbahasa Indonesia dan daerah. Adapun pihak yang
terkait dengan aturan ini adalah Bagian Bahasa. Mereka adalah santri yang duduk
di bangku kelas 2 SMA. Menurutku mereka adalah orang-orang yang paling
menyebalkan selama aku menjadi santri. Sikap sok pintar yang ditunjukkan
mereka, membuatku benar-benar kesal.
“Yaa akhii laa tatakallam billughatissundawiyyah
au induunisiyyah! (Wahai saudaraku jangan berbicara dengan bahasa sunda atau
indonesia!).” Itulah sepenggal kalimat yang biasa mereka gunakan ketika
menghakimi para santri di mahkamah bahasa. Sebetulnya masalah yang utama itu
bukan sikap mereka yang sok pintar. Tapi mereka tidak bisa memberikan contoh
yang baik. Larangan berbahasa daerah nampaknya hanya berlaku bagi santri SMP
dan kelas satu SMA saja. Sementara di kalangan mereka bahasa daerah menjadi hal
lumrah dan tanpa rasa bersalah.
Suatu hari, aku dan Ardi memergoki kak Rusdi, Bagian
Bahasa yang sedang berbahasa Sunda dengan kak Anto. “To arek futsal moal?,” kak
Risdi berrtanya. “Hayu atuh,” kak Anto menjawab. Sekilas ia terkejut melihatku
yang mengawasinya sejak tadi. Seketika ia mengganti percakapannya dengan bahasa
Arab, basa-basi menyapaku. Aku pun hanya memandannginya dengan kekesalan.
Kekesalanku pada bagian Bahasa disebabkan pada
malam sebelumnya aku sempat dihakimi oleh bagian Bahasa di Mahkamah Bahasa.
Mereka memvonisku dengan dipukul tongkat estapet yang terbuat dari kayu jati
sebanyak 15 kali, hanya karena aku berkata ‘kunaon’ (Kenapa dalam bahasa Sunda). Pasca kejadian itu aku tidak bisa berjalan
dengan baik. Ke manapun aku pergi, kaki ini seolah tak mampu berjalan lagi.
Orang lain melihatku tertatih-tatih ketika berjalan.
***
Kebencianku pada Bagian Bahasa berubah seketika. Saat
itu, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Di luar dugaan, para asatidz memilihku menjadi
Bagian Bahasa. Padahal aku adalah orang yang paling benci dengan bagian ini. Di
minggu pertama sebagai Bagian Bahasa, aku masih belum bisa menerima kenyataan
menjadi Bagian Bahasa. Hal yang lebih parah lagi, teman-teman Bagian Bahasa
memilihku sebagai ketua. Ya Allah tugasku semakin berat.
Pada suatu sore aku merenung akan kenyataan yang
menerpaku. Sungguh rasanya derita ini semakin berat ketika kita melakukan suatu
hal yang tidak kita sukai. “Di kenapa melamun?” Ustadz Hasan menanyaiku. “Gak
tadz, gak ada apa-apa.” Aku menjawab dengan tatapan mata kosong seolah aku
menyembunyikan suatu masalah yang berat untuk dipikul seorang anak berusia 17
tahun sepertiku
“Ardi, ayolah kalau kamu punya masalah, silahkan cerita.”
“Iya tadz aku punya masalah dengan kepengurrusan sekarang. Aku tidak mau menjadi bagian Bahasa, aku benci sedari dulu tadz.”
“Ardi, ustadz paham begitu besarnya kebencianmu pada Bagian Bahasa di masa lalu yang bersikap arrogant dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak memberikan contoh yang baik bagi ade-adenya. Tapi ingat satu hal, Dalam melakukan kebaikan itu tak lain untuk dirimu sendiri. Jadi jangan pernah berharap orang lain akan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan apa yang kamu harapkan.”
“Ardi, ayolah kalau kamu punya masalah, silahkan cerita.”
“Iya tadz aku punya masalah dengan kepengurrusan sekarang. Aku tidak mau menjadi bagian Bahasa, aku benci sedari dulu tadz.”
“Ardi, ustadz paham begitu besarnya kebencianmu pada Bagian Bahasa di masa lalu yang bersikap arrogant dalam melaksanakan tugas mereka. Mereka tidak memberikan contoh yang baik bagi ade-adenya. Tapi ingat satu hal, Dalam melakukan kebaikan itu tak lain untuk dirimu sendiri. Jadi jangan pernah berharap orang lain akan melakukan suatu pekerjaan sesuai dengan apa yang kamu harapkan.”
Nasihat Ustadz Hasan sore itu mengembalikan rasa percaya diriku, aku mulai memperbaharui niatku. Kata-kata itu membuatku tersadar, akhirnya aku memaksakan diri untuk berbahasa Arab dan Inggris meski terbata-bata. Kebencianku pun berubah drastis menjadi rasa cinta pada bahasa. Semua itu lahir dari realita yang melahirkan kesadaran untuk berubah, seperti apa yang pernah dikatakan oleh dosen Filsafatku.
Kesadaranku semakin kuat ketika aku mendapat beasiswa di sebuah universitas ternama di Amerika Serikat. Dari bahasa aku belajar, ternyata hal yang kita benci, belum tentu buruk bagi kita, tapi terkadang keberadaannya mendorong kita dalam mewujudkan impian-impian yang nyaris sulit digapai. Kadang aku berangan-angan, jika saja kebencianku tak kunjung hilang maka belum tentu saat ini aku bisa menginjakkan kaki di negeri Paman Sam.
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta