Ricuh
terjadi pada Pemira 2015: bentrok antar pendukung berujung aksi saling pukul.
Pihak keamanan pun turun tangan.
Pemilihan
Umum Raya (Pemira) 2015 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta diwarnai
dengan kericuhan antar pendukung calon. Bentrok terjadi sejak Selasa (22/12)
sore di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom). Kemudian aksi tersebut
berlanjut dengan saling pukul pada malam harinya di depan Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK). Pihak keamanan kampus terpaksa diturunkan untuk
mengamankan keributan.
Sebelumnya,
Ketua Satuan Pengaman (Satpam) UIN Jakarta, Satori dan anggotanya telah
mendapatkan surat tugas dari Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan dan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengamankan Pemira tahun ini. 67 satpam
bertugas mengamankan Pemira dan disebar ke setiap fakultas.”Kita mengamankan
mahasiswa yang menjurus kepada tindakan anarkis,” katanya Jumat, (25/12).
Sebelum
turun ke lapangan, mereka terlebih dahulu melakukan rapat internal untuk teknis
pengamanan di lapangan. Dari hasil rapat, Satori mengatakan, satpam hanya
bertugas untuk memantau dan tak menetap langsung di Tempat Pengungutan Suara
(TPS). “Jika diawasi langsung di TPS, mahasiswa bisa emosi. Jadi, kita hanya
memantau,” jelasnya.
Selain
itu, Satori menyadari mempunyai keterbatasan untuk mengamankan mahasiswa yang
menjadi provokator. Satpam tak berhak menghakimi mahasiswa yang diduga
bersalah. Adapun yang berhak menghakimi mereka hanya pihak kepolisian. Sejauh
ini, satpam hanya melakukan koordinasi dengan kemahasiswaan jika terjadi
kericuhan.
“Kendalanya,
kita tak punya kekuasaan mutlak. Satpam hanya berhak melerai dan mendamaikan
pihak yang bertikai agar tak berkepanjangan. Kita tak segan-segan mengusir
mereka yang tak mematuhi aturan,” ungkapnya.
Terkait
kericuhan dalam Pemira tahun ini, pengamat politik, Ray Rangkuti menyayangkan
tindakan tersebut. Pemira seharusnya dijadikan ajang untuk pendewasaan
berdemokrasi, bukan sebaliknya.”Penyelesaian dengan tindak kekerasan merupakan
tindakan yang memalukan,” katanya.
Demokrasi
kampus idealnya menjadi teladan bagi masyarakat umum. Adanya kericuhan pada
saat pesta demokrasi kali ini disayangkan Ray Rangkuti. Aktivis tahun ’98 ini mengatakan,
seharusnya Pemira dijadikan ajang untuk pendewasaan berdemokrasi, bukan
sebaliknya.
Ketua
Lembaga Lingkar Madani ini berujar, penyelesaian masalah dengan kekerasan
merupakan tindakan yang memalukan, apalagi pelakunya kaum intelektual.
“Tindakan kekerasan dalam Pemira hanya akan merongrong demokrasi di kampus.
Mahasiswa seharusnya lebih mendahulukan akal daripada otot,” tegasnya, Sabtu,
(26/12).
Ia
menambahkan terlalu naïf bagi mahasiswa berbicara tentang persoalan bangsa dan
negara, jika persoalan internal sendiri tak mampu diredam. “Mahasiswa itu
makluk kritis yang mengedepankan rasionya. Kalau enggak pakai akal, lebih baik pulang kampung tak usah
kuliah,” katanya.
Alumnus
Jurusan Aqidah Filsafat UIN Jakarta ini pun berharap tindak kekerasan dalam
Pemira tak terulang lagi. Duduk bersama dengan mengadakan musyawarah diharapkan
mampu menyelesaikan masalah. ”Berdialog lebih baik daripada berantem,” lanjutnya.
Ketua
KPU, Putra Dian Kharisma Ivada menjelaskan pihak KPU telah berusaha mengatasi
konflik dalam pemira. KPU telah menggandeng pihak keamanan UIN untuk
mengamankan pemira. “Pengamanan selama Pemira telah di-back up oleh satpam,” jelasnya,
Sabtu (26/12).
Selain
itu, KPU dan Bawaslu juga telah menyediakan wadah untuk menyelesaikan sengketa
Pemira. Setiap kecurangan yang terjadi pada pemira bisa langsung dilaporkan ke
pihak Bawaslu fakultas dan universitas. ”Meski beberapa mahasiswa masih
menganggap konflik itu budaya pemira, namun melalui mekanisme
ini, diharapkan kericuhan tak lagi terulang,”katanya.
Terkait kericuhan dalam pelaksanaan Pemira 2015,
Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan, Yusran Razak mengatakan insiden
kericuhan yang terjadi di beberapa fakultas merupakan pembelajaran demokrasi.
“Tak ada yang sempurna dalam demokrasi,” pungkasnya, Jumat (25/12).
Z