![]() |
Sumber: Internet |
Apa sebenarnya yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998? Apakah peristiwa
ini terjadi secara spontan? Lalu, bagaimana kondisi rakyat kala itu terutama
perempuan dan kaum minoritas di Indonesia?
Sepintas itulah pertanyaan yang tersimpan rapi dalam benak
sebagian rakyat Indonesia. Tujuh belas tahun sudah tragedi kerusuhan Mei 1998
berlalu, ribuan rakyat pribumi maupun keturunan Tionghoa menjadi korban. Dan hingga
kini tak ada kejelasan siapa pihak yang bertanggung jawab dalam kerusuhan
tersebut.
Juli 1997 kritis moneter melanda Asia, bersamaan dengan itu ekonomi Indonesia anjlok dan mengalami
fase terburuknya. Rakyat kian resah, panik serta mengingikan Presiden Soeharto
lengser dari jabatannya.
Menanggapi respon tersebut pemerintah bersifat represif
dengan menculik tokoh-tokoh yang dianggap provokator. Kejadian tersebut semakin
memanaskan situasi, rakyat pun kian aktif menggelar demonstrasi. Bukan hanya
Jakarta demonstrasi juga terjadi di kota lainnya, seperti di Medan, Solo,
Palembang, Lampung, dan Surabaya.
Puncaknya 12 Mei 1998 terjadi ledakan demonstrasi di Jakarta,
yang mengakibatkan empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak aparat
keamanan. Keesokkan harinya, beberapa kawasan bisnis dan pemukiman warga etnis
Tionghoa di Indonesia menjadi sasaran pembakaran, penjarahan, penganiayaan, bahkan
pemerkosaan. Apalagi, banyak korban diperkosa secara masal di tempat umum.
Tapi anehnya pemerintah melalui Jenderal (Purn) ABRI Wiranto
menyangkal adanya kejahatan seksual pemerkosaan. Sebab setelah ditelusuri
anggota ABRI, dengan mendatangi tiap rumah sakit di Indonesia sampai ke
Singapura, mereka tak mendapati adanya korban pemerkosaan. Lebih lagi Wiranto menyatakan semua laporan kejahatan
seksual dalam kerusuhan 1998 hanyalah dugaan semata karena tak ada bukti
kejadian, korban, dan saksi.
Mendengar itu, Saparinah Sadli relawan dari Masyarakat Anti
Kekerasan terhadap Perempuan geram. Ia pun langsung menghubungi rekan
sejawatnya Smitha Notosusanto, keduanya didukung Convention Watch, Progam Studi
Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Koalisi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi sepakat untuk membuat surat terbuka yang
ditujukan kepada presiden baru Indonesia B.J Habibie.
Surat tersebut berisi kekecewaan rakyat atas kebenaran yang
diberikan pemerintah terhadap kerusuhan Mei 1998. Terlebih, hingga Soeharto
lengser dari kursi presiden masih saja ditemukan penyerangan fisik dan
kejahatan seksual terhadap perempuan muda Tionghoa. Sementara ancaman penyerangan
masih saja muncul dan meneror sebagian besar warga Indonesia.
Tampaknya keadaan tersebut tidak menyurutkan niat Martadinata Haryono, seorang
wanita muda yang menjadi salah satu korban kejahatan seksual. Ia bersaksi
kepada rakyat Indonesia bahkan dunia dengan menggelar konferensi pers pada
Selasa 6 Oktober 1998. Martadinata lantang mengecam kejahatan seksual perkosaan
dalam kerusuhan Mei 1998.
Kegigihan wanita yang akrab disapa Ita dalam memperjuangkan
keadilan di hadapan hukum harus dibayar mahal. Tiga hari berselang tepatnya
Jumat 9 Oktober 1998, ia ditemukan tewas dengan sepuluh luka bekas tikaman di
perut, dada, dan lengan kanannya. Parahnya lagi menurut dokter sayatan benda
tajam di leher ita hampir memutus kepalanya. Hingga kini, pemerintah masih saja
bungkam ketika ditanya siapa pelaku sebenarnya pembunuhan tersebut.
Akhirnya Presiden B.J Habibie membuat Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) yang terdiri dari pemerintah, Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Berdasarkan temuan TGPF, kerusuhan
1998 memakan 1.217 korban. Antara lain 1.190 korban terbakar, 91 luka-luka, dan
27 tewas akibat senjata.
Sedangkan Polda merilis 451 korban meninggal, Komando Daerah
Militer (Kodam) pun mencatat 69 luka-luka dan 463 korban tewas termasuk aparat
keamanan. Selain itu, di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta didapati 288
korban jiwa dan 101 korban luka-luka. Ditambah data dari kota-kota besar terdapat
188 korban di Indonesia ; 30 korban tewas, 131 korban luka-luka, dan 27 korban
luka bakar.
Buku Tragedi 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan ini, banyak
menceritakan fakta sesungguhnya dari kerusuhan Mei 1998, terutama dari korban
perkosaan maupun LSM peduli perempuan. Ancama
dan trauma mendalam seringkali dirasakan para korban hingga merasa terasingkan.
Dengan perjuangan yang tak kenal henti, akhirnya para relawan berhasil membujuk
Presiden BJ. Habibie membentuk Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Perempuan.
Yasir Arafat