Perlahan-lahan tirai
beludru bewarna merah tersingkap lalu menampakkan isi panggung yang kosong.
Tidak ada siapapun kecuali sebuah pohon besar yang berdiri di tengah panggung.
Tiba-tiba dari sudut kanan punggung, muncul tiga belas orang wanita yang menari
mengenakan Baju Bodo, pakaian adat Sulawesi Selatan.
Dari sudut kiri
panggung, datang seorang laki-laki dengan baju bewarna hitam berjalan ke tengah
panggung sembari menyanyikan sinrilik, yang
merupakan karya sastra asal Makassar berbentuk prosa. Tiga belas orang wanita tengah
terus menari diiringi oleh sinlirik dan
tetabuhan genderang, lalu sebelas orang di antaranya memisahkan diri keluar
dari sisi kanan dan kiri panggung, sehingga menyisakan satu orang wanita yang
terus menari.
Wanita itu terus
menari sampai sinlirik selesai. Lampu panggung
tiba-tiba padam, dan ketika menyala, panggung kembali kosong. Dari sudut kanan
panggung terlihat sembilan orang anak kecil yang memakai baju Bodo bewarna
merah dan hijau. Mereka berlarian ke kanan dan ke kiri sambil memutari
panggung.
Di sela-sela
keriuhan tawa anak-anak, datang lima orang wanita yang menyebar di tengah
panggung dengan keranjang yang diletakkan di depan mereka. “Ayo, dibeli-dibeli!” Seru wanita-wanita itu secara bergantian di
suasana pasar yang ramai.
Suasana pasar
beralih sepi ketika muncul kedatangan dua orang saudara kembar, yang laki-laki
bernama Sawerigading dan seorang perempuan bernama We Tanri Abeng. Mereka
berjalan sambil berbicara selayaknya saudara, tapi tak lama kemudian Sawerigading
menghentikan langkahnya.
“Sudah lama
sekali aku menyimpan perasaan ini kepada Adik, Kakak menyayangi Adik seperti
seorang laki-laki kepada kekasihnya,” Sawerigading mengungkapkan perasaannya.
“Tapi ini
terlarang kakak, karena kita saudara, walau pun aku juga memiliki perasaan yang
sama,” We Tanri Abeng pun berterus terang dengan perasaannya.
Kabar pun mulai
tersebar jika kakak beradik itu sedang menjalin hubungan layaknya sepasang
kekasih. Kabar itu pun akhirnya diketahui oleh Sang Ibu, Patotoe. Patotoe
merasa berang dan mencari cara untuk memisahkan Sawerigading dan We Tanri Abeng
dengan mencarikan jodoh untuk keduanya. We Tanri Abeng dijodohkan dengan putra
kepala kampung sedangkan Sawerigading dijodohkan dengan seorang putri dari Cina
bernama Wei Cudai.
Sawerigading pun
melakukan ritual tebang pohon keramat yang nantinya akan digunakan untuk
membuat kapal Pinisi. Setelah selesai membuat kapal, dengan berat hati Sawerigading
pun akhirnya memohon pamit kepada Ibu dan Adiknya, We Tanri Abeng, untuk
menjemput calon istrinya di Cina.
Sesampainya di
Cina, Sawerigading menemui Keluarga Wei dan menikahinya. Lima tahun berlalu,
dan Sawerigading ingat akan janjinya kepada Sang Ayah, jika suatu saat nanti
Dia akan kembali dan memimpin daerah kekuasaan Ayahnya. Sawerigading akhirnya
meminta restu kepada ibunda Wei untuk
pulang ke kampung halaman bersama istrinya.
Cerita diakhiri
dengan Sawerigading yang meninggalkan pesan “Ada tiga dunia bagiku, boting langit, Dunia atas tempat
bertahta sang pemberi nasib, alu limo, dunia
tempat aku sedang berdiri, dan todang
toja, dunia untuk masa depanku.”
Demikianlah
penampilan drama tari oleh Madania Performing Arts Club (MPAC), yang bertajuk
Welenrenggeng, Minggu (13/3). Penyusun naskah, Putut Budi Santoso mengungkapkan, jika acara yang diselenggarakan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta
ini bertujuan untuk menanamkan kecintaan anak-anak sedari dini terhadap
kebudayaan Indonesia.
“Selain, acara
ini juga bertujuan untuk menjembatani komunikasi antara teman-teman dan
keluarga karena semua pemain dari murid Madani dan para orangtua,” Tambahnya,
Minggu (13/3).
Salah seorang penonton Drama
Tari Welerengge, merasa jika para aktor telah memainkan perannya dengan bagus.
“Selain itu pementasan ini merupakan kegiatan positif yang isinya mengajak
generasai muda mencintai kebudayaan Indonesia dan mengasah keberanian mereka tampil
di depan orang banyak,” ujar Gita Andini, Minggu (13/3).
Aisyah Nursyamsi
Aisyah Nursyamsi