Oleh: Jonathan Alfrendy*
Pengelolaan parkir dengan menggunakan sistem mutakhir
pada awalnya menjanjikan harapan baru dengan membangun gedung parkir khusus
yang dibarengi dengan model karcis lekas menjelma menjadi slogan kosong. Gedung
parkir baru yang digadang mampu menjadi fasilitas untuk merapikan ribuan
kendaraan justru kenyataannya semakin mengundang kepadatan pengendara. Hampir
di segala lini kampus satu kini dipadati
deretan mobil dan motor, bahkan lahan terbuka hijau yang dulu ada di sudut
kampus, telah beralih fungsi menjadi lahan parkir.
Dampak positifnya, warga kampus merasakan sauna
gratis di kala siang datang. Terik matahari begitu terasa panas ke ubun hingga
sumsum tatkala rimbunan pohon tak dibiarkan tumbuh lagi, tergantikan oleh atap
seng dan beton yang menjulang. Sistem karcis yang disangka akan melancarkan
sirkulasi perparkiran, dalam perjalanannya justru semakin memperpanjang barisan
antrian pengendara bermotor saat memasuki pintu keluar, melebihi antrian saat
tarif lama masih digunakan.
Kampus kita sepertinya tak pernah tuntas mengkaji
perkara kecil seperti kelola parkir yang selalu menjadi sengkarut tak berujung. Padahal pepatah sakti dari orang suci
selalu mengingatkan: setialah pada perkara-perkara kecil, setelah itu akan
diberikan tanggung jawab pada perkara besar. Untuk meraih misi sebagai World Class University, sebaiknya UIN
Jakarta harus memulainya dengan hal kecil, fokus menata hal remeh macam
perparkiran. Sulit meraih predikat luhur tersebut tanpa membereskan sistem
perparkiran. Sudah semestinya birokrat kampus kita menyadari bahwa mereka
menanggung beban citra yang besar untuk segera dilunasi agar UIN Jakarta tak
mendapat label kampus kumuh oleh para tamu dan publik ketika berkunjung.
Kita hanya bisa berharap dan menanti dengan cemas
birokrat kampus kita bersama Gerbang Berkah (GB) Parking memiliki terbosan baru
yang inovatif dalam menyelesaikan persoalan kusut parkir. Terobosan yang tidak
hanya memikirkan profit dengan membabat habis lahan hijau bagi berteduhnya
burung, tempat kongkow dan aktivitas mahasiswa, namun yang kita butuhkan tata
kelola yang tertata, tersistem sekaligus ramah lingkungan.
Dimensi lain yang menambah rasa cemas bagi kalangan
calon wisudawan sepanjang bulan ini adalah pendaftaran peserta wisuda ke-100 secara
online. Kendati pada prinsipnya,
model baru tersebut perlu diapresiasi karena sebagai simbol perubahan dan bagian
dari proses mempermudah birokrasi dan mahasiswa, dalam perjalanannya kerap
mampat di berbagai tikungan. Meski berbasis online,
namun jujur saja, dalam pelaksanaannya jauh lebih rumit dan membingungkan.
Penerapan pendaftaran wisuda model baru ini memang
terobosan baru yang dilakukan rektorat dalam melihat realitas perubahan zaman,
meski kebijakan yang agak sedikit telat. Dari segi momentum, pelaksanaan wisuda
ke-100 Mei mendatang adalah momen spesial karena bersamaan dengan hari ulang
tahun UIN Jakarta, dan itu sebabnya pendaftaran wisuda berbasis online merupakan simbol perubahan
kreatif (creative disruption) bagi
birokrasi kampus. Artinya, setiap tren lama yang dihancurkan akan tergantikan
oleh cara baru yang lebih baik.
Untuk mendaftar wisuda, misalnya, dulu calon
wisudawan harus melengkapi ragam berkas persyaratan dan membawanya ke petugas
di fakultas untuk dikoreksi, jika berkas lengkap tentu tak ada masalah, lanjut
terus. Akan menjadi nelangsa jika harus mondar-mandir berhari-hari ke fakultas
untuk melengkapi berkas yang kurang.
Kini, calon wisudawan/ti tak perlu lagi repot
menggunakan cara lama seperti di atas. Sejak awal April, sudah diberlakukan
pendaftaran wisuda secara online, pokoknya
dijamin tak rumit, begitulah kesan awal ketika muncul gebrakan baru ini.
Alih-alih merevolusi model pelayanan, gebrakan baru
tersebut ternyata tidak diikuti oleh percepatan sistem administrasi akademik, Academic Information System (AIS), dan mentalitas
sekaligus kesiagapan birokrasi yang melayani pendaftaran wisuda. Dalam banyak
kasus ditemukan, calon wisudawan mengikuti alur pendaftaran secara runtut lewat
petunjuk yang ada, namun seringkali berlawanan dengan petunjuk yang diberikan
oleh para birokrat.
Yang sering terjadi begini. Ketika hendak mengurus
bebas pustaka, sesuai petunjuk baku si mahasiswa harus ke perpustakaan utama,
fakultas, prodi dahulu, baru bayar wisuda kemudian. Tapi itu fiksi. Kenyataannya,
terbalik. Petugas perpustakaan justru menyalahkan si mahasiswa karena belum
melunasi biaya wisuda terlebih dahulu, mirip seperti pimpong, harus
kesana-kesini dulu meski berbeda dengan petunjuk baku. Jelas banyak mahasiswa yang jengkel dan kebingungan, karena pada
praktiknya pendaftaran wisuda online justru
semakin rumit dan melelahkan.
Harus diakui pula perilaku birokrat di kampus kita
sangat menggelisahkan. Maaf, pegawai akademik di fakultas tempat saya kuliah
bisa jadi contoh. Mulai efektif kerja kantor biasanya jam delapan lewat, bahkan
bisa satu jam kemudian mereka baru hadir. Mereka mungkin sengaja menempatkan
siswa magang untuk hadir tepat waktu untuk membuka loket. Bila tiba jam
istirahat, para birokrat tersebut dengan cepat bergegas untuk beristrahat
dengan tepat waktu tak peduli bila ada mahasiswa/i yang ingin minta pelayanan
administrasi. Saat jam pulang kantor, mereka sangat ontime, tidak boleh terlewat semenitpun. Bila dihitung secara
kasar, para amtenar kampus kita hanya bekerja efektif sekitar 6 jam. Dalam
lemahnya etos kerja, birokrasi kampus kita telah disesaki onggokan amtenar
berjiwa inlander, ketimbang sebagai subyek yang produktif.
Pada titik inilah titik genting pertaruhan birokrasi
kampus kita untuk kedepannya. Hadirnya pendaftaran wisuda secara online bisa diartikan sebagai disrupsi. Momentum
yang pas untuk membenahi sistem pelayanan akademik dan memperbaiki kinerja
birokrasi kampus agar semakin menggunakan teknologi canggih kedepannya.
Disrupsi ini sudah semestinya disandingkan dengan
menggenjot reproduksi kegiatan riset dan penelitian. Jangan sampai kampus kita
menelurkan ribuan sarjana saban tahun dengan meninggalkan riset yang miskin
isi, miskin judul dan hampa kreativitas. Kegiatan riset seperti Skripsi, Tesis,
atau Disertasi, jangan berhenti sebagai kertas laporan penelitian tanpa
kemampuan membangun budaya riset.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan P.IPS, FITK, UIN Jakarta
*Penulis adalah mahasiswa jurusan P.IPS, FITK, UIN Jakarta