Oleh: Imam Budiman*
jika bangsamu seluas cangkang telur dan busuknya tercium.
biar, itu negerimu
bukankah kau menyukainya? selama empat puluh
delapan musim disetubuhi penguasa
tapi, setidaknya kampungku
bukan kaum penidur sepertimu!
disini kami mengolah
gambut rawa menjadi ladang pipit dan rempah
menyaring keruh kuning air
tanah yang mulai merah di sawah-sawah
kerja bocah-bocah yang
mengaduk anak gabus agar si induk menikam
berangkat pagi, saat petang tiba kita justru lupa jalan pintas untuk pulang
sebagian bapak masih
menimbang siul payah agar dibayar sesuai penat
itu disini, dikampungku –kampung dilorong tanah yang satu jalan dengan penduduk cacing-
jika bangsamu sekaya rambutan berbuah dengan semut yang memenuhi
gendang telinga
biar, itu negerimu; pahit yang tak lupa kau sambut setelahnya bukan?
keluh kesah mereka yang tertindih oleh tebalnya dompet pejabat korup
juga rongga mulut politisi dan caleg yang lekat berbuih, beradu,
menjaja diri; melacur diri.
menjanjikan kemakmuran umpama Saba’ dalam pangkuan hariba
mengerti dibodohi, sadar ditipu mentah-mentah kau!
selaku perlu, benakmu justru menampik: “yang penting cukup untuk
dikawani asap kretek”
atau mereka yang terpaksa: “bagaimana sekedar mengepul aroma lalap
jantung pisang?”
ah, terkadang hidup memang sulit dan terlalu murahan.