Oleh: Jonathan Alfrendi*
Dalam alam dongeng, kisah kancil sangat lestari
sekaligus dianggap sebagai penyihir kelas wahid. Dia sohor karena mampu
mengakali hewan lain, bahkan dengan hewan bertubuh besar dari dirinya
sekalipun. Karena kemampuan akalnya itulah dia mampu bertahan hidup bahkan
kisahnya tetap eksis digunakan generasi bangsa ini.
Dikisahkan, kancil selalu tampil sopan, ramah dan
supel, sehingga banyak hewan yang senang bergaul dengannya. Juga memiliki otak
cerdas dan mampu menghasilkan ide-ide kreatif saat situasi pelik. Mulutnya
sangat terampil dalam mainkan logika maupun kata, membuat hewan lain pun takluk
dibuatnya.
Contohnya, dalam hadapi situasi genting tatkala
tertangkap menyolong mentimun dan akan disembelih oleh Pak Tani, kancil
selamat. Ia menghasut dan memprovokasi si anjing agar mau menggantikan dirinya.
Dia berdalih akan dikawinkan dengan putri Pak Tani yang cantik. Idenya
cemerlang, membuat si anjing nurut. Kancil pun lolos dari maut, serta terbahak
mendengar teriakan anjing yang lemas karena kepalanya digorok Pak Tani.
Bukan cuma anjing. Macan, gajah, dan hewan-hewan
lain pun pernah merasakan kelicikan, keculasan, muslihat sang kancil. Hingga
kini, dongeng kancil terus direproduksi lewat ragam media, dari komik hingga
film animasi, bahkan ia juga menjadi logo dari sebuah majalah atau konten porno.
Mungkin karena sifat nakal yang dimilikinya, atau... ah sudahlah!
Sebegitu eksisnya, tak heran kisah kancil turut mendidik
penghuni negara ini. Kepicikan, tipu daya dan membodohi orang lain disejajarkan
dengan kepintaran. Kelemahan orang lain bukannya diatasi, namun malah dianggap
sebagai kesempatan bagus yang harus dimanfaatkan dengan baik. Itu sebabnya, di
negeri ini kepicikan dianggap biasa saja, bukan diberantas.
Kini negeri ini bahkan birokrat di kampus ini
menerapkan ilmu kancil, terutama pada saat pelaksanaan Wisuda ke-100 Mei lalu.
Sekilas, pesta perayaan wisuda tersebut berjalan sukses dan meriah. Namun, bila
ditarik beberapa hari sebelumnya tepatnya saat pembagian toga, banyak para
calon wisudawan-wisudawati kecewa. Kecewa berat!
Sebegitu beratnya, sampai-sampai sebagian besar dari
mereka tersebut menumpahkan kekecewaannya dengan umpatan kepada pihak panitia.
Pasalnya, paket toga seperti kalung, jubah, hingga topi wisuda banyak yang
cacat. Bila cacatnya bisa dimaklumi, ya tentu tidak ada masalah. Akan menjadi masalah
jika cacatnya tersistematis, seperti ada unsur keculasan. Ukuran jubah toga
yang kita pesan justru melenceng jauh dari kenyataan. Tidak sesuai permintaan.
Misalnya, bagi yang seharusnya memesan ukuran M malah mendapat L, atau
sebaliknya, celakanya kawan saya seharusnya mendapat jubah bersize XL malah
mendapat size M, jelas tidak sesuai.
Alasan panitia, yang ada hanya itu saja, stoknya sudah habis. Loh, kok bisa??
Bukankah para calon wisudawan/ti sudah memesan dari
jauh hari dan sudah membayarnya secara lunas. Kualitas dari jubah toganya pun
sangat tipis, kasar, gerah karena tidak serap keringat pokoknya tak layak,
karna kita sudah membayarnya dengan harga lumayan mahal. Bila dikalkulasikan,
panitia mampu meraup dana cukup besar dari perhelatan akbar semacam ini. Untung
besar! Tetapi jubah yang dikenakan peserta wisudanya untuk sekali dalam
hidupnya, sangat murahan.
Gara-gara perlakuan jorok demikian semakin
memperjelek citra birokrasi kampus di mata para peserta wisuda, mungkin juga
bagi orang tua mereka. Panitia telah berhasil menggunakan ilmu kancil:
mengelabui pihak lain (dalam hal ini peserta wisuda) dalam pengadaan aksesoris
toga. Saya tidak tahu persis apakah kualitas jubah toga pada wisuda
sebelum-sebelumnya sejelek pada wisuda ke 100. Yang pasti kawanan “kancil”
berbusana coklat yang berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan, menguasai sistem
kampus ini.
Mungkin tak hanya terjadi dalam kasus perhelatan
wisuda. Kaum kancil itu menggunakan sifat-sifat buruknya untuk mengelabui atau
membodohi mahasiswa dengan berbagai aturan agar bisa menancapkan
kepentingannya. Seperti, kebijakan lahan parkir yang ditentang mahasiswa namun
kerap berhenti di telinga para amtenar kampus.
Baliho maupun spanduk revolusi mental kini banyak
terpasang di kantor-kantor pemerintah. Beberapa telah berubah mewujudkan
pelayanan cepat dan transparan. Tetapi watak birokrasi di kampus ini belum
beranjak jauh, sifat buruk kancil masih diternak.
Sesungguhnya sifat jelek kancil bisa dilawan dengan banyak
cara, salah satunya dengan membuat sistem yang profesional, kontrol ketat
dengan menajamkan sanksi seraya meningkatkan apresiasi. Birokasi kita memang
tidak bisa lepas dari intrik kepentingan. Profesionalisme dengan memadukan
aturan ketat bisa meningkatkan kualitas pelayanan dan menjamin watak buruk
kancilisme tidak leluasa bergerak. Kita berharap dengan cemas agar kejadian
memilukan seperti ini tidak lestari pada perhelatan wisuda selanjutnya. Amin.
*Penulis adalah Alumni Pendidikan IPS, UIN Jakarta