Oleh Suci Amallia*
Bulan tersuci dari beribu bulan kini telah hadir. Ramadan telah datang
bersama cahaya keberkahan dan rahmatnya. Para sufi semakin giat bertutur
rohaniah pada Sang Khalik. Bahkan, muslim yang sehari-harinya acuh terhadap
nilai ibadah kini sudah mulai lentur menyebut asma’ Sang Maha Esa.
Ada yang beda dengan Ramadhan kali ini. Terasa sepi, hampa, dan terasa
ada suatu hal yang mengganjal dalam hati. Suara petasan yang dulu sering aku
dengar ketika taraweh, kini sudah asing ditelan majunya zaman. Suara
bocah-bocah yang berkeliling dengan beduk di sepertiga malam pun sudah kandas
dimakan waktu.
Aku rindu semua itu. Aku rindu saat pergi taraweh berbekal uang seribu
rupiah untuk membeli makanan di pertengahan taraweh. Aku rindu menjaili para
sesepuh kampung dengan memasang petasan di samping rumahnya. Aku juga rindu bermain gundu di siang hari sembari menunggu waktu maghrib. Ah, lagi-lagi rindu yang menyiksa batin yang selalu ku rasa.
“Buka pakai apa Bu?” tanyaku kepada
ibu yang sedang asik mengiris sayuran di dapur. Dari dulu aku memang selalu
rutin menanyakan menu di bulan puasa. Padahal menerutku menu apapun yang ibu
sajikan tidak masalah. Aku hanya ingin bertegur sapa pada ibuku. Setidaknya ada
sebuah obrolan ringan yang kita lakukan bersama.
“Buka pakai kolak Rin, nanti dibawa
ya kolak yang sudah dipisah ke mushalah.” Ibu memang sering berbagi makanan ke
mushalah samping rumahku. Alasannya simple, karena makanan yang ibu masak
terlalu banyak dan selalu tidak habis. Orang di rumahku hanya sedikit. Ya,
tinggal ibu, aku, dan ayah. Kelima kakakku sudah berkeluarga dan pisah rumah
dari kami.
Setiap azan maghrib berkumandang
aku selalu sedih. Berharap semua kakakku datang menemani kami berbuka. Tapi
sepertinya itu sulit. Bukan, bukan karena mereka tidak sayang dengan kami,
tetapi mereka juga mempunyai kesibukan masing-masing. Sibuk? Ah, aku jadi ingat
dengan serentet jadwalku di organisasi. Aku rasa semua orang pasti sibuk, tapi
tergantung bagaimana ia melewati kesibukan itu. Bukankah waktu adalah sebuah
simbol peruntun kesibukan?
“Besok mau buka pakai apa Rin?”
Aih, mendengar pertanyaan itu rasanya aku ingin menjerit. Ramadhan kali ini aku
sangat sedikit menghabiskan waktu bersama ibu. Aku banyak menghabiskan waktuku
di kampus dan aku lebih sering melewati waktu berbuka bersama teman-temanku.
Awalnya aku bahagia bisa merasakan apa yang anak muda lain rasakan. Tertawa
bersama teman sepuasnya, pergi ke tempat makan bagus, berfoto ria, atau sekedar
meminum kopi bersama di cafe. Namun, semakin lama aku jenuh. Aku jenuh dengan
segala rutinitas itu. Hal tersebut membuat aku semakin jauh dengan orangtuaku
yang semakin hari semakin senja.
“Besok Rinday enggak buka di rumah
Bu. Ada buka bersama dengan organisasi pers Bu.” Jawabku dengan menelan ludah
dalam-dalam. Detik itu aku melihat sedikit senyum kekecewaan yang tersudut di
bibir ibu. Rasanya aku ingin memeluknya dan berkata kalau sesungguhnya ini adalah
proses menuju kesuksesanku. Ah, tapi tampaknya tidak usah karena hal itu pasti
akan membuat suasana semakin haru dan dramatis.
****
Hari ini lagi-lagi aku pulang malam
tak lain dan tak bukan karena aku harus menyelesaikan tugas di organisasiku.
Sebagai anggota muda memang harus nurut dengan serentet jadwal dari senior.
Jenuh dan lelah memang aku rasakan. Namun, mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa
melaksanakan apa yang diperintahkan selagi itu bermanfaat.
“Tadi Ibu bikin bihun, Ibu nungguin
kamu tapi ga datang-datang jadi Ibu taruh bihunnya di kamarmu. Oya, sambalnya
ada di meja makan ya.” Oh Tuhan, hatiku terasa tersayat air mata ini tidak
dapat lagi terbendung. Baru saja tadi maghrib aku mengahbiskan waktu berbuka
bersama teman-temanku sementara ibu, hanya menungguku dan berbuka sendirian
dengan segelas teh hangat dan bihun buatannya. Aku hanya bisa membalas
ucapannya dengan senyuman dan langsung bergegas ke kamar. Bukan, bukan untuk
tidur. Tapi untuk menangis sejadi-jadinya.
Dengan memeluk boneka doraemon
pemberian ayah, aku mengis sejai-jadinya. Tanpa berfikir panjang aku langsung
menghubungi semua kakakku. Menceritakan segala polemik hati yang terjadi.
Berharap mereka datang. Setidaknya semalaman kita melakukan ramah tamah dan
berbuka bersama. Tapi harapanku sirna. Mereka hanya membalas dengan perkataan
yang meragukan. “Insyaallah Rin.” Ah sudah ku duga sebenarnya. Dengan balasan
seperti itu aku semakin menangis sejadi-jadinya.
*****
Ini hari terakhir bulan Ramadhan.
Tapi aku masih harus berduduk di sekeret organisasiku. Mengedit berita yang
sudah menjadi tanggung jawabku. Rasanya aku ingin menegur seniorku untuk segera
menyelesaikan editan itu. Aku ingin pulang dan berbuka bersama ibu ayah di
malam yang fitri ini. Tapi, aku bisa apa selain diam saat itu. Toh jika aku
bertegur dengannya akan menjadi semakin lama.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.00
sedangkan editorku masih belum lekas menyelesaikan editannya. Aku memberi kode
gelisah dengan mengerak-gerakkan badan dan menatap jam. Tidak tahu apakah ia
sadar atau tidak. Tapi setidaknya hanya ini cara yang bisa kusampaikan.
“Beritanya udah rapi ya Rin.
Tinggal lu kirim ke e-mail aja.” Ah, akhirnya dia mengerti. Seperti bersorak
dalam hati aku memberikan senyuman terimakasih padanya. Aku rasa ia mengerti
gelagatku. Ia memang orang perantauan yang aku rasa juga paham mengenai rindu
pada keluarga.
Setelah menempu perjalanan sekitar
satu jam akhirnya aku tiba di rumah. Tidak seperti biasanya yang sepih. Saat
ini ada mobil dan motor yang aku kenali parkir di depan rumahku. Ah senangnya
karena semua anggota keluargaku dan ditambah dengan keponakanku kumpul di
rumah. Aku salim kepada mereka dengan ronah senyum yang sangat tulus begitupun
mereka.
Kami berbuka bersama di malam yang
fitri ini. Mengahbiskan waktu semalaman dengan banyak bercerita. Abangku
menceritakan perjalanannya selagi di Kalimantan kemarin. Kakakku menceritakan
kisahnya saat belajar membuat kue lebaran.
“Kemarin kemana saja toh Rin? Kami
sudah beberapa kali buka di sini tapi kamu enggak pernah ada.” Apa? Ternyata
selama ini mereka sering berkunjung ke rumahku. Sedikit kecewa karena aku tak
bisa bergabung. Tapi, setidaknya aku bahagia karena ternyata selama ini ada
yang menemani ibu disaat aku tidak ada di rumah. Aku menajawab pertanyaan
kakaku dengan sedikit rasa malu bercampur bahagia karena membeberkan
prestasiku.
Terimakasih Tuhan. Engkau masih
memberiku kesempatan untuk berkumpul bersama keluarga yang lengkap
di malam
penuh rahmat ini. Waktu, aku mohon jangan cepat berlalu. Aku masih membutuhkanmu
untuk menggoreskan kisah dan menghembuskan nafas bersama mereka.
Teruntuk kasih, cinta, dan
sayangku, keluarga.
*Penulis adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.