![]() |
(Sumber: Internet) |
Oleh : Erika Hidayanti*
Pemilihan
Umum Raya atau lebih dikenal dengan Pemira merupakan agenda rutin UIN Jakarta
yang selalu dinantikan. Euforia Pemira selalu menarik tiap tahunnya. Pesta
demokrasi kampus ini pun menjadi ajang kompetisi penting bagi berbagai
organisasi dan kelompok yang ada di kampus.
Sebagai
ajang demokrasi kampus, Pemira sudah seharusnya menjadi milik bersama. Apa lagi
kampus telah menggelontorkan 9% dari sekitar Rp3 Milyar dana kemahasiswaan
tahun ini untuk Pemira. Namun, sayangnya Pemira yang memang baru dijalankan
secara penuh selama dua tahun ini –setelah periode pembekuan Student Goverment (SG)- masih terkesan
dimiliki beberapa kelompok saja.
Jika
melihat arti demokrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
sistem pemerintahan yang melibatkan seluruh rakyat dengan perantara wakilnya.
Maka, seharusnya seluruh warga kampus yang masih memiliki hak untuk dipilih dan
memilih terlibat aktif dalam pesta demokrasi ini. Karena bagaimana pun mereka
yang terpilih harus dapat mewakili suara seluruh warga kampus, bukan hanya
sebagian golongan saja.
Partisipasi
mahasiswa dalam Pemira dua tahun terakhir ini memang terlihat masih kurang. Hal
ini terlihat dengan angka golput pada Pemira 2014 yang mencapai 34,5% .
Padahal, sosialisai sudah dilakukan
jauh-jauh hari. Alasan di balik golput ini pun beragam mulai tak bisa mencoblos
karena tak memiliki KTM hingga tak kenal dengan pasangan calon peserta Pemira
sehingga tak mau mencoblos.
Lain
tahun lalu, lain tahun ini. Pada Pemira 2015, pesta demokrasi memiliki nilai
minus untuknilai kompetisi. Hal ini terlihat dari angka aklamasi bagi pasangan
calon Dema F, Sema F, Sema U, dan HMJ atau HMPS yang mencapai 52%. Lebih dari
setengah pemimpin kampus ini ditentukan dengan aklamasi, tanpa pemilihan
langsung yang melibatkan seluruh warga kampus.
Alasan
pun kembali beragam, mulai dari tak adanya lagi calon yang mendaftar hingga
budaya aklamasi yang sudah diterapkan jauh sebelum SG dibekukan. Jika melihat
hal ini, minat kompetisi mahasiswa bisa dikatakan kurang. Entah karena sudah
pesimis dengan hasilnya nanti, entah karena Pemira yang hanya menarik untuk
beberapa golongan saja.
Kembali
jika mengacu pada arti demokrasi, harusnya seluruh warga yag memiliki hak
berperan aktif. Siapa pun dapat mencalonkan diri, tanpa adanya dukungan atau
sokongan dari golongan tertentu. Hal ini karena sistem Pemira kali ini tanpa
partai, biar pun nantinya ada sistem partai seperti saat SG silam, calon
independen tetap dilegalkan.
Mungkin,
dominasi kelompok-kelompok organisasi ekstra kampus yang sering menjadikan
calon-calon lain yang –mungkin saja mau dan mampu- menjadi kalah sebelum
berperang. Tak bisa dipungkiri memang kampus UIN Jakarta yang mahasiswanya
memiliki beragam latar belakang kelompok, masih didominasi beberapa kelompok
saja. Hal ini sebenarnya sah-sah saja karena berorganisasi dan berpolitik di
mana pun, selama itu sehat, dilegalkan.
Sayangnya,
masih banyak mahasiswa independen yang tak terikat organisasi mana pun-atau
mungkin kelompok minoritas- menganggap Pemira sebagai ajang kompetisi kelompok
mayoritas saja. Padahal tak perlu ada rasa cemas akan langsung kalah karena tak
punya dukungan, toh jika memang mampu, warga kampus pun tak akan salah pilih.
Sekali
lagi, Pemira ini pesta demokrasi bagi seluruh warga kampus. Maka diharapkan
semuanya terlibat aktif. Marilah kita bangun demokrasi yang baik sejak dini,
sebleum akhirnya terlibat politik luar kampus yang lebih ruwet lagi. Sayang kan uang yang sudah dialokasikan untuk Pemira
hanya tebuang begitu saja dan dinikmati segelintir orang?
*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta