![]() |
(Ilustrasi : Syah Rizal) |
Pemira UIN Jakarta tahun ini marak diwarnai
aklamasi. KPU pun tak punya aturan yang jelas.
Fenomena
aklamasi menghiasi Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2015.
Hampir 52% atau setengah dari pasangan ketua dan wakil ketua dari Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (Dema F),
Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Senat Mahasiswa Universitas (Sema U), dan Senat
Mahasiswa Fakultas (Sema F) terpilih berdasarkan hasil aklamasi.
Alasannya pun
beragam, mulai dari tak ada calon hingga adanya pemalsuan data dalam pemberkasan calon peserta pemira di
KPU.
Padahal
menurut pengamat politik, Ray Rangkuti, aklamasi merupakan sesuatu yang tidak
sehat dalam Pemilu. Menurutnya, aklamasi seakan-akan menghilangkan persaingan
dalam pemilu. “Aklamasi itu menunjukan seolah-olah masyarakat memiliki satu
pikiran yang sama,” katanya ketika ditemui di rumahnya, Sabtu (26/12).
Maraknya
aklamasi pada pemira tahun ini terlihat dari data yang tercatat Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Dari total 122 pasangan ketua dan wakil ketua Dema F,
HMJ, Sema U dan Sema F, 64 di antaranya terpilih
berdasarkan hasil aklamasi. 4 untuk Dema F, 9
untuk Sema U, 31 untuk Sema F, dan 20 untuk HMJ dan HMPS.
Salah satunya, terjadi di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). Dari lima jurusan yang ada, empat jurusan
melakukan aklamasi untuk menentukan ketua dan wakil ketua HMJ. Empat jurusan
tersebut, yaitu Bimbingan
Penyuluhan Islam (BPI), Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Jurnalistik, dan
Kesejahteraan Sosial (Kesos).
Menurut
calon ketua HMJ Kesos,
Muhammad Naufal, aklamasi sudah biasa dilakukan di jurusannya. Sejak 2004 silam, Kesos selalu aklamasi. “Sebelumnya ada beberapa
calon, kemudian dimusyawarahkan dan akhinya disepakati satu pasang calon
terpilih,” tuturnya, Jumat (11/12).
Menanggapi
hal itu, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Afrizal Rosihul Hilmi mengaku tak
mengetahui alasan banyaknya aklamsi yang terjadi di fakultasnya.“Kami hanya sekadar
membuka dan menyelenggarakan pemira, sampai akhirnya melakukan pelantikan calon
terpilih,” tuturnya, Senin (21/12).
Selain di FIDIKOM, aklamasi juga terjadi di
dua Program Studi (Prodi) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Di
antaranya adalah Prodi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) yang terpaksa aklamasi
karena salah satu calon ketua HMPS memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
kurang dari 3,00 sehingga tak lolos pemberkasan. Sedangkan, di Prodi Ilmu
Keperawatan hanya ada satu calon yang mengajukan diri sebagai ketua HMPS.
Ketua KPPS FKIK, Ofin Andina membenarkan adanya
pasangan yang tidak lolos pemberkasan di FKIK. Menurutnya, aklamasi di FKIK
terjadi karena keterpaksaan. “Jadi aklamasi di
FKIK bukan hasil musyawarah, tapi karena kurangnya persyaratan dari calon lain,”
tegasnya, Sabtu (26/12).
Tak hanya itu, bahkan seluruh jurusan di
Fakultas Sains dan Teknologi (FST) pun aklamasi untuk menentukan calon ketua
dana wakil ketua HMJ. Sedangkan aklamasi untuk Dema F terjadi di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), FIDIKOM, Fakultas
Dirasat Islamiyah (FDI) dan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis (FEB).
Terkait hal itu, ketua KPU, Putra Dian
Kharisma Ivada menyatakan, tidak ada aturan jelas yang membahas tentang
aklamasi dalam peraturan KPU. Ia mengemukakan, masalah peraturan tentang Pemira,
KPU berpedoman pada peraturan dari Sema U dan Sema F. “Untuk peraturan yang
membahas secara detil, KPU tidak lepas dari peraturan Sema U,” katanya, Sabtu
(26/12).
Selain itu, Putra juga mengungkapkan, aklamasi
merupakan kasus yang sulit dihilangkan. Menurutnya, setiap fakultas memiliki
kebiasaan yang berbeda dalam melakukan pemilihan. Ia pun tak mempermasalahkan
adanya musyawarah atau hal lainnya yang menyebabkan aklamasi. “Selama aklamasi
ini tidak menyalahi aturan maka tidak menjadi masalah,” papar Putra.
Sedangkan menurut Ray, KPU seharusnya membuat peraturan
yang tidak memperbolehkan adanya calon tunggal. Calon tunggal hanya menghapus sifat
kompetitif dalam demokrasi. “Kalau pun calonnya tunggal, KPU sebaiknya membuat aturan supaya
ada calon lain yang menjadi saingannya” ujar pendiri Lingkar Studi Aksi untuk
Demokrasi (LSADI) Ciputat itu.
Selain kompetitif, lanjut Ray, dalam demokrasi
juga harus ada keberagaman karena demokrasi seharusnya menjamin pluralisme tumbuh. “Aklamasi biasanya tumbuh di pemerintahan
otoriter, manipulatif, dan penuh intimidasi,” tutupnya.
KB &YZ