![]() |
Sumber: Internet Oleh Azami Nur Muhammad* |
Lagi, Gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang lebih sering disapa Ahok kembali
menjadi sorotan warga Jakarta. Beberapa hari yang lalu Ahok membuat geger para
aktivis dengan membuat kebijakan mengenai pengendalian pelaksanaan penyampaian
pendapat di muka umum yang tertuang dalam Pergub DKI Jakarta nomor 228 tahun
2015. Bagi para aktivis, Pergub DKI 228 ini merupakan regulasi yang tidak
mengandung unsur-unsur demokrasi dan melanggar hak asasi manusia dalam hak
menyampaikan pendapat di muka umum. Sakralitas inilah yang menjadi dasar untuk
melakukan penolakan terhadap regulasi Ahok tersebut.
Kini Pergub DKI
228 tersebut telah direvisi menjadi Pergub DKI 232. Meski berbeda, namun spirit
untuk mengerdilkan penyampaian pendapat di muka umum masih sama. Setidaknya ada
tujuh pasal yang dahulu ada di Pergub DKI 228 yang ditiadakan pada Pergub DKI
232 tahun 2015, dua di antaranya yakni:
Larangan
Pada Pasal 9,
berbunyi: dilarang menyampaikan pendapat di muka umum pada ruang terbuka di
luar lokasi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 4. Sementara di pasal 10
berbunyi: dilarang menyampaikan pendapat di muka umum pada ruang terbuka di
luar kurun waktu sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 5 (pukul 06.00-18.00).
Sementara pada
pasal 13 mengatur sanksi jika ada pelanggaran di pasal 9 dan 10. Pasal tersebut
berbunyi: Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan
Pasal 10 akan dibubarkan oleh anggota Satpol PP dan atau bersama kepolisian dan
atau TNI.
Pergantian
Pergub DKI 228 yang direvisi menjadi Pergub DKI 232 sampai hari ini masih
menuai polemik. Undang-Undang nomor 9 tahun 1998 sangat jelas telah
melegitimasi hak menyampaikan pendapat di muka umum, lengkap dengan
peraturannya. Menurut hemat saya, Ahok tak perlu gengsi mencabut Pergub 228
tersebut. Tenang saja Pak, nggak bakal diejek kok. Saya yakin bapak Ahok
pasti diapresiasi.
Ada yang menarik
ketika isu penolakan Pergub DKI 228 sedang menghangat di masyarakat Jakarta.
Kala itu, para aktivis dari berbagai elemen merespons dengan keras dan cepat
ketika Pergub tersebut keluar dan disahkan. Mulai dari buruh, miskin kota, LSM,
dan mahasiswa berbondong-bondong merapatkan barisan. Yang menarik adalah
antusiasme kalangan aktivis mahasiswa yang kalah semangat dengan elemen
lainnya.
Semangat mereka
kalah dengan elemen buruh, miskin kota, LSM, dan beberapa serikat buruh
khususnya. Ini mungkin karena musim UTS (Ujian Tengah Semester) yang sedang
berjalan di mayoritas kampus di Jakarta. Daripada saya sok menganalisa dengan
teori-teori sosial, budaya, ekonomi-politik atau intelejen, lebih baik saya
menganalisa secara kongkret kondisi yang terjadi. Kalau alasannya UTS kan
keren, tinggal bilang “Maaf saya ada UTS, akademis agar cepat lulus jadi
sarjana adalah prioritas,” selesai perkara. Namun lain hal dengan buruh dan
rakyat miskin kota, sangat jelas Pergub DKI 228 ini berkaitan dengan hajat
hidup mereka.
Bagi elemen
buruh, menyatakan pendapat adalah senjata mereka untuk memperjuangkan hak-hak
mereka sebagai kelas pekerja. Pengupahan yang belum layak, sistem out-sourching
yang mengikat, dan pabrik yang semena-mena terhadap buruh merupakan tuntutan
yang masih harus disuarakan oleh mereka. Tentu saja Pergub DKI 228 dianggap
sebagai tembok penghalang mereka untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Para
pemilik modal dianggap telah mengontrol pemerintah untuk membuat regulasi yang
mempersempit ruang aksi dan demonstrasi demi menjaga kondusivitas iklim
penanaman modal mereka.
Belum lagi
kalangan miskin kota yang sering menjadi korban pembangunan di Jakarta. Nasib
mereka yang selalu termarjinalisasi oleh kepentingan pembangunan, dengan adanya
Pergub DKI 228 tersebut hak mereka untuk bersuara akan sama nasibnya dengan
bangunan rumah mereka yang dirobohkan. Maka, memang elemen buruh dan miskin
kota yang didampingi oleh LSM bersemangat melawan Pergub DKI 228.
Bagi saya,
sebenarnya isu ini amatlah penting bagi para aktivis mahasiswa. Kawan-kawan
aktivis mahasiswa harus bersatu-padu rebut ruang kebebasan berpendapat sebagai
amanat berdemokrasi di Indonesia. Jadi, bukan cuma nyanyi ‘buruh tani mahasiswa
miskin kota’ aja yang lantang, tapi ketika buruh, tani, dan masyarakat miskin
kota bersatu-padu, eh mahasiswanya hilang. Memang Pergub DKI 228 itu telah
direvisi, namun ada baiknya jika kawan-kawan mahasiswa ikut terus mengawal
Pergub DKI 228 yang telah direvisi menjadi Pergub DKI 232 itu dicabut total.
Bukankah jika usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang
tanpa alasan. Dituduh subversif, dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu
kata : LAWAN!
*Penulis adalah mahasiswa semester 7 Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta