Deretan rumah beratapkan
ilalang kering kontras terlihat di antara sawah dan pepohonan hijau. Perlu
menuruni ratusan anak tangga untuk melihat lebih dekat pemandangan itu.
Kampung Naga, begitulah
perkampungan yang luasnya tak lebih dari satu hektare ini disebut. Kampung Naga
merupakan sebuah kampung adat yang berada di Desa Neglasari, Tasikmalaya. Sama
seperti kampung adat lainnya, Kampung Naga pun mempertahankan adat istiadat
serta kepercayaannya sendiri.
Kampung yang hanya dihuni oleh
91 kepala keluarga ini memang masih mempertahankan segala adat istiadatnya.
Salah satunya adalah Hajat Sasih yang tiga kali setahun, yaitu saat peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, Bulan Muharam, dan Bulan Syaban.
“Ritual ini dilaksanakan sebagai
rasa syukur dan sudah turun menurun dari leluhur,” ujar Aan, Pemandu Adat
Kampung Naga. Di samping rasa syukur, Hajat Sasih pun dipahami masyarakat
Kampung Naga sebagai bentuk permohonan berkah dan keselamatan kepada leluhur
Kampung Naga. Maka dari itu, pada ritual Hajat Sasih disertai ziarah ke makam
para leluhur yang ada di hutan adat.
Sembah Dalem Eyang
Singaparna merupakan perantara dari doa
masyarakat Kampung Naga saat ritual. Sembah Dalem Eyang Singaparana nantinya
akan menyampaikan permohonan warga Kampung Naga. Selain itu, dengan
melaksanakan Hajat Sasih masyarakat Kampung Naga meyakini dan mengharapkan
turunnya berkah, kesejahteraan, dan keamanan dari Tuhan.
Tak semua orang diperbolehkan
melihat ritual Hajat Sasih, biasanya tamu dari luar Kampung Naga tak
diperbolehkan melihat secara langsung. Hal ini karena Hajat Sasih dianggap
sebagai ritual sakral yang hanya bisa diikuti warga Kampung Naga.
“Biasanya setelah selesai
ritual adat, kami kemudian makan bersama,” kata Aan. Hajat Sasih memang bukan
hanya sekadar ritual adat biasa. Setelah melakukan serangkaian ritual adat dan
ziarah ke makam leluhur, seluruh warga Kampung Naga makan tumpeng bersama.
Makanan disiapkan biasanya oleh wanita di Kampung Adat secara gotong royong.
Hiruk pikuk di dapur tak akan
kalah sibuknya dengan suasana di hutan adat. Ibu-ibu dengan samping, kain khas
masyarakat adat Kampung Naga bersama-sama memasak tumpeng dan lauk pauknya. Tak
hanya itu, warga Kampung Naga yang sudah tak tinggal di dalam kampung pun
berbondong-bondong datang untuk mengikuti ritual tahunan ini.
Keseharian hidup masyarakat Kampung Naga memang
diatur oleh dua hal yaitu adat dan agama. Adat bagi masyarakat Kampung Naga
merupakan kendali dan pengatur kehidupan di sana. Mengenai ketaatan mereka
kepada pemerintah, mereka merujuk kepada falsafah “Tatali kumawulang ka agama
jeung darigama, saur sepuh aya tilu, panyaur gancang temonan, parentah gancang
lampahan pamundut gancang caosan, upami teu udur ti agama jeung darigama.
Pamarentah lain lawaneun tapi taateun salila teu udur ti agama jeung darigama”
Artinya adalah ada tiga hal yang
dikatakan oleh orang tua dahulu mengenai aturan dalam mengabdi kepada agama dan
darigama yaitu: panggilan cepat datangi, perintah cepat laksanakan, dan
permintaan cepat penuhi. Pemerintah bukanlah sesuatu yang harus dilawan tapi
sesuatu yang harus ditaati selama tidak bertentangan dengan aturan-aturan agama
dan darigama atau aturan adat.
“Warga Kampung Naga percaya jika
melanggar aturan agama dan adat maka akan ada petaka atau bencana di kampung
ini,” tutur Aan. Salah satu peraturan adat yang tak boleh dilanggar adalah larangan tak boleh
memasuki dan melakukan eksploitasi terhadap hutan larangan. Inilah yang membuat
Kampung Naga tetap asri dan sejuk, karena ada satu hutan penyeimbang alam yang
tak pernah diganggu.
Erika
Hidayanti