Tindak korupsi menjadi godaan tersendiri bagi para penguasa. Ananta, Walikota
Astina pun kocar kacir mendengar kabar akan adanya pemeriksaan pelaku korupsi
secara tiba-tiba.
Tirai merah perlahan terbuka, tanda pertunjukan akan dimulai. Alunan musik mulai terdengar, mengiringi dua lakon berkostum serba hijau dan merah muda, mulai
dari selendang, kaca mata serta sepatu boot. Keduanya memasuki panggung dengan
langkah terburu-buru.
Keduanya membicarakan kabar akan ada perang antara negeri
Astinapura dengan negeri Amarta.
Selain itu, kota Astina juga akan kedatangan Inspektur Jenderal untuk
menyelidiki kinerja walikota dan para pejabat negara di kota itu. Salah satu
lakon yang mendengar kabar tersebut berujar akan membongkar tindak korupsi yang
sudah dilakukan walikota.
Tak lama, muncul
tiga lakon dengan baju serba biru, merah dan kuning keemasan. Berkumpulah kelima wanita yang menyebutkan dirinya sebagai pasukan elit canu.
Mereka berlima
sangat membenci Walikota
Astina, Ananta Bura, karena kebijakan yang
diterapkan dianggap menyengsarakan rakyat dan membuat kota kacau balau.
Lalu, kelima
wanita itu pun mengajak para pedagang dan tukang gali untuk melakukan aksi di
kediaman walikota.
Sebelumnya,
mereka menyanyikan lirik berjudul “protes lima aktivis”. Mereka berjoged,
menghentakan kaki dan melambaikan tangan, dengan suara tinggi menggambarkan emosi yang dipendam
selama ini.
“Tak guna jika walikota tak bekerja. Hanya korupsi, itu tindakan mereka,” teriak kelima wanita tersebut sebagai bentuk
protes akan tak beresnya kinerja walikota saat ini.
Saat mendengar
kabar mengejutkan dari ibukota Astinapura, sang walikota pun langsung bergegas memanggil dua
pejabat negara sekaligus sahabat karibnya, Armaditya Arjuna dan Arimi Anjani. Ia khawatir
jika utusan yang disebut Inspektur Jenderal itu datang diam-diam lalu
melaporkan tindak korupsi yang ia
lakukan selama ini.
Kemudian, Ananta
berfikir untuk menyuap Inspektur Jenderal. Walikota yang dirundung cemas itu langsung
memerintahkan Armaditya sebagai
kepala hakim melakukan pembenahan bangunan dan Arimi
sebagai kepala kesehatan untuk menambah
obat-obatan.
Tak hanya itu,
ia juga menugaskan kepada kepala pos untuk membuka semua surat yang masuk dan
keluar di kantor pos dengan teliti. Sehingga, jika ada surat terkait kedatangan Inspektur Jenderal dapat langsung diberitahukan kepadanya.
Desas-desus
datangnya Inspektur Jenderal nyatanya bersamaan dengan hadirnya seorang pemuda
dari ibukota Astina yaitu, Anta Hinimba. Kepanikan pun semakin bertambah
terlihat di wajah Ananta dan beberapa pejabat negara saat si kembar Nakuli dan Sadiwi
menerobos masuk ke ruangan. Mereka mengaku melihat ada seorang petugas negara yang sedang
menginap di salah satu penginapan.
Lantas, Ananta yang telah mendengar cerita
Nakuli dan Sadewi langsung bergegas menemui dan memastikan kebenaran tersebut.
Ananta juga mengingatkan kembali tugas masing-masing para pejabat. “Kita memang
tidak luput dari kesalahan. Tapi, kalau
kaya gini jadinya setan alas!! tidak ada yang beres di kota ini,” ujarnya sembari nada tinggi
lalu pergi.
Ananta pun akhirnya bertemu dengan Anta Hinimba. Ternyata saat itu Anta
sedang dililit hutang, Ananta yang mengetahui pun dengan sigap membantu
membayar hutang tersebut. Menurutnya ini
salah satu bentuk menyuap diam-diam. Tak hanya sang walikota saja, enam pejabat
kota pun turut menyuap Anta.
Selang beberapa
menit, seusai para pejabat memberi suapan. Datanglah beberapa pedagang mengadu
kepada sang Inspektur Jenderal semua perbuatan tersebut. Anta yang dikira
Inspektur Jenderal hanya manggung-manggut saja mendengar keluhan pedagang.
Merasa menjadi
tamu istimewa, Anta mencuri kesempatan untuk merayu putri walikota. Tak disangka, sebelum mendekati putri Ananta ia
sempat kepergok berduaan dengan istri Ananta. Namun, pada akhirnya ia memilih
putri walikota dan berniat meminangnya.
Sebelum
dilangsungkan pernikahan, pelayan setia Anta menasehatinya agar segera kembali
ke tujuan awal yaitu pulang kerumah. Setelah dipikir-pikir, akhirnya dia pergi
dari kota tersebut dengan janji akan kembali lagi guna melangsungkan
pernikahan.
Raut muka
kegembiraan Ananta tak terhingga saat
membayangkan putrinya akan bersanding dengan seorang jenderal. Khayalan untuk
pindah rumah ke ibukota Astina sudah di kepala. Dan tinggal menunggu hari saja.
Belum selesai
merancang kegembiraan, datanglah utusan raja memberitahu bahwa walikota dan pejabat
ditunggu oleh Inspektur Jenderal. Sang walikota pun setengah tidak percaya mendapat kabar
tersebut. Ibaratnya ia seperti sudah jatuh tertimpa tanggal pula.
Kabar tersebut
menjadi penutup dalam pentas bertajuk “Inspektur Jenderal ‘Kalau Penguasa Kacau’ (KPK)” yang diselenggarakan oleh Teater
Koma di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu (14/11). Naskah Inspektur Jenderal merupakan karya Nikolai
Gogol di tahun 1800-an dengan judul asli 'Revizor'.
Sejak teater koma didirikan tahun 1977, pertunjukan ini menjadi produksi yang
ke 142. Sutradara N. Riantiarno mengabungkan nuansa budaya Eropa dan Indonesia
di atas panggung. Hal tersebut terlihat dari pakaian yang dikenakan para
pemain.
Pimpinan
produksi Teater Koma Ratna Riantiarno mengatakan, pertujukan kali ini
menjadi upaya mengingatkan kembali
pada mereka yang berkuasa. “Kalau dicerita para pejabat kalang kabut
mendengar kedatangan seorang Inspektur. Kalau di kita seperti apa yah,” tuturnya.