Ingin serba cepat, ‘Jalan Belakang’ menjadi pilihan
masyarakat saat ini. Kerap membudaya, ini dituangkan Hanafi dalam karya-karyanya.
Sebuah bangunan
menyerupai piramida nampak dipenuhi berpasang-pasang bakiak. Beberapa bakiak
itu tersusun seakan berusaha mendaki bangunan piramida yang terbuat dari baja dan
merupakan prototipe makam-makam raja Imogiri. Tiap bakiak tertera nama-nama berbeda
yang menjadi simbol manusia sedang bertarung mendapatkan kekuasaan.
Setelah dibuat merinding
dengan banyaknya bakiak yang ada di sekeliling piramida baja, pengunjung diajak
bernostalgia lewat lukisan domba-domba di padang rumput hijau. Tepat di samping
lukisan itu, terdapat dinding berwarna putih polos yang memisahkannya dengan deretan
setrika arang yang dipajang membentuk setengah lingkaran.
Pemandangan
berbeda terlihat ketika menengok ke luar gedung, mata kita akan disuguhkan
bangunan sumur tanpa air berbahan batu bata menghiasi pelataran depan Gedung A
Galeri Nasional Indonesia. Layaknya bagian belakang rumah-rumah Jawa, sumur
tersebut merupakan bagian belakang dari rumah imajinasi Hanafi.
Pada karyanya
yang lain, Hanafi melukiskan Gunung Merapi yang ia beri judul Wedhus Gembel
dan Tubuh Jawa. Merapi–Keraton–Laut Selatan, Hanafi ingin menjabarkan
sebagai pusat tubuh mistis Jawa. Merapi direpresentasi sebagai Keraton bagi
makhluk-makhluk tak kasat mata. Keluarnya wedhus gembel dari letusan Merapi
dianggap sebagai makhluk Banaspati yang memperingati tentang kemerosotan Jawa. Makhluk
tersebut hanya bisa lenyap ketika manusia kembali menyerap sifat-sifat bumi,
seperti tanah, air, dan api.
Tak jauh dari
lukisan Gunung Merapi, Hanafi juga menampilkan karya instalasi berbentuk
deretan 60 buah kenong, alat musik Jawa dengan judul Sakit Kepala - Masuk
Angin. Karya itu mencerminkan derau dari kemajuan ilmu medis yang disadari
atau tidak telah menggerus tradisi minum jamu masyarakat Jawa.
Kenong tersebut
menjadi simbol seolah tradisi Jawa telah mulai ditinggalkan. Dibuktikan dengan
banyak masyarakat yang beralih dari jamu ke obat modern untuk menghilangkan
sakit kepala ataupun ketika masuk angin. Tak perlu menenguk segelas jamu, cukup
menelan pil obat.
Karya bakiak
berjudul Clogs and a Baby Stroller ini menceritakan betapa besarnya
hasrat manusia untuk mendapatkan kekuasaan. “Hanafi melihat gejala yang hidup
di tengah masyarakat saat ini banyak yang terjun ke politik karena bisa
menjanjikan kekuasaan,” kata kurator pameran bertajuk Pintu Belakang, Derau Jawa, Agung Hujatnikajennong, Kamis (10/3). Nafsu
kekuasaan yang tergambar dalam instalasi karya Hanafi pun benar-benar
menceritakan keadaan manusia Indonesia saat ini.
Pameran yang
berlangsung sejak awal hingga pertengahan Maret ini mengartikan pintu belakang
merupakan imajinasi lain tentang Jawa. Pintu belakang dalam kehidupan
masyarakat Jawa, berhubungan dengan budaya yang terkait dengan istilah “Jalan Belakang”
untuk berbagai hubungan informal, misalnya membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Hanafi
sekaligus mengajak penikmat seni untuk berpikir, masihkah Jawa menjadi faktor penentu
dalam politik identitas yang berlangsung di Indonesia. Karena Jawa merupakan
mayoritas di mana proses politik kebudayaan masih terus menggeliat hingga kini.
Karya-karya
instalasi Hanafi berupa sembilan instalasi, sebelas lukisan, dan dua video ini
banyak mengangkat tema sosial yang tengah dihadapi masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Pameran ini mengejutkan, karena seniman asal Purworejo, Jawa
Tengah ini menjadikan pintu belakang galeri sebagai pintu utama untuk masuk
dalam ruang pameran.
Intinya,
sambung Agung, melalui karyanya, Hanafi ingin mengalami perjumpaan kembali
dengan Jawa. “Seperti ingin menghubungkan Jawa yang dulu ia alami, dan Jawa
yang sekarang yang tidak ia rasakan secara utuh,” tutur Agung.
Perbedaan Jawa
dahulu dan kini pun turut dirasakan Agnia Astuti. Mahasiswi Program Studi
(Prodi) Seni Murni Fakultas Seni Rupa (FSR) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini
mengaku adanya perbedaan yang signifikan, baik dari manusianya, maupun
perilakunya.
Sebagai dara asli
Jawa Tengah, Astuti terkadang merasa seperti selalu berada di Jakarta meski
sudah berada di tanah kelahiran. “Karya-karya Hanafi ini benar-benar
mengingatkan seperti berada di rumah nenek dengan instalasi setrika arang yang
berderat ditambah lukisan domba di rumput yang hijau. Fantastis!,” ujar Astuti
disusul gelak tawa, Kamis (10/3).
Arini Nurfadilah