Oleh: Jonathan Alfrendi*
Lembaga mahasiswa merupakan wadah yang
paling gampang ditemui di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Akan menjadi
salah ketika di suatu perguruan tinggi tak memiliki lembaga mahasiswa. Sebab,
lembaga kemahasiswaan merupakan pilar bagi mahasiswa dalam mengasah bakat,
mempertajam keilmuannya, serta belajar politik. Itu sebabnya, penamaan lembaga
mahasiswa di setiap kampus sangat beragam, disesuaikan dengan visi kelembagaan
itu sendiri.
Bila ditelusuri
jauh ke belakang, keberhasilan mahasiswa dalam merobohkan pemerintahan militer
Orde Baru tak lepas dari peran lembaga kemahasiswaan. Kala itu, mahasiswa yang
tergabung dalam organisasi kemahasiswaan memiliki jiwa militan demi
menyelamatkan negeri ini dari pemerintahan korup. Setelah reformasi diraih dan
pemerintahan silih berganti, semangat revolusioner dalam diri mahasiswa malah
mengendur.
Lembaga
mahasiswa yang seharusnya melakukan rangkaian kegiatan yang mempertajam sikap
kritis, mengawal proses demokratisasi dan peka isu sosial malah kini terjangkit
event organizer syndrom. Di
kebanyakan kampus, organisasi kemahasiswaan seperti BEM, DPM, HMJ, bahkan UKM, gemar
mengadakan event bersifat insidental dan
berkiblat kepada proyek kegiatan, termasuk di kampus kita tercinta, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Di kampus kita,
lembaga kemahasiswaan amat doyan mengadakan lomba-lomba olahraga, kuliner expo, ajang pencarian ambasador, atau mengundang
selebritis populer, hingga membuat seminar “pesanan” dari korporasi. Mereka juga
lebih manut terhadap usulan pimpinan fakultas atau dosen dalam membuat suatu
rencana program kerja ketimbang dari usulan sesama mahasiswa. Lebih mengerikan,
dengan memakai jas almamater kampusnya, mereka tak sungkan menjadi penonton
setia berbagai talkshow dan infotainment di stasiun
televisi, menjadikan almamater kehilangan marwahnya. Padahal penggunaan
almamater tak boleh sembarang tempat dan asal-asalan, karena melambangkan semangat perjuangan melawan
ketidak-adilan.
Sindrom ini
semakin terlihat tatkala aktivitas mereka selalu disibukkan dengan membuat
proposal. Mereka menyiapkan tumpukan proposal guna mencari laba. Proposal
tersebut dikemas seindah mungkin, dengan dalih akan digunakan untuk mengadakan
seminar berskala nasional, bakti sosial, dan lain sebagainya, pokoknya yang bertujuan
profit. Sikap kritis mereka semakin tumpul dan mencemarkan visi kelembagaannya
dari semula. Tak heran, kini banyak lembaga kemahasiswaan bermental event organizer.
Lembaga
kemahasiswaan bukan lagi menjadi penggerak perubahan. Sepanjang sejarah negeri
ini, lembaga kemahasiswaan merupakan wadah perubahan dan perjuangan.
Perhatikan, dari periode pra-kemerdekaan hingga runtuhnya Orde Baru, organisasi
kemahasiswaan selalu ada dan berlipat ganda serta berperan penting dalam pembentukan
republik ini.
Dan, jarang
sekali kita melihat di negara lain lembaga kemahasiswaan konsisten menjadi agen
perubahan bagi negerinya. Itu sebabnya, lembaga
kemahasiswaan masih diperlukan sebagai garda keilmuan dan kontrol sosial.
Lembaga
kemahasiswaan sudah sepatutnya kembali ke khitah. Kikislah jiwa-jiwa pragmatis
dan materialis bagi setiap anggota yang tergabung dalam lembaga kemahasiswaan. Apalagi
di awal tahun ini, pimpinan universitas telah melantik secara serentak
kepengurusan periode baru berbagai lembaga kemahasiswaan yg berada di UIN Jakarta.
Dan di semester baru ini kita berharap kepada mereka yang telah dilantik harus berani
lakukan kegiatan bersifat revolusioner, minimal tak bermental event organizer.
Aktif melakukan grup
diskusi guna melahirkan ragam solusi cerdas yang berkaitan dengan persoalan
kekinian. Minimal mengorganisir mahasiswa untuk melakukan aksi seperti menolak
revisi UU KPK. Atau bisa juga dimulai dengan mengontrol berbagai kebijakan
kampus yang berpotensi merugikan civitas akademika, seperti hilangnya tempat
ruang terbuka hijau akibat proyek gagap lahan parkir yang sedang hits belakangan ini, bisa membuat lembaga
kemahasiswaan kembali jantan.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Jakarta
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), UIN Jakarta